KH. Zulfa Mustafa: Tiga Sebutan bagi Orang yang Berilmu dalam Al-Qur’an

Menurut KH. Zulfa Mustafa orang yang memiliki ilmu dianugerahi oleh Allah Swt. kemuliaan yang sangat tinggi. Kalau ada orang yang meremehkan ilmu, menganggap jabatan lebih hebat dari ilmu, menganggap harta lebih hebat dari ilmu, berarti dia tidak pernah mengaji al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa kemuliaan yang paling utama adalah ilmu.

Orang tidak akan bisa jadi Nabi kalau tidak memiliki ilmu, orang tidak akan bisa menjadi jadi raja kalau tidak punya ilmu, orang tidak akan bisa menjadi profesor kalau tidak memiliki ilmu. Orang itu sukses karena memiliki ilmu pengetahuan.

Orang yang berilmu dalam al-Qur’an disebut tiga kali dalam tiga bentuk, yaitu: a) Rabbaniyyiin, disebut empat kali. Kadang disebut Rabbaniyyuun, ribbiyyuun, b) Ulama disebut dua kali, c) Ahladz Dzikri disebut dua kali. Penyebutannya menunjukkan levelnya dan banyak sedikit jumlahnya. Ini berarti rabbaniyyin, rabbaniyyun lebih banyak daripada ulama dan ahli dzikir.

Al-Qur’an itu laksana mutiara, indah sekali, dilihat dari sisi manapun indah sekali. Ada seorang ulama Tafsir yang bernama Syaikh Ibrahim al-Biqa’i mengarang tafsir yang diberi judul Nadhmuddurar bitanasubil ayati was suwar, ditulis selama 17 tahun. Menulisnya saja 17 tahun jangan ditanya berapa lama mengaji tafsirnya. Kalau kita ini menikmati serba instan, mi instan, panggilan Tuan Guru pun instan, panggilan kiai pun instan.
Oleh karena itu mari coba kita kaji ketiga istilah tersebut, satu persatu:

Pertama, Rabbaniyyin bermakna ahli ilmu yang istiqamah dalam hal membaca, mengkaji dan mengajarkan ilmu. Ahli ilmu yang rutin mengaji dan mengkaji dan mengajarkan ilmu. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh pengurus masjid Islamic Center NTB ini yang rutin melakukan kajiana setelah magrib dan subuh.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَۙ ۝٧٩

“Tidak sepatutnya seseorang diberi Alkitab, hukum, dan kenabian oleh Allah, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” Qs. Ali Imran : 79.

Seseorang di rabbani, dijelaskan dalam kalimat bima kuntum tuallimunal kitab, ba’nya santri menyebut ba’ sababiyah, sebab, ma nya ma masdariyah. Maksudnya, kalian disebut rabbaniyyin selama kalian patuh mau mengajar ngaji dan mau membaca dan mengkaji kitab. Jadi bapak ibu yang mengikuti pengajian rutin subuh pagi ini di masjid Islamic Center Mataram masuk dalam kategori rabbaniyyin karena mau ikut kajian, ujar Kiai Zulfa.

Syaikh Nawawi al-Bantani, kakek buyut Kyai Zulfa, murid dari ulama asal Bima, Syaikh Abdul Ghani bin Subuh al-Bimawi, telah mengarang 104 judul kitab di antaranya Tafsir Marah Labib (Tafsir al-Munir), Bahjatul Wasail, Nihayatuz Zain, Uqud al-Lujain, Kasyifatus Saja, dan ketika berumur 81, 82 tahun mengarang kitab Nasaihul Ibad. Jadi orang-orang yang selalu membaca dan mengkaji kitab, itulah yang disebut Rabbani. Dan orang-orang yang selalu mengkaji kitab, dialah ahli ilmu.

Kalau orang-orang zaman dulu, kalau mengaji kitab diikuti sampai khatam, tidak seperti orang-orang zaman sekarang. Kalau kita perhatikan di Pesantren-pesantren, mereka mengkaji atau mengaji kitab dimulai dari awal muqaddimah sampai akhir khataman. Ada yang khatam bertahun-tahun, berbulan-bulan, bahkan khatam dalam sehari ketika ngaji kilatan di bulan Ramadhan. Itulah tradisi ulama-ulama salaf.

Ulama-ulama dulu sibuk dengan membaca buku, menulis, mengajarkan kitab, waktunya habis untuk mengkaji ilmu. Santri pun ikut mengaji kitab sampai khatam. Namun sekarang ini serba instan, serba gampang. Kalau orang mau tanya tentang hukum agama, tanyalah di mbah google, sekarang ada pesaingnya Meta IA. Dulu, kalau mau belajar dari kitab, Kyai Zulfa menyitir Syairan, “Alangkah bodohnya seorang santri, jika dia disibukkan mencari ilmu lewat you tube, ketika dia ditanya hukum, dia menjawab hukum tidak diambil dari buku referensi tapi mengambilnya dari google dan Meta IA, padahal sanad keilmuan itu dari seorang guru dan buku yang ditulisnya itu laksana mas”.

Jadi ketika orang ditanya tentang sesuatu, maka rujukannya dikitab itu atau dari pernyataan syaikh fulan dan syaikh fulan. Dia merujuk ke kitab A dan kitab B. Saat ini, dalam pandangan kiai Zulfa, sangat sedikit Kyai yang mau istikamah membaca kitab, karena membutuhkan waktu lama untuk menjadi kaya. Makanya kalau memikirkan ingin cepat kaya, menurut beliau cukup menjadi kiai tim sukses, calonnya kalah pun dia tetap sukses apalagi calonnya menang. Tapi kiai-kiai yang sudah tau nikmatnya ilmu, mulianya ilmu, maka ia memilih menjadi ahli ilmu yang rutin membaca dan mengajar kitab.

Kalau ditanya, apa waktu yang paling indah buat pak Kyai ? Waktu yang paling indah adalah jika ada kesempatan menulis kitab, bahkan kyai Zulfa sudah menulis empat kitab, tentang fiqh, ushul fiqh dan sejarah, di antaranya tentang bagaimana ulama-ulama Indonesia menerapkan metode ushul fiqh dalam menetapkan hukum Islam, kitab tentang riwayat hidup Imam Syafi’i dan kitab mengenai Ulama Nusantara.

Kalau ditanya kapan waktu yang paling indah buat kiai ? Saat membaca kitab, saat mengajar santri, dan saat menulis kitab, jawabannya. Bukan ketika berkumpul di warung kopi atau kafe untuk menyeduh se cangkir kopi atau bertemu pejabat di kantor pemerintahan, tapi waktu yang paling indah adalah ketika mengaji ilmu seperti saat ini, ujarnya.

Ibnul A’rabi, lahirnya sezaman dengan Imam Syafi’i 150 H, beliau kalau sedang membaca kitab atau menulis kitab, tidak mau diganggu sedikit pun karena sedang ada tamu, ujarnya. Ditanya, siapa tamunya ? Tamuku adalah ulama yang menulis kitab itu, saya sedang berdialog dengan mereka melalui kitab-kitab mereka, untuk apa ? Untuk memahami jalan pikiran mereka, untuk mengetahui sejarah masa lalu yang mereka tulis, untuk mengetahui kejadian-kejadian masa lampau.

Sebagai contoh saja, pada Muktamar ke 2 tahun 1927, NU mengeluarkan larangan dasi karena dinilai tasyabuh (menyerupai) orang kafir yang pada waktu itu direpresentasikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal ini merujuk Hadis Nabi Saw., “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk didalamnya”. Diharamkan saat itu karena ada illatnya, yaitu pada masa penjajahan Belanda dimana mereka selalu memakai stelan jas, dasi, dan celana panjang. Setelah merdeka, KH. Ahmad Wahid Hasyim memakai stelan jas, dasi, celana panjang dan sepatu seperti yang dipakai kaum penjajah Belanda dulu. Fashion ini dipake karena illat diharamkannya sudah tidak ada, maka hukumnya menjadi boleh. Jadi menghukumi sesuatu itu harus ada alasannya al-hukmu yadurru ma illatihi wujuudan wa adaman. Hukum itu tergantung pada ada dan tidak ada illatnya. Inilah yang dimaksud dengan Rabbaniyyin, mengerti dan cerdas dalam memaknai suatu masalah.

Ibnul Arabi mengatakan dalam syairnya, saya mempunyai teman diskusi yang tidak pernah bosan untuk berdiskusi dengannya, mereka orang-orang cerdas, mereka orang yang dapat dipercaya baik pada saat ada di depannya maupun tidak ada di depannya ketika mereka memberikan faedah ilmu, mereka memberikan faedah ilmu yang luar biasa kepadaku, mereka mencerdaskan akalku. Makanya kalau mau cerdas ngobrollah dengan ulama penulis kitab atau yang mengajar ngaji.

Kedua, ulama, siapa ulama itu ? ahli ilmu yang layak dipanggil ulama adalah ketika yang bersangkutan mempunyai rasa takut kepada Allah Swt., bukan cuma banyak tulisan, bukan cuma banyak mengajar. Apa yang dituliskan dan apa yang diajarkan sesuai apa tidak dengan perilakunya. Boleh jadi dia dipanggil Tuan Guru, Kyai, Profesor, Doktor tapi jika tidak mempunyai rasa takut kepada Allah, maka tak pantas dipanggil ulama. “Innama yakhsallaha min ‘ibadihihil ulama’u” (QS. Fathir: 28). “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama”.

Allah menyebut ulama dengan sifatnya, maka jika ada orang yang barangkali tidak sepintar kiai, doktor, profesor tapi rasa takutnya kepada Allah lebih tinggi daripada mereka, maka dia inilah ulama sesungguhnya.

Dikisahkan Syaiban al-Ra’i, tukang angonnya Imam Syafi’i, yang mengurusi onta dan kudanya Imam Syafi’i, tapi beliau sangat disegani oleh Imam Syafi’i karena beliau orang sholeh, zuhud, dan memiliki ilmu yang luas. Hal ini terbukti ketika Imam Ahmad hendak mengaji kepada Imam Syafi’i. Namun Imam Syafi’i menyarankan untuk mengaji terlebih dahulu kepada Syaiban al-Ra’i. Imam Ahmad bingung kenapa gurunya menyuruh mengaji terlebih dahulu kepada Syaiban. Tapi karena disuruh oleh gurunya, maka Imam Ahmad mengetes sejauh mana kemampuan Syaiban, Imam Ahmad bertanya satu masalah kepada Syaiban.

Pertanyaannya, bagaimana hukumnya kalau ada orang sholat yang lupa satu rakaat? Kata Syaiban, “Ini mau dijawab menggunakan pendapat saya atau pendapat anda”. Wah keren juga ini, seru Imam Ahmad. Lalu Imam Ahmad menjawab, menggunakan mazhabku dan mazhabmu. Kemudian Syaiban berkata, “Kalau dijawab menurut mazhab anda, jika dia ingat, jaraknya, intervalnya tidak terlalu jauh, maka ditambah satu rakaat lalu sujud syahwi, tapi kalau ingatnya sudah lama, jaraknya sudah lebih dari dua rakaat, sudah minum kopi misalnya, sudah makan gorengan contohnya, atau menghabiskan satu batang rokok, maka dia harus sholat ulang dari awal.

Kalau menurut mazhabku, sama dengan tadi, cuma ada tambahannya, kalau saya lupa satu rakaat dalam sholat misalnya dhuhur empat rakaat dan baru tiga rakaat dikerjakan langsung salam, biasanya kalau saya lupa satu rakaat dalam sholat, saya akan puasa satu tahun karena malu kepada Allah Swt., kenapa kok mengerjakan sholat yang hanya lima menit, sepuluh menit saja pikiran kemana-mana. Begitulah jawaban dari Syaiban, seorang tukang onta Imam Syafi’i tapi ilmunya sungguh luar biasa. Beliau ini layak disematkan kata ulama di depan namanya karena begitu takutnya kepada Allah Swt.

Dahulu ada kakaknya KH. Ahmad Siddiq, yakni Kyai Ahmad al-Qusyairi Siddiq, tinggalnya di Banyuwangi, mertua dari KH. Hamid Pasuruan, seorang ulama terkenal, wali Allah. Beliau diajak masuk menjadi pengurus Syuriah NU tidak mau. “Saya belum ulama, janganlah saya duduk di pengurus NU apalagi Syuriah, ulama itu berat, saya tetap dukung NU” ujarnya. Beliau mengeluarkan Syair, “Aku meminta maaf, kepada beliau-beliau yang sudah disebut ulama, yang beliau ada di satu organisasi, nama organisasinya NU, saya malu, saya bukan ulama, bahkan duduk di bagian depan ulama, saya tidak pantas, karena hakekat ulama itu disebut oleh Allah dalam al-Qur’an, dengan sebutan taqwa dan takut kepada Allah. Bahkan diberi adatul hasyr innama, innama yakhsyallaha min ibadihil ulama”.

Begitu kyai Zulfa mengetahui syair ini, beliau merasa malu ketika ada orang yang saling rebut ingin menjadi ketua MUI, merebut ingin menjadi ketua NU, dan orgasasi lain yang berbau ulama. Sampai dimana ilmumu, sampai dimana rasa takutmu keada Allah dibanding ulama-ulama yang disebut oleh Allah Swt. itu, tegasnya.

Ketiga, Ahli Dzikir disebut dua kali. Secara harfiah, dzikir diartikan mengingat Allah SWT melalui berbagai macam bacaan dan kalimat-kalimat thayyibah. Dalam praktiknya, dzikir dalam upaya mengingat Allah bukan merupakan proses instan, melainkan diperoleh melalui ilmu sehingga dzikirnya tersambung (wushul) dengan Tuhannya.

QS Al-Anbiya’, 7 menjelaskan, “Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.”

Dalam ayat di atas, disebutkan secara sharih (terang, jelas) mengenai siapakah ahli dzikir itu, ialah orang-orang yang berilmu yaitu para wali dan para ulama yang dalam hatinya terdapat rasa takut (khasyyah) kepada Allah SWT.

Jadi manusia yang mempunyai ketaatan dan rasa takut kepada Allah itulah termasuk ahli dzikir. Ayat di atas menyebutkan bahwa ahli dzikir adalah orang-orang berilmu, maka ahli dzikir bukan sekadar pintar tapi mereka juga taat beribadah kepada Allah Swt. Wallahu a’lam.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *