Belajar Politik Indonesia dari Sinetron Para Pencari Tuhan

INI salah satu sinetron yang menarik. Sempat viral di awal 2007-an. Sinetron ini termasuk sinetron yang ditunggu-tunggu kehadirannya tiap bulan Ramadan. Sinetron yang akhirnya mencapai purna episodenya April 2023 lalu ini disutradarai langsung oleh Deddy Mizwar. Aktor kondang yang sempat kini berpindah drama menjadi politisi.

Sebagai sinetron drama religi, menurut saya, Para Pencari Tuhan (selanjutnya PPT) sudah berhasil menampilkan wajah-wajah religius Indonesia dengan segala dinamika keagamaan dan sosial-politik yang melibatinya. Jadi di sini, ekspresi keagamaan tidaklah berdiri sendiri. Selalu ada dinamika sosial-politik yang meliputinya.

Dalam sinetron ini, ekspresi-ekspresi politis diperankan oleh tiga sekawan: Pak RW (Idrus Madani), Pak RT (Joes Terpase), dan Bendahara RW (Hakim Ahmad). Mereka mencerminkan otoritas terkecil dari struktur politik Indonesia. Dalam sinetron ini pula, mereka memerankan kerja-kerja politiknya sesuai dengan perannya.

Namun, yang menarik di sini ialah peran politik mereka seperti dalam dunia nyata. Aksi-aksi kocak, nyeleneh, menipu-tertipu, gagal, bermusuhan, dan saling bersahabat sekaligus bersatu dalam peran ketiga orang ini. Oleh karena itu, tak salah, jika peran mereka di layar sinetron bisa menjadi pelajaran politik di dunia nyata saat ini.

Pertama, persahabatan dan permusuhan. Benar kata orang, dalam politik tidak ada sahabat dan musuh yang abadi, sebab yang abadi ialah kepentingan masing-masing kelompok. Tinggal, mereka menegosiasikan dan mengkompromikan kepentingan itu agar tercapai kesepakatan bersama antar kelompok.

Hari-hari ini, dalam politik Indonesia, Partai Demokrat sedang mengalami hal yang sama. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang sebelumnya digadang-gadang akan mendampingi Anies Baswedan sebagai calon presiden akhirnya hengkang. Anies Baswedan lebih memilih Cak Imin dan mendeklarasikannya sebagai calon wakil presiden.

Tak ayal, narasi kampanye Partai Demokrat yang sebelumnya setinggi langit memuji Anies Baswedan akhirnya berubah menjadi “penghianat”, “ingkar janji”, “pembohong” dan seluruh baliho dengan Anies Baswedan di-takedown. Seolah-olah mereka lupa bahwa kemarin mereka bersahabat layaknya sejoli di malam minggu. Bahkan, untuk menguatkan kata-kata tersebut, tersebarlah memo yang menyatakan bahwa Anies Baswedan sudah meminang Agus Harimurti Yudhoyono sebagai cawapres.

Tapi, tunggu dulu, proses politik dan persahabatan dalam politik tidak secepat dan seabadi itu, Mas AHY. Kembali ke teori awal, yang abadi itu kepentingan. Masalahnya, yang disebut kepentingan itu belum disetujui semua oleh partai koalisi perubahan itu. Posisi AHY, seperti hubungan tanpa status (HTS), seperti orang yang mau PDKT, chattingan-nya dibalas terus, malam minggu hangout bareng, balihonya dipasang bareng tetapi baperan sendiri, salting sendiri, cinta sendiri.

Apa relevansinya dengan sinetron PPT? jika Anda mencermati peran Pak RW, Pak RT, dan Bendahara RW itu, sebenarnya mereka tidaklah bersahabat dengan persahabatan yang adem ayem dan tertawa bersama di setiap momen. Pak RW dan Pak RT seperti air dan  minyak. Mereka selalu bersama tetapi tidak bisa bersatu. Pak RW dan Pak RT kerap berkelahi untuk mempertahankan argumen masing-masing. Tak jarang juga, pengkhianatan terjadi di antara tiga sekawan ini. Di mana, Pak RW kerap mengambil uang hasil proyek (kepentingan) bersama ketiganya tanpa sepengetahuan Pak RT dan Bendahara RW.

Baca Juga  Kesalahan Logika Iblis

Apakah mereka selanjutnya bermusuhan? Jelas tidak, masih banyak kepentingan-kepentingan bersama selanjutnya dari ketiganya sebagai “abdi masyarakat” untuk meraup untung dan menghasilkan pundi-pundi uang dengan jabatan-jabatan yang mereka miliki.

Nah, dari sini, kelihatannya, AHY dan anggota Partai Demokrat belum menonton sinetron PPT ini. Mereka kecolongan lebih dahulu. Siapa tahu, kepentingan mereka selanjutnya lebih diterima oleh koalisi perubahan. Siapa tahu ke depan mereka ingin kembali  lagi ke koalisi perubahan karena kepentingannya tidak menemukan kata sepakat di koalisi lain. Karena, menurut saya, melihat elektabilitas, peluang, dan bargaining politik, AHY tidak akan dijadikan cawapres oleh kandidat manapun. Padahal, menurut saya, untuk komposisi koalisi saat ini, yang paling menguntungkan AHY – walau tidak menjadi cawapres – ialah di koalisi perubahan itu sendiri.

Kalau sudah begini, jelas malu untuk kembali. Walau kata “malu” tidak dikenal dalam kamus besar politik Indonesia.

Kedua, pentingnya peran agama. Dalam politik Indonesia, agama selalu punya peran besar. Entah untuk meraup suara, untuk membentuk barisan pengikut, atau memanfaatkannya untuk menutupi kejahatan yang diperbuat. Agama selalu punya andil, bahkan dalam politik Indonesia tidak ada partai politik yang berani mengambil satu jalan. Jika ia nasionalis, pasti ada kata religius yang mengikutinya dan sebaliknya.

Fakta di atas, selalu dijadikan tameng. Pun, ketika Anies Baswedan menyampaikan pidato politiknya pada deklarasi dengan Cak Imin di Surabaya hari ini. Ia menyampaikan kurang lebih bahwa hadirnya Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menutup rongga-rongga dari komposisi sebelumnya, dan bagaimana kolaborasi nasionalis-religius, warga kota-desa dengan narasi-narasi yang kental dengan ajaran agama.

Seperti yang dijelaskan, bahwa agama selalu menjadi penting untuk meraup suara dan pengikut. Seperti itu juga, mungkin, yang diinginkan oleh Partai Nasdem dengan kehadiran PKB sebagai anggota baru. Efek elektoral PKB kelihatannya lebih menjanjikan daripada Partai Demokrat. Walau, harus mengorbankan kenangan, kemesraan, dan janji manis Partai Nasdem berani mengambil keputusan menggandeng PKB untuk memuluskan tujuannya.

Pembaca, tenang, sikap Partai Nasdem itu, lebih dulu dipraktikkan oleh tiga sekawan itu dalam sinetron PPT. Di mana, tiga sekawan terlibat menggunakan ayat dan hadis untuk membantu kepentingannya terhindar dari lilitan utang kepada warga saat tipu muslihatnya dengan memberitahukan salah satu warga sedang sakit supaya dibantu oleh warga terbongkar.

Baca Juga  Jatuh-bangun Etos Intelektual-Ulama dan Gerakan Kultural yang Bisa Dilibati

Tiga sekawan ini, dengan kelihaiannya, berhasil memengaruhi warga. Selain itu, tiga sekawan ini banyak sekali berusaha meraup keuntungan finansial dengan kedok acara-acara agama. Misalnya, untuk meraup uang dengan memanfaatkan sumbangan warga pada takziah kematian salah seorang anak warga. Walaupun gagal meraup keuntungan, tapi kelihatannya kerja-kerja politik dalam kamus besar politik Indonesia selalu menggunakan kata agama, religius, kesalehan dalam kata pertama kamus besar itu. Otoritas politik memang menempuh berbagai cara untuk memuluskan kepentingan dan tujuan-tujuannya.

Ketiga, bersatulah dengan pebisnis dan orang-orang berduit. Selain agama, uang dalam politik Indonesia selalu menjadi hal yang penting, apalagi era pascareformasi. Seperti yang dijelaskan Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru bahwa besarnya ongkos politik pada pemilu di Indonesia karena maraknya praktik jual beli suara. Selain itu, besarnya biaya politik juga dipengaruhi oleh sistem pemilu dan maraknya makelar politik.

Oleh sebab itu, para calon mau tidak mau harus dekat dan bersatu dengan para pebisnis dan orang-orang kaya. Jelas, dalam politik Indonesia hari-hari ini marak terjadi. Oligarki yang ada di setiap sudut politik Indonesia menjadi bukti. Seolah-olah, jika tidak disponsori uang, maka roda politik tidaklah berjalan. Dan itu sahih adanya. Maka, para calon dengan segala manuvernya dengan pebisnis, selalu dan bahkan menjadikannya pertimbangan awal untuk sikap-sikap politiknya.

Dan, kembali, tiga sekawan dalam sinetron PPT itu mempraktikannya dengan lihai. Mereka terus mendekati warga yang kaya untuk sekadar mendapatkan proyek atau pekerjaan yang menghasilkan duit untuk mereka. Mereka tak segan untuk memuji si kaya itu dengan bahasa hiperbola untuk meraup simpati si orang kaya itu.

Dengan begini, maka jangan kaget dengan politik Indonesia. Pelajaran-pelajaran berharga malah lebih gamblang dan terang dalam sebuah sinetron ketimbang khutbah politik lewat diktat, buku, dan artikel dalam jurnal yang teindeks scopus itu.[]

Ilustrasi: Facebook PPT

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *