Sebagai pemerhati hukum, tentunya saya tidak dilimitasi hanya pada batas hukum nasional saja. Apalagi setelah munculnya teori Hubungan Internasional, diperlukan juga tumbuhnya institusi baru yang berdiri sebagai aspek inklusi internasional yang lain.
Tak lama setelah serangan teroris mengancurkan menara kembar World Trade Center di New York, Duta Besar Swedia untuk PBB, Pierre Schori, berujar, “Serangan 11 September adalah pembunuhan kejam terburuk warga sipil oleh kaum teroris yang harus ditafsirkan sebagai ‘crime against humanity’ dan para pelakunya harus dibawa ke Mahkamah Pengadilan Internasional. Dalam konteks ini, Statuta Roma telah membuka babak baru dalam hukum internasional yang pasti akan mempengaruhi perilaku segera sekaligus juga perilaku manusia”
Mimpi memiliki sebuah Mahkamah Internasional (International Criminal Court) untuk mengadili kejahatan internasional sebenarnya sudah lama terjadi. Tentu banyak kejahatan internasional dan pelanggaran berat hak asasi manusia tak bisa diadili negara tempat kejahatan tertentu karena sistem hukum yang tidak kredibel atau karena hukum hanya merupakan kepanjangan tangan kekuasaan.
Singkat kata, kejahatan tanpa hukuman atau impunity merupakan kenyataan pahit yang harus ditelan, apalagi di suatu negara otoriter. Indonesia misalnya, adalah surga bagi kejahatan tanpa hukuman. Kalaupun ada pengadilan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia, pengadilan itu adalah realitas baru setelah berpuluh-puluh tahun rakyat kita dipaksa menyerah pada impunity.
Dunia bukannya tak punya mahkamah internasional, PBB sudah membentuk apa yang kita kenal sebagai International Court of Justice (ICJ), yang bermarkas di The Hague, Belanda. Tapi, ICJ dianggap tidak memadai untuk mengadili kejahatan internasional seperti kejahatan perang dan kejahatan hak asasi manusia. ICJ memang lebih efektif dalam mengadili perkara yang menyangkut negara, bukan “orang” yang melakukan kejahatan. Karena itulah ketika Perang Dunia II usai, untuk para penjahat perang dibentuk Nuremberg Trial.
Untuk itu pulalah, dalam kasus genosida di negara bekas Yugoslavia dibentuk special tribunal, sama seperti kasus Rwanda. Tapi semua ini dilakukan oleh badan pengadilan ad hoc yang membutuhkan resolusi Dewan Keamanan PBB, jadi bukan suatu mahkamah yang sifatnya permanen. Padahal resolusi Dewan Keamanan PBB itu sangat bergantung pada interaksi politik di antara negara anggota Dewan Keamanan PBB, yang sangat bergantung pula pada kepentingan politik subjektif setiap negara.
Jalan ke arah terwujudnya mahkamah internasional yang permanen mulai menampakkan titik terang ketika dalam sebuah konferensi PBB pada 17 Juli 1998, sebuah statuta yang sekarang disebut sebagai Statuta Roma dan disetujui oleh 120 negara. Tujuh negara menentangnya, sedangkan abstain 21.
Statuta Roma, menjadi cikal bakal lahirnya Mahkamah Pidana Internasional, adalah sebuah sejarah baru dalam gerakan hak asasi manusia, apalagi jika persyaratan ratifikasi yang harus dilakukan oleh setidaknya 60 negara sudah tercapai. Para pelaku pelanggaran hak asasi manusia bisa ketar-ketir karena tidak mustahil mereka akan diseret ke mahkamah karena tudingan bahwa pengadilan nasional tidak kredibel.
Rupanya, banyak negara yang tak siap menghadapi kenyataan bahwa ada warga negara yang diadili di mahkamah, dan ini akhirnya membuat ratifikasi macet. Saat itu sudah ada 56 negara yang meratifikasi Statuta Roma—setelah sebulan sebelumnya Panama melakukan ratifikasi. Dengan demikian, yang dibutuhkan hanyalah 4 ratifikasi lagi.
Koalisi internasional yang berkampanye untuk ratifikasi ini sangat optimis bahwa ratifikasi Statuta Roma akan mencapai angka 60 pada 11 April 2002 seperti yang dicanangkan. Optimisme itu sebagian karena banyak negara Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman sudah meratifikasi Statuta Roma. Sayangnya, partisipasi negara-negara Asia dalam ratifikasi ini sangat rendah, lebih rendah ketimbang negara-negara Afrika. Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, yang paling “lelet” untuk melakukan ratifikasi.
Satu negara yang diharapkan mendukung keberadaan Mahkamah Pidana Internasional adalah Amerika Serikat, yang ternyata malah mundur. Dikatakan oleh Pierre Prosper, Duta Besar Amerika Serikat untuk Masalah Kejahatan Perang, dalam koran The Straits Times, 30 Maret 2002. “The United States is not and will not be a part of ICC,” katanya. Pengunduran diri Amerika Serikat dari Mahkamah Pidana Internasional ini jelas merupakan pukulan bagi masyarakat internasional dan menunjukkan bahwa Amerika Serikat selalu menetapakan standar ganda dalam banyak hal, termasuk dalam bidang hak asasi manusia.
Kenapa Amerika Serikat menarik dukungannya? Jawabannya sederhana: Amerika Serikat tidak sudi melihat warganya diseret ke Mahkamah Pidana Internasional untuk berbagai tindak kejahatan yang terjadi. Sekarang ini tidak mustahil serangan tentara AS ke Afganistan akan dikategorikan sebagai kejahatan perang, kejahatan agresi, dan mungkin juga sebagai crime against humanity. Pada akhirnya, kepentingan nasional yang menentukan apakah ratifikasi itu dilakukan atau tidak.
Dalam koalisi internasional, tempat AS meminta dukungan dalam menghadapi terorisme, skala keangkuhan AS sebaiknya diturunkan. Kita semua tahu bahwa sistem peradilan di AS sudah sangat maju, tapi sebagai bagian dari komunitas antarbangsa, sebuah kebersamaan merupakan prasyarat mutlak yang diperlukan dalam membangun suatu perjuangan yang bahu-membahu.
Pada dasarnya, kejahatan internasional adalah musuh kolektif umat manusia. Dan untuk menghadapinya, kita pun harus secara kolektif berjuang bersama-bersama. Mahkamah Pidana Internasional seharusnya menjadi semen pengikat dan koalisi internasional dalam pergerakan hak asasi manusia.
Ilustrasi: Tempo.co
Bekerja formal di kampus sebagai mahasiswa, di luar itu bekerja sebagai kuli aksara, dan kuli lainnya.