Tentang Waktu (Catatan Singkat)

“Untuk sebuah tujuan, Arah lebih penting daripada kecepatan”. Begitu kira-kira tertulis di sebuah body truck yang saya temui dalam perjalanan menuju Lombok Timur. Sebaris potongan kalimat yang menarik untuk menjadi alat untuk membantu menganalisis keadaan hari-hari ini. Keadaan di mana makhluk-makhluk modern berlarian berpacu dengan waktu, beradu cepat untuk sebuah arah yang masih samar.

Modernitas memang membawa kita pada titik ini. Sebuah titik di mana manusia berlari tanpa henti, seperti dikejar roh-roh gentayangan yang tak kasat mata. Berlari terus, hingga habis nafas, sedangkan tujuan masih jauh di pelupuk mata. Kesenjangan jarak yang kemudian menimbulkan berbagai gangguan kejiwaaan; kegelisahan, keterpurukan, dan keterasingan. Akhirnya hidup bukan lagi menjadi sesuatu yang layak direnungkan, melainkan semacam perlombaan untuk dimenangkan.

Manusia dituntut agar cepat memiliki gelar, cepat dapat kerja, cepat berumah tangga, cepat ini dan itu. Lalu, kapan kemudian ia bisa memiliki waktu untuk merenungi diri dan sekelilingnya? Menikmati kehidupan dengan kaki lurus dan bahu bersandar?

Tidak ada waktu untuk duduk sejenak merenungi tentang diri; apalagi berfikir tentang makna, suasana, dan hiruk pikuk. Kita tenggelam dalam satu doxa; Berlari atau tertinggal. Manusia modern dipaksa lupa untuk berproses dan menikmati proses itu sambil membisikkan dirinya dengan bisikan ketakutan bahwa mereka akan ditinggal zaman, dan dikalahkan keadaan. Maka muncullah apa yang disebut sebagai Hurry Sickness, suatu pola perilaku yang ditandai dengan rasa ingin terburu-buru yang ditandai timbulnya kecemasan terus-menerus; rasa “urgensi” yang luar biasa untuk menyelesaikan sesuatu secara cepat dan instan.

Hurry sickness adalah hasil dari penghayatan waktu yang dimaknai secara kuantitatif-objektif, tanpa menghiraukan kehadiran subjek yang mampu memaknai waktu secara kualitatif-kontemplatif. Seharusnya kita dapat mencerapi waktu dengan seksama, menikmati tiap dan detiknya dengan subjektifitas kita sendiri, Sebuah konsep yang kemudian diistilahkan oleh Henri Bergson, seorang filsuf Prancis sebagai la durée sebuah “living time”, the time of our inner subjective experience. This is time felt, lived, and acted. Waktu yang kita nikmati secara subjektif, yang kita rasa dan kita hidupi dengan tingkah laku kita.

Baca Juga  Membaca "Teks" Metafor Model Relasi Gender dalam Spiritual Bima: Analisis Hermeneutika Paul Ricoeur

Dalam la durée, setiap momen adalah kesempatan untuk hadir secara utuh, untuk benar-benar menyadari keberadaan diri dan lingkungan kita. Adalah waktu yang mengizinkan kita untuk berhenti sejenak, mendengar detak jantung sendiri, memperhatikan desir angin, atau meresapi arti dari kehadiran orang-orang di sekitar kita. Sebuah waktu yang memungkinkan kita untuk hidup dan menghidupi, bukan sekadar bertahan hidup.

La durée meminta kita untuk slow down, memencet tombol pause dalam kehidupan kita, menyeruput kopi, menghidupkan sebatang rokok, dan menikmati serba-serbi dengan penghayatan mendalam. Di tengah dunia yang terus mendorong kita untuk lebih cepat dan lebih sibuk, yang bisa kita lakukan hari ini adalah memperlambat laju. Memilih untuk berjalan, bukan berlari. Menyadari bahwa arah lebih penting daripada kecepatan. Dan bahwa waktu yang dijalani dengan kesadaran akan makna, jauh lebih berharga daripada waktu yang dihabiskan demi pencapaian tanpa refleksi.

Sebab hidup bukan semata tentang mengejar ketersampaian diri di garis finis, melainkan tentang bagaimana menapaki setiap jengkal perjalanan menuju ke sana. Dalam kesadaran semacam ini, kita belajar bahwa makna tak selalu hadir dalam hal-hal besar, tetapi justru tersembunyi dalam peristiwa-peristiwa sederhana yang kerap luput karena terlalu tergesa. Gelak tawa yang menyeruak, emosi dan lara yang menyelinap, dinikmati dengan penuh penghayatan sebagai subjek yang utuh; manusia seutuhnya.

Perlu pula menyadari bahwa sesuatu yang kita sebut ‘penting’ atau ‘urgen’, bisa jadi hanyalah ilusi akan ketertinggalan atau keterasingan yang dibentuk oleh sistem yang terus-menerus menuntut produktivitas. Kita mulai mengerti bahwa menjadi lambat bukan berarti malas, melainkan sadar. Bahwa diam bukan berarti kosong, tetapi ruang untuk memulihkan. Bahwa tidak semua hal harus diselesaikan hari ini, dan tidak semua pencapaian harus diraih sekarang juga.

Baca Juga  Guru Spiritual: Realitas!

Memperlambat berarti memberi diri kita waktu untuk bernapas dan mengalami bukan sekadar menjalani. Memberi ruang untuk kebijaksanaan tumbuh, untuk pengalaman membentuk pemahaman, dan untuk hati berbicara di tengah kebisingan dunia. Dalam kelambanan yang dipilih dengan sadar, kita belajar berdamai dengan keterbatasan, dengan proses, dan dengan ketidaksempurnaan yang manusiawi.

Maka, barangkali benar, sebaris kalimat yang tertulis di belakang truk itu lebih dari sekadar slogan jalanan. Ia adalah peringatan sunyi di tengah hiruk pikuk zaman: bahwa dalam hidup ini, arah yang benar akan selalu lebih bermakna daripada kecepatan yang membutakan. Bahwa terkadang, untuk benar-benar sampai, kita harus rela memperlambat langkah dan menengok kembali: ke dalam diri, ke sekitar, dan ke tujuan yang hendak kita tuju.

Bolehlah kita mengutip apa yang lazim diucapkan oleh teman-teman dari Jawa seperti; “Ojo Kesusu” atau misalnya “Alon-alon asal kelakon”, yang bermakna filosofis ; Nikmatilah  la duree sambil menjaga endurance agar tidak kehabisan nafas di perjalanan marathon kehidupan ini.

Sudah saatnya kita berhenti sejenak, menginjak rem sambil sesekali melajutkan kehidupan. Agar pepatah “ Biar lambat asal selamat” tidak menjadi semboyan kemalasan dan pesimisme, Tapi menjadi pedoman untuk belajar menikmati apa yang ada saat ini, sehingga tidak terburu-buru dan tergesa-gesa menyambut masa depan. Hidup di detik ini di masa kini, bukan terjebak di masa lalu, apalagi ketakutan menyambut masa depan. Bukan berlari membabi-buta, grasak grusuk, tapi berjalan perlahan secara konsisten sambil sesekali mengatur nafas, menikmati dan menghidupkan kehidupan kita.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *