HIRUK PIKUK aktivitas Syawal pada masyarakat muslim khususnya di Nusa Tenggara Barat berangsur-angsur meredup seiring dengan semakin menaiknya penanggalan bulan hijriyah. Ingar bingar Syawal tergantikan oleh kegembiraan membincang tentang haji.
Berbincang tema haji bersama para calon jemaah haji menjadi tema yang selalu hangat, apalagi bagi alumni haji, seakan-akan ingatan tentang prosesi haji ter-update kembali tatkala kita membincang tentang pengalaman haji yang harus dibagi kepada calon haji.
Baca juga: Bukan Hanya Haji, Mudik Lebaran Juga Perjalanan Spiritual!
Para calon haji dan umrah penting untuk memahami hakikat perjalanan haji dan umrah sebelum melakukan layatan ke tanah Haramain. Perjalanan haji dan umrah adalah bukan perjalanan biasa, tetapi perjalanan ibadah, perjalanan religius, perjalanan tamu yang diundang oleh arrafiqil a’la—Tuhan yang maha mulia, tentu sangat berbeda dengan perjalanan wisata, perjalanan melancong, dan perjalanan rekreasi.
Karenanya, perbekalan yang Tuhan minta untuk dibawa serta dalam perjalanan tersebut bukan bekal perut; seperti makanan dan minuman, bukan pula bekal badan; seperti kostum atau busana, tetapi bekal terbaik yang Tuhan harapkan dari para calon jemaah haji dan umrah adalah takwa, yakni bekal yang berbasis imani, ukhrawi, dan rabani.
Tuhan tidak tertarik dengan bekal harta dan kemegahan sanak famili, akan tetapi yang Tuhan inginkan dari para tamunya adalah mereka datang dengan berbekal qalbun salim. Tamu yang memiliki kesucian hati yang dilambangkan dengan karakter mulia yakni la rafats, la fusuq, dan la jidal.
“Fa man faraḍa fīhinnal-ḥajja fa lā rafaṡa wa lā fusụqa wa lā jidāla fil-ḥajj”. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji (al Baqarah ayat 197).
Sebagai tamu Tuhan, akhlak karimah harus dikedepankan dengan menjaga diri dari melakukan rafas; yakni melakukan hubungan seksual, membincang, dan mengkhayalkan tema-tema yang berbau birahi, karena hal tersebut sangat dekat dengan kebiasaan hewani, maka kurang pantas bagi tamu terhormat untuk berbuat dan berbincang tema berbau birahi.
Baca juga: Haji dan Penguatan Jati Diri Perempuan: Merdeka!
Kemudian mengendalikan diri dari fusuq; seperti mencaci maki, menghina, atau mengingkari dan memberikan perlawanan secara sengaja dengan cara melanggar syariat yang benar yang datang dari Tuhan, seakan-akan tidak percaya dan kurang yakin bahwa apa yang Tuhan perintahkan adalah bermuatan kebenaran. Sikap itu adalah sikap iblis yang selalu menentang aturan yang Tuhan perintahkan.
Selanjutnya para tamu sedapat mungkin untuk menahan diri dari jidal; yakni berusaha semaksimal mungkin untuk tidak berbantah-bantahan, berdebat, dan berselisih dalam hal-hal yang sekecil apa pun, karena sikap itu sangat jauh dari karakter dan nilai kemanusiaan.
Tiga larangan Tuhan hendaknya menjadi perhatian khusus dan serius bagi para tamu yang akan datang ke bumi “al Haramain” sebagai tamu yang Tuhan undang secara khusus dan terpilih dari sekian banyak hamba-Nya.
Ingatlah bahwa larangan serupa atau yang senada pernah diberlakukan kepada Nabi Adam yang menjadi cikal bakal turunan manusia, yang tersurat pada ayat 35 surah al Baqarah, “Wa lā taqrabā hāżihisy-syajarata”. Dan janganlah kamu dekati pohon ini.
Larangan ini ternyata dilanggar oleh Adam karena kekhilafannya, dan akhirnya Adam bersama Siti Hawa harus rela keluar dari surga, dan Tuhan baru memberikan ampunan setelah bertahun-tahun berkelana memohon ampun kepada Tuhan.
Tuhan memberi isyarat bahwa keduanya telah diampuni dengan dipertemukannya kedua insan petualang yakni Adam dan Hawa di satu padang gurun yang gersang yang sekarang bernama Arafah sebagai simbol dari pengampunan Tuhan.
Penting untuk kita jadikan pelajaran dari kisah dramatis pada larangan Tuhan yang dilanggar oleh Adam, terutama bagi para dhuyufullah (para tamu Tuhan yang akan menjalankan prosesi ibadah haji dan umrah) harus berhati-hati dalam menyikapi tiga larangan Tuhan di atas.
Jikalau Adam keluar dari surga karena tidak patuh pada larangan Tuhan, maka sikap melanggar larangan itu janganlah sampai terulang di kalangan para tamu Tuhan dalam haji dan umrah, jika melanggar tiga larangan itu dengan sengaja, bisa saja mereka keluar dari rotasi haji dan umrah yang mabrur sebagaimana Adam dan Siti Hawa keluar dari surga.
Baca juga: Hijrah: Perubahan Mulai dari Diri Sendiri
Apabila seseorang telah keluar dari rotasi haji dan umrah karena sengaja melanggar larangan Tuhan, pasti akan berdampak pada perilaku yang tidak mengalami perubahan sebelum dan sesudah kembali dari menunaikan ibadah haji dan umrah. Di kalangan masyarakat awam dikatakan bahwa haji atau umrahnya mardud (tidak mabrur).
Untuk tetap berada dalam rotasi haji dan umrah yang mabrur, para jemaah haji dan umrah penting untuk berbekal takwa, karena hanya orang-orang yang berbekal ketakwaanlah yang senantiasa mampu mengendalikan, menjaga, dan membentengi dirinya agar tidak terjerumus pada tiga larangan Tuhan di atas.
Dan hanya orang yang berbekal takwa yang akan mendapatkan tuntunan Tuhan untuk melakukan niat yang suci, sehingga memahami bahwa perjalanan haji dan umrah itu harus dibarengi dengan tawakal yang tinggi, bukan sekadar hadir di Haramain untuk pamer dan pencitraan.[]

Dosen UIN Mataram





