Mahasiswa Al-Qur’an dan Tafsir: Jadi Apa?

Ada satu kalimat yang sering saya dengar dari luar sana, entah di warung kopi, ruang kuliah umum, atau bahkan bisik-bisik mahasiswa baru yang masih bingung dengan pilihannya sendiri: “Anak Tafsir itu jadi apa? Kerjanya paling jual teks.” Kalimat ini kadang bikin geli, kadang bikin sedih, tapi lebih sering bikin kita refleksi. Betulkah jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Cuma belajar menafsir teks, lalu tamat kuliah kerjaannya ya mentok jadi guru ngaji di kampung, atau jadi “ustaz doa” di acara-acara?

Coba bayangkan, ketika ada mahasiswa baru ditanya, “Ambil jurusan apa?” dia jawab, “Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.” Reaksi yang muncul bisa dua: pertama, wajah sumringah dengan nada, “Wah, calon ustaz nih!” atau kedua, wajah bingung sambil bertanya, “Habis itu kerjanya ngapain?” Seolah-olah, jurusan Tafsir itu semacam tempat transit menuju profesi tunggal: guru agama atau ustaz. Padahal, kalau mau jujur, tafsir itu pintu paling lebar untuk masuk ke dunia apa saja yang bersentuhan dengan makna, teks, dan kehidupan.

Tapi begitulah, stereotype itu kuat. “Anak tafsir jadi guru doa.” Ya, kalau ada acara resmi di kampus atau nikahan tetangga, yang diminta pimpin doa biasanya mahasiswa Tafsir. Wajar, karena mereka dianggap “ahli doa” yang bacaan Arab-nya lebih fasih dari mahasiswa lain. “Anak tafsir jadi Tuan Guru.” Betul, banyak alumni Tafsir yang pulang kampung lalu disambut masyarakat sebagai Tuan Guru atau Kyai, jadi imam tetap masjid, jadi ustaz pengajian. Apakah salah? Tidak sama sekali. Itu bagian dari kemuliaan yang melekat pada disiplin ini. Tapi kalau narasinya berhenti di situ, jurusan Tafsir jadi seperti bengkel yang hanya melahirkan “ustaz seragam.” Padahal potensinya jauh lebih luas.

Prof. Quraish Shihab pernah menegaskan, menafsirkan Al-Qur’an bukan sekadar urusan mengupas ayat, tapi juga bagaimana ayat itu hadir dan berfungsi di tengah masyarakat. Nah, kalau kita ikuti logika itu, anak Tafsir justru punya lahan kerja yang luas: bisa jadi peneliti fenomena keagamaan, bisa menyusun fatwa, bisa mendampingi jamaah haji dengan bekal literasi Qur’ani, bisa jadi pakar zakat yang menghubungkan teks suci dengan kebijakan sosial. Bahkan, kalau mau lebih kreatif, bisa jadi jurnalis Qur’an: menulis berita, opini, dan esai dengan pijakan tafsir.

Tapi, sayangnya, di ruang kuliah kita sering terjebak dengan bayangan tunggal: lulus lalu ngajar. Mahasiswa PKL diarahkan ke sekolah dan pondok untuk jadi guru. Seolah-olah, masa depan Tafsir itu ya sebatas ruang kelas. Padahal, mengajar itu mulia, tapi bukan satu-satunya. Jurusan Tafsir tidak boleh dipasung hanya di ruang kapur tulis.

Saya jadi ingat seorang teman. Dia suka bercanda, “Anak Tafsir itu kerjaannya nafsirin apa saja: tafsir Qur’an iya, tafsir hadis iya, tafsir mimpi iya, tafsir perasaan pun bisa.” Satire ini sebenarnya menyimpan kebenaran. Belajar Tafsir itu melatih sensitivitas: bagaimana membaca simbol, menangkap makna, memahami konteks. Jadi, kenapa alumni Tafsir tidak boleh masuk ke ranah konseling atau psikologi populer? Bukankah banyak orang butuh teman yang bisa menafsirkan keresahan hati mereka?

Lebih jauh lagi, di era digital, tafsir itu bukan hanya soal kitab kuning. Dunia maya penuh teks, penuh simbol, penuh narasi. Anak Tafsir bisa masuk sebagai “digital interpreter”—orang yang mampu membongkar hoaks agama, memfilter pesan dakwah, bahkan membuat konten kreatif berbasis Qur’an. Kalau jurnalis politik bisa mengulas pidato presiden, kenapa jurnalis Qur’an tidak boleh mengulas bagaimana ayat tentang lingkungan dipakai dalam advokasi isu iklim?

