Di banyak ruang obrolan kampus, sering beredar pandangan bahwa periode kedua seorang Rektor hanyalah kelanjutan dari masa lalu—sekadar memetik buah dari pohon yang telah ditanam pada periode pertama. Pandangan ini melahirkan mitos bahwa jabatan kedua akan berjalan lebih santai, penuh rutinitas, dan minim kejutan. Bahkan ada yang menganggap, masa itu hanyalah “bonus” waktu, bukan “babak baru” dari perjuangan. Namun, sejarah banyak mencatat dan membuktikan bahwa persepsi semacam ini tak selalu benar.
Seorang Rektor yang memandang kepemimpinannya sebagai amanah, bukan sekadar posisi, justru melihat periode kedua sebagai ruang yang paling strategis untuk bergerak lebih cepat dan lebih tajam. Ia menjalani masa ini dengan kesadaran penuh bahwa setiap detik adalah kesempatan yang tak boleh disia-siakan. Amanah itu menuntutnya untuk tidak terjebak pada rutinitas atau kepuasan semu dari capaian masa lalu, melainkan memanfaatkan seluruh modal pengalaman, jaringan, dan kepercayaan yang telah dibangun pada periode pertama guna melesat, melaju lebih cepat, dan lebih tajam.
Meretas mitos berarti membongkar anggapan bahwa periode kedua adalah masa kemapanan yang membosankan. Sebaliknya, ini adalah tahap akselerasi, ketika gagasan besar yang dulu hanya bisa digambar di papan rencana diharapkan menjelma menjadi kebijakan nyata. Ini adalah masa di mana pemimpin tidak lagi sekadar “menjaga nyala lilin”, melainkan menyalakan obor yang cahayanya menerangi generasi berikutnya. Meretas mitos juga berarti berani keluar dari bayang-bayang capaian masa lalu—keberhasilan di periode pertama tak boleh menjadi selimut yang membuat terlena, dan kegagalan yang belum tuntas harus dihadapi dengan keberanian.
Pengalaman empat tahun sebelumnya menjadi modal dasar yang membuatnya memahami medan dengan lebih jelas—ia tahu titik lemah yang harus diperbaiki, potensi yang perlu dikuatkan, dan peluang yang bisa segera dimanfaatkan. Ia tidak lagi meraba-raba arah, melainkan sudah memegang peta yang jelas dan kompas yang pasti. Inilah yang menjadikan periode kedua sebagai ruang strategis—masa ketika ia bisa langsung mengeksekusi visi besar tanpa lagi terhambat oleh proses adaptasi awal.
Kecepatan yang dimaksud bukanlah terburu-buru, melainkan percepatan yang terukur. Ketajaman yang dimaksud bukanlah sikap keras, melainkan kejernihan pandangan dalam menentukan prioritas. Ia mampu memotong jalur birokrasi yang berbelit, menembus kebuntuan ide, dan memecahkan kebiasaan lama yang menghambat perubahan. Dengan demikian, periode kedua bukan sekadar kelanjutan dari periode pertama, melainkan fase percepatan menuju puncak capaian yang lebih visioner dan berdampak luas.
Idealnya, pada periode pertama sibuk membangun pondasi: merumuskan visi, menyusun strategi, menata birokrasi, dan memantapkan kultur akademik. Waktu tersita untuk membenahi hal-hal mendasar agar kapal besar bernama universitas ini bisa berlayar dengan arah yang jelas. Tetapi di periode kedua, laju kapal dapat dipacu—gelombang tantangan dihadapi dengan lebih percaya diri, dan setiap inovasi bisa dieksekusi tanpa lagi terhambat oleh proses adaptasi awal.

Meretas mitos berarti membongkar anggapan bahwa periode kedua adalah masa kemapanan yang membosankan. Sebaliknya, ini adalah tahap akselerasi, ketika gagasan besar yang dulu hanya bisa digambar di papan rencana diharapkan menjelma menjadi kebijakan nyata. Ini adalah masa di mana pemimpin tidak lagi sekadar “menjaga nyala lilin”, melainkan menyalakan obor yang cahayanya menerangi generasi berikutnya. Meretas mitos juga berarti berani keluar dari bayang-bayang capaian masa lalu—keberhasilan di periode pertama tak boleh menjadi selimut yang membuat terlena, dan kegagalan yang belum tuntas harus dihadapi dengan keberanian.
Di titik inilah, meretas mitos tidak dapat dilepaskan dari dua pilar utama: etos dan logos. Etos adalah kekuatan moral, integritas, dan karakter kepemimpinan yang menjaga agar percepatan di periode kedua tetap berada di jalur kebenaran. Etos membuat setiap kebijakan lahir dari ketulusan, menjaga kepercayaan publik, dan mengutamakan kepentingan institusi di atas kepentingan pribadi. Sementara itu, logos adalah kejernihan berpikir, rasionalitas, dan kemampuan menyusun strategi berbasis data serta analisis yang tajam. Logos memastikan bahwa percepatan tidak hanya cepat, tetapi juga tepat; tidak sekadar bergerak, tetapi menuju sasaran yang benar.
Ketika etos dan logos berpadu, periode kedua menjadi ruang transformasi yang berlandaskan integritas dan presisi. Etos memberi legitimasi moral, sementara logos memberi legitimasi rasional. Pemimpin yang memadukan keduanya mampu menepis skeptisisme publik, mengubah tantangan menjadi peluang, dan meninggalkan warisan kepemimpinan yang bukan hanya terukur secara angka, tetapi juga membekas dalam nilai-nilai dan cara berpikir civitas akademika.
Seorang Rektor di periode kedua harus memiliki kesadaran sejarah bahwa waktu yang tersisa lebih sedikit dibanding periode sebelumnya, tetapi justru di situlah letak kekuatannya—setiap langkah harus terukur, setiap kebijakan harus berdampak. Tidak ada ruang untuk program yang setengah hati. Masa ini adalah kesempatan terakhir untuk memastikan universitas meninggalkan jejak yang relevan bagi masa depan, bukan sekadar mencatat angka-angka di laporan tahunan.
Sebagai catatan pinggir, bahwa meretas mitos pada periode kedua bukan hanya soal membuktikan kepada publik, tetapi juga kepada sejarah, bahwa kepemimpinan di tahap ini adalah puncak kematangan visi, keberanian mengambil risiko, serta ketulusan dalam mengabdi. Keberhasilan periode kedua tidak diukur dari lamanya menjabat, tetapi dari seberapa besar dampak yang ditorehkan bagi masa depan universitas. Dan ketika etos serta logos berjalan beriringan, obor kepemimpinan itu akan terus menyala—menerangi institusi, menginspirasi generasi berikutnya, dan mengukir jejak peradaban akademik yang tak lekang oleh waktu.[]

Dosen UIN Mataram





