PAGI-PAGI seorang peminta-minta datang ke rumah. Seorang pria paro baya. Saya yang sedang handukan mau mandi terpaksa menyambutnya. Usai menjawab salam, saya persilakan masuk tapi dia menolak. Dia memilih berdiri santai di depan pintu sambil mengisap rokok. Asap tebal mengepul. Saya segera memberinya sedekah.
Sambil mengucapkan terima kasih mulutnya komat-kami merapalkan doa. Jarinya masih mengapit rokok yang masih berasap. Setelah itu ia pamit. Saya mengikuti punggungnya hingga keluar dari pintu pagar. Memakai baju berwarna hijau yang terlihat lusuh, dari punggungnya terlihat gambar pohon disertai tulisan mencolok: “Satu Pohon Sejuta Manfaat”. Di baju itu terdapat logo Kementerian Kehutanan. Saya nanar melihat tulisan itu sambil merapalkan kata-kata yang tertulis: “Satu Pohon Sejuta Manfaat….”.
Meski sejak SMA saya bergaul dengan beberapa teman perokok namun hingga kini saya masih berhasil menghalau godaan merokok. Di samping karena belum ‘sejahtera’, alasan tidak merokok juga karena pertimbangan kesehatan. Saya takut sekali. Dengan merokok saya membayangkan bodi saya bakal tambah ‘minimalis’ alias lancip dan runcing. Kebayang, kan?
Peminta tadi, boleh jadi mewakili sebagian kondisi dan gaya hidup kalangan bawah. Sebuah kondisi paradoks: antara kemiskinan yang menjerat dengan kebiasaan merokok. Banyak survei menunjukkan, pada kelas bawah pengeluaraan untuk rokok lebih besar ketimbang membeli kebutuhan rumah tangga atau keperluan sekolah anaknya.
Menurut catatan BPS 2019, pengeluaran untuk membeli rokok dalam sebulan mencapai 6.05 persen secara rata-rata nasional. Lebih besar dibandingkan uang yang digunakan untuk membeli beras yakni sebesar 5.57 persen sebulan. Malah dalam sebulan, pengeluaran rokok masyarakat Indonesia setara dengan gabungan pengeluaran susu, telur ayam dan sayur-sayuran (Kompas.com, 28/4/2020).
Di sisi lain pertumbuhan jumlah perokok pemula di Indonesia juga mengerikan. Menurut data Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dalam sepuluh tahun terakhir jumlah perokok pemula meningkat hingga 240 persen. Pada 2007 angka perokok pemula mencapai 9,6 persen kemudian meningkat menjadi 23,1 persen pada 2018 dengan rentang usia SD-SMP 10-14 tahun, sedangkan usia lebih tua yakni 15-19 tahun mengalami kenaikan 140 persen (Detik.com, 12/2/2020).
Tak heran jika di sekitar kita, dengan mudah didapati anak-anak usia SMP bahkan SD sudah merokok sehingga omzet penjualan rokok tinggi sekali. Apalagi celah hukum maupun pajak rokok ini cukup longgar. Maka, sejumlah perusahaan rokok yang di negara asalnya dikenakan pajak tinggi, kini merelokasi perusahaannya ke Indonesia. Itulah sebabnya pendapatan negara dari cukai rokok lebih besar ketimbang royalti Freeport, misalnya. Perokok dianggap ‘pahlawan’ bagi devisa negara. Merekalah penyumbang terbesar bagi APBN kita. Pendapatan negara dari pajak cukai cukup besar. Dalam setahun industri rokok menyumbang cukai Rp 170 hingga Rp 200 triliun.
Tak heran bila pemerintah akan bersikap ‘kura-kura dalam perahu’ soal rokok ini. Membuat regulasi yang keras soal larangan merokok, termasuk di ruang publik, mungkin tidak terbayangkan. Kalaupun ada, penegakan hukumnya lemah. Pemerintah tidak serius dengan regulasi semacam ini kecuali sebatas formalitas belaka. Yang bisa dilakukan sebatas promosi atau advokasi soal bahaya merokok, kendati cara ini terbukti tidak efektif. Tidak hanya pajak, kontribusi industri kretek juga dirasakan di sektor lain seperti pembinaan olahraga dan pendidikan. Contohnya pusat pembinaan cabor bulutngkis dan beasiswa Djarum.
Besarnya efek ekonomi rokok juga melahirkan relasi menarik antara elit ekonomi dan elit agama sebagaimana tulisan Suhadi Cholil berjudul “Kiai Pondok dan Cukong Rokok: Integrasi dan Dilema Hubungan Elit Kultural dan Elit Ekonomi di Sebuah Kota di Jawa” dalam antologi Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer (2009). Tulisan ini berasal dari risetnya di kota kecil Modjosongo, Jatim, yang berjarak sekitar 15 KM di sebelah selatan ‘Modjokuto’. Yang terakhir ini popular berkat penelitian antropolog Clifford Geertz pada 1958.
Cholil merekam dinamika hubungan antara raksasa ekonomi lokal sebuah perusahaan rokok dan relasinya dengan masyarakat sekitar, khususnya kiai dan pesantren yang mewakili elit agama di tingkat lokal. Ada nuansa yang mengiringi relasi itu: ada negosiasi juga integrasi termasuk bagaimana agama dijadikan sebagai sarana ‘penaklukan’ untuk meredam aksi demo kalangan buruh.
Seperti halnya isu poligami atau bunga bank, soal rokok senantiasa melahirkan perdebatan teologis cukup panjang dalam Islam. Meski industri rokok menghidupi jutaan orang–sejak dari tingkat petani tembakau, buruh pabrik, pajak, hingga warung-warung kecil–tapi industri ini juga berpotensi “mematikan” banyak orang. Paling tidak membebani biaya kesehatan yang harus ditanggung negara, sehingga slogan sebuah merek rokok “….bikin hidup lebih hidup!” itu terbantahkan.
Karena rokok juga menimbulkan biaya ekonomi yang tak sedikit (biaya kesehatan, polusi, usia harapan hidup) maka ke depan pemerintah harus mencari sumber pendapatan lain di luar rokok. Mengandalkan pendapatan dari industri sigaret tapi dengan risiko yang lebih besar itu tak ubahnya menutup matahari dengan telapak tangan.
Meminjam tulisan di baju peminta-minta tadi, jika “Satu Pohon Berjuta Manfaat” maka rokok pun begitu: ”Sebatang Rokok Berjuta Mudarat!”. Dan hampir pasti, donasi yang diterima peminta-minta itu akan digunakan juga untuk membeli rokok. Ironis, bukan? []
Ilustrasi: apkpure.com

Akademisi, mantan wartawan kampus, dan pengagum Gandhi, “Plain Living High Thinking”.