Sayangnya, bayangan para pihak jurusan (IAT/IQT) sebagian besarnya sering konservatif: “PKL/PPL ke sekolah, Pondok dan Lembaga Qur’an, untuk ngajar.” Ya, ngajar memang jalan yang paling aman, paling standar. Tapi kalau jurusan ini mau hidup, mau punya daya saing, harus ada keberanian mengirim mahasiswa Tafsir PKL/PPL ke lembaga zakat, ke KUA, ke media massa, bahkan ke lembaga penelitian sosial. Supaya mahasiswa sadar: ilmu mereka bisa dipakai di banyak meja, bukan hanya di meja kelas.

Coba kita lihat realitas sosial. Zakat butuh ahli teks Qur’an untuk menafsir ayat “Khudz min amwâlihim shadaqatan tutahhiruhum…” dalam konteks ekonomi modern. Fatwa tentang fintech, kripto, atau lingkungan butuh orang yang bisa membaca tafsir tematik. Haji dan umrah butuh pembimbing yang bukan hanya paham manasik, tapi juga bisa menenangkan jamaah dengan pemahaman Qur’ani. Media butuh penulis yang bisa mengaitkan isu global dengan nilai Al-Qur’an. Bahkan dunia politik pun sesekali menoleh ke Tafsir: bagaimana legitimasi ayat dipakai dalam pidato atau kebijakan.

Kalau kita batasi Tafsir hanya sebagai jalan jadi guru, kita sedang mengerdilkan potensi besar itu. Kita sedang bilang pada mahasiswa: “Kamu cukup jadi ustaz doa.” Padahal, bayangkan kalau alumni Tafsir ada yang jadi diplomat yang membawa wacana Qur’an ke forum internasional. Atau jadi aktivis lingkungan yang memakai ayat-ayat tentang bumi untuk kampanye ekologis. Atau jadi penulis novel yang menyelipkan tafsir dalam bahasa populer. Itu semua bukan mimpi, asal ada keberanian untuk melangkah keluar dari jalur konvensional.

Tentu saja, kita harus realistis. Tidak semua anak Tafsir mau jadi peneliti, jurnalis, atau pakar zakat. Banyak yang nyaman jadi guru, jadi ustaz, jadi kiai. Dan itu sah, bahkan mulia. Tapi yang perlu kita lawan adalah narasi tunggal bahwa Tafsir hanya itu. Jurusan ini seharusnya jadi ruang eksplorasi, bukan sekadar pabrik “ustaz seragam.”

Kadang, satire memang lebih jujur. “Kerjanya paling jual teks.” Ya, betul, tapi justru itulah kekuatannya. Dunia modern ini krisis makna, krisis teks yang benar. Anak Tafsir adalah para pedagang makna yang sah, yang jujur, yang bisa membedakan mana ayat yang bicara tentang etika, mana yang bicara tentang hukum, mana yang bicara tentang sejarah. Di tengah banjir informasi, siapa yang lebih relevan kalau bukan mereka yang belajar Tafsir

Kalau kita mau refleksi lebih dalam, mungkin inilah saatnya jurusan Tafsir berdiri dengan percaya diri. Bukan dengan narasi klise “melahirkan ulama tafsir,” tapi dengan visi lebih luas: melahirkan pembaca makna yang kritis, pembawa pesan Qur’an ke ruang-ruang yang sebelumnya tidak kita bayangkan.

Maka, kalau ada yang bertanya lagi, “Anak Tafsir jadi apa?” kita bisa jawab dengan senyum: “Kami bisa jadi apa saja yang butuh tafsir. Dari guru doa sampai ahli fatwa, dari kyai sampai jurnalis, dari pembimbing haji sampai aktivis sosial. Bahkan kalau perlu, kami bisa nafsirin isi hati kamu.”

Jadi, pihak jurusan, mungkin sudah saatnya berhenti mengurung mahasiswa Tafsir di ruang kelas pondok dan sekolah. Bukalah jalan mereka ke medan luas: ke media, ke lembaga zakat, ke riset, ke advokasi sosial. Supaya mereka bisa belajar bahwa Tafsir bukan sekadar jual teks, tapi menghidupkan teks. Biar alumni kita tidak hanya jadi “ustaz doa,” tapi juga jadi penerjemah zaman.

Karena pada akhirnya, tafsir itu bukan hanya soal kitab, tapi soal kehidupan. Dan anak Tafsir, dengan segala satirenya, sedang mempersiapkan diri jadi pembaca terbaik dari drama besar bernama dunia.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *