DALAM sejarah Yunani Kuno orang yang pertama kali diketahui berfilsafat adalah Thales. Menurut filsuf yang tinggal di dekat laut ini, segala sesuatu yang ada di alam semesta berasal dari air. Jauh setelah itu, al-Qur’an juga menegaskan bahwa dari air-lah dijadikan segala sesuatu yang hidup (al-Anbiya: 30).
Setelah gagasan Thales menyebar ke mana-mana, juga setelah al-Qur’an dipercayai kebenarannya di mana-mana, krisis air justru menjadi satu hal yang berlaku di banyak tempat. Thales memberi isyarat bahwa air adalah sumber kehidupan, Tuhan pun telah menyediakan keberlimpahan air demi keberlanjutan hidup makhluk di bumi.
Tetapi, ketika dinyatakan bahwa telah terjadi krisis air di bumi, barangkali Tuhan pun akan bertanya-tanya, kemanakah larinya air yang disediakan oleh-Nya?
Makhluk yang tentu saja tidak perlu dicurigai adalah malaikat. Sebab, ia tidak memiliki mitra bisnis untuk usaha penyelundupan air menuju bulan. Juga, tak punya mitra bisnis untuk memonopoli air untuk menciptakan ketergantungan seluruh alam untuk memegang kendali dunia sebagaimana cita-cita Akatsuki dalam serial Naruto.
Begitu pula kepada tumbuhan dan binatang yang tidak punya cukup modal untuk menguasai dunia. Kecuali, seketika mereka menyadari bahwa merekalah makhluk paling tertindas di alam raya. Lalu memutuskan untuk membalas dendam kepada umat manusia.
Jadi, kemanakah larinya air?
***
Pada 2019 hingga 2020, persoalan air menjadi satu hal yang bergentayangan di Kota Bima, Kabupaten Bima, serta Pulau Sumbawa umumnya. Krisis air kemudian menjadi bahan pemberitaan media-media lokal. Persoalannya, apa yang kita bicarakan sebagai krisis air mengandung mitos, seolah-olah sebuah kota yang memang minim ketersediaan air tanah.
Mitos itu dibangun lewat artikulasi mengenai dampak krisis iklim global yang sedang melanda dunia. Sehingga, kita dituntun untuk membayangkan bahwa perubahan iklim global menyebabkan berkurangnya air tanah di Bima. Bukan sebuah mitos kosong melompong, karena mitos ini mengarahkan pikiran kita untuk belajar memberi ‘pewajaran’ terhadap apa yang disebut “krisis air.” Seolah-olah krisis air adalah bencana yang terjadi secara alamiah, atau minimal sebagai bencana yang terjadi akibat kesalahan global.
Salah seorang pemilik AMDK-lah yang membuat saya menghasilkan kalimat di atas. Dalam sebuah tanggapannya terhadap persoalan krisis air, ia menyatakan bahwa, “Masalah kekeringan ini harus dilihat dengan bijak, karena terkait iklim global…” (Lihat, Kahaba.net, Krisis Air di Kota Bima, Cara Pandang Syahwan Dinilai Keliru)
Sejalan dengan pandangan di atas, Walikota Bima ketika menanggapi persoalan yang sama mengajukan solusi berupa program penghijauan sebagai solusi jangka panjang mengatasi krisis air bersih. (Lihat, SuaraNTB.com, 15 Tahun Krisis Air Bersih, Warga Kota Bima Protes)
Tentu saja, perubahan iklim global berdampak pada kekeringan, tidak salah pula bila hendak melakukan penghijaun. Akan tetapi, dua pernyataan itu secara tidak langsung telah mengalihkan makna ‘krisis air’ dari tanggung jawab atas pengelolaan air. Dengan kata lain, di tengah ancaman krisis iklim global, warga negara disarankan untuk menutup mata melihat air di dalam tanah dihisap oleh perusahan air kemasan.
***
Kemanakah larinya air?
Secara umum, daerah di mana terdapat pabrik air kemasan selalu dibarengi dengan munculnya krisis air. Ini ironi. Tetapi menariknya, pemilik pabrik akan berdalih bahwa bencana itu tidak ada kaitannya dengan pengeboran yang mereka lakukan, karena mereka menyedot air dengan kedalaman tertentu yang berbeda dengan air yang digunakan oleh masyarakat.
Benar begitu?
Menurut Yaya Nur Hidayati (2018), bahan baku air yang digunakan oleh pabrik air kemasan diambil dari sumber air di sekitarnya dan bisa mencapai ribuan liter dalam sehari. Sebab, untuk memproduksi setiap liter air minum kemasan, dibutuhkan tiga liter air untuk memproduksinya. Itulah yang menyebabkan terjadinya krisis air (Haryanto, 2016).
Sialan!
Dalam kondisi krisis air, masyarakat terpaksa membeli air yang dikemas oleh perusahaan-perusahaan yang berjualan air. Dan, betapa pahitnya hidup kala mengetahui bahwa air yang Anda beli akibat kekeringan itu adalah air yang seharusnya bisa Anda dapatkan dengan gratis sebagai hak atas kewarganegaraan Anda. Juga hak atas anugerah Tuhan yang merata.
Sekali lagi, kemanakah larinya air?
Siklus hidrologi dikenal sebagai siklus kekelan air, di mana air akan tetap tersedia untuk bumi. Namun, air mengalami proses sirkulasi yang menyebabkannya tidak tersedia setiap saat layaknya udara (Bonar, 2017). Artinya, ketika air berada di atmosfer misalnya, dibutuhkan waktu untuk kembali secara alamiah.
Hal itu berbeda dengan sirkulasi buatan manusia. Sebab, ia tidak kembali secara cuma-cuma. Meskipun ia masih ada di bumi, namun tersedia dalam bentuk kemasan ukuran gelas, botol tanggung dan besar. Untuk mendapatkannya, tentu saja tidak secara alamiah, melainkan melalui proses pembelian, di mana Anda harus mengeluarkan rupiah.
Di saat bersamaan, mitos tentang ‘krisis air’ sebagai akibat dari perubahan ‘iklim global’—sembari menghindar dari kenyataan adanya privatisasi air, dibangun oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggungjawab atas persoalan krisis air. Hayo, siapa dia? Tebak sendiri ya!
Naif! Pernyataan sedemikian rupa seolah-olah menghindari kenyataan bahwa krisis iklim juga diakibatkan oleh eksploitasi alam dan rusaknya lingkungan. Bayangkan saja, berapa juta barel minyak yang digunakan untuk menghasilkan wadah plastik air kemasan tiap tahunnya di Indonesia? Dan, berapa banyak sampah plastik yang telah mengakibatkan rusaknya lingkungan?
***
Kita tidak perlu menjadi filsuf dan ulama terlebih dahulu untuk menyadari betapa pentingnya air dan dampak-dampak yang terjadi akibat persoalan air. Antara krisis air, privatisasi air oleh swasta, dan perubahan iklim global adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Maka, dampaknya pun adalah kait kelindan persoalan pengelolaan sumber air.
Maka, suatu saat ketika terjadi kelangkaan pangan dan timbulnya penyakit akibat krisis air bersih, juga adalah hal yang tidak bisa dilepaskan dari ketiga hal di atas. Ya, tidak akan jauh-jauh dari air. Sebab, air memang seharusnya mengalami siklus alamiah, bukan siklus rekaan korporasi.
Terakhir, barangkali Anda penasaran air apa yang bikin haus?
Air yang bikin haus adalah air yang harus dibeli. Karena untuk mendapatkannya dibutuhkan keringat dari hasil kerja. Ketika terjadi kelangkaan, maka kerja-kerja yang dibutuhkan harus lebih giat ketimbang sebelumnya.[]
Ilustrasi: suara.com
Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di komunitas literasi Ma Lino Institute, menulis essay dan cerpen.