Wisata Halal: Memenuhi Gaya Hidup Kelas Menengah Muslim

PADA tahun 2017 jumlah populasi masyarakat muslim di dunia adalah 1,59 miliar jiwa atau sekitar 23% dari total populasi dunia.  Jumlah itu diperkirakan akan mencapai 2,7 miliar pada 2050 yaitu 29% dari penduduk dunia adalah umat muslim (baca; tirto.id ‘saat Islam Menjadi Agama Mayoritas di Dunia’, 2017). 

Ini akan menjadi potensi bagi perekonomian dunia, kaitannya dengan adanya kebijakan wisata halal. Hal ini, menjadi penting untuk diteliti bagaimana kapitalisme membentuk ruang agama menjadi bernilai dalam komoditas ekonomi, dimana kesalehan dan modernitas adalah perpaduan dalam membentuk masyarakat muslim di dunia.

Dalam prediksi Boston Colsulting Group menunjukkan, jumlah kelas menengah muslim di Indonesia akan mencapai 62,8% dari 267 juta jiwa total populasi penduduk Indonesia pada 2020, jika dilihat maka sekitar 147 juta jiwa dan sekitar 137 juta jiwa tinggal di perkotaan. Naiknya kelas menengah muslim ini (middle class) merupakan potensi bagi pelaku usaha, terutama dalam sektor industri pariwisata karena meningkatnya kelas menengah berkelindan dengan naiknya daya beli masyarakat muslim di Indonesia.

Meningkatnya kelas menengah muslim terutama di perkotaan, membentuk berbagai kehidupan muslim di kota. Mengikuti modernitas tanpa meninggalkan tuntutan agama merupakan ciri bagi muslim di perkotaan, maka muncul berbagai tren seperti menggunakan hijab, maraknya isu hijrah, serta munculnya wisata halal.

Walau kelas menengah muslim meningkat, akan tetapi masih menjadi konsumen dalam skema ekonomi dan bisa terjadi juga di bidang politik. Berkaitan dengan masyarakat muslim di ruang publik, menurut Henri Lefebvre dalam artikelnya yang berjudul The Production of Space menulis space is real in the same sense that commodities are real since (social) space is a (social) product. Artinya bahwa ia berpendapat kapitalisme modern telah menjadikan ruang sebagai locus of production, mengartikulasikan komoditas yang akan terus berkembang.

Berangkat dari teori ruang Henri Lefebvre bahwa sesungguhnya tidak ada ruang yang ideal karena ruang itu secara spasial dalam masyarakat kapitalis modern merupakan arena pertarungan kepentingan yang tidak pernah selesai. 

Baca Juga  Hirarki Manusia dalam Perspektif Hadis

Untuk mempertahankan ruang, maka pengetahuan diproduksi dan argumentasi ilmiah digunakan untuk mempertahankan. Hal ini dapat digunakan dalam analisis mengenai bagaimana ruang (agama) diproduksi menjadi komoditas ekonomi, kasalehan dikonversi menjadi sebuah komoditas.  Seperti halnya wisata halal bukan saja mengenai pemenuhan syariat Islam melainkan menjadi gaya hidup masyarakat kelas menengah muslim.

Kondisi ekonomi serta sumber-sumber penghidupan masyarakat kota dengan desa adalah gambaran lain yang dapat mendukung argumentasi bahwa seperti wisata halal adalah kepentingan kelas menengah muslim kota yang sumber ekonomi berasal dari pekerjaan yang tidak jauh dari perkantoran dan industri seperti pengusaha dan pegawai negeri sipil.

 Sedangkan di desa, mayoritas sumber ekonomi didapatkan dari alam seperti bertani, berternak atau menjadi nelayan. Kegiatan ekonomi antara masyarakat desa dan kota yang jauh berbeda membuat masyarakat desa tidak tertarik dengan gaya hidup modernitas seperti tergambar dalam kehidupan masyarakat muslim kota yang tidak jauh dari kehidupan konsumerisme, menginginkan kehidupan yang tetap menjalankan syariat Islam dengan tidak meninggalkan modernitas. 

Carboni et al. (2004) mendefinisikan wisata Islam sebagai “as tourism in accordance with Islam, involving people of the Muslim faith who are interested in keeping with their personal religious habits whilst travelling”. Berdasarkan argumen ini dapat dikatakan bahwa wisata Islam adalah wisata yang sesuai dengan koridor syariat agama, melibatkan orang Islam yang tertarik untuk menjaga spirit keagamaan sambil melakukan travelling. 

Carboni hanya melihat wisata halal sebagai sebuah kegiatan perjalanan yang lepas dari kepentingan lain seperti industri pariwisata. Dalam skema kapitalisme dapat dilihat bahwa kebijakan wisata halal hanya mengakomodir sifat konsumen masyarakat muslim dalam hal ini kelas menengah muslim perkotaan.

Jika melihat wisata halal sebagai kegiatan travelling semata yang tidak bertentangan dengan agama Islam, maka, secara hukum agama, wisata halal sah-sah saja. Jika wisata halal dipandang memberi keuntungan,  itu hanya dalam pengertian kepentingan negara dengan pelaku industri pariwisata.

Baca Juga  Beban Ganda Ilmuwan Sosial

Maka akan berbeda jika melihat kebijakan wisata halal dalam prespektif lain.  Misalnya dengan pendekatan institusional oleh Kooima, 1993 yaitu pendekatan yang melihat kebijakan dari aktor yang terlibat serta argumentasi yang digunakan untuk memberi jutifikasi atas kebijakan yang dikeluarkan.  Dalam hal ini,  wisata halal melibatkan negara sebagai pembuat kebijakan, pelaku industri pariwisata sebagai aktor yang mendapat keuntungan serta masyarakat kelas menengah muslim sebagai konsumen.

Sedangkan meminjam argumentasi Henri Lefebvre, mengenai ruang merupakan arena yang diproduksi oleh aktor yang memegang alat produksi, maka wisata halal bermakna kesalehan beragama.  Meningkatnya kelas menengah muslim merupakan arena untuk membuat ruang ekonomi bagi berbagai pelaku industri yang mendapat keuntungan. 

Kemudian ruang itu diperkuat dengan argumentasi ilmiah yaitu wisata halal merupakan kebutuhan masyarakat muslim yang menginginkan perjalanan ke tempat wisata tanpa rasa takut lalai terhadap tuntutan agama seperti makanan halal serta tempat ibadah (masjid atau mushola). Sedangkan argumentasi yang diproduksi untuk mendukung kebijakan pemerintah mengenai wisata halal adalah argumentasi ekonomi, seperti meningkatnya penerimaan pajak.

Bagaimanapun adanya wisata halal, jika dilihat dalam berbagai hal seperti ekonomi dan relegius bahwa skema ekonomi dunia melalui wisata halal masih menempatkan masyarakat muslim sebagai konsumen. Dengan menangkap kebutuhan kelas menengah muslim di dunia maka wisata halal muncul sebagai salah satu untuk pemenuhan kebutuhan itu, kebutuhan mengenai gaya hidup yang tetap mengikuti modernitas dan tanpa mengganggu kehidupan beragama. []
Ilustrasi: idntimes.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *