Kenang-Kenangan dari Bumi Tambora

Karena ini akan menjadi catatan perjalanan pertama yang saya tulis, maka bagaimana harusnya saya memulai tulisan ini sebenarnya sedikit membingungkan. Pasalnya, perjalanan kemarin terlalu seru, jadi saya tidak sempat mencatat poin-poin yang akan dirangkai menjadi sebuah cerita yang di dalamnya memuat detail-detail perjalanan. Tapi mungkin tidak buruk untuk mencobanya kali ini.

Kemarin, tanggal 27 Mei 2021 kami bertolak dari Kalikuma Educamp di Ule, Kota Bima ke obyek wisata Oi Tampuro yang terletak di desa Oisaro, Kecamatan Sanggar, wilayah utara kawasan Gunung Tambora. Kami dari tim Kalikuma Educamp yang berada di bawah Alamtara Institute, bersama dengan kawan-kawan dari Komunitas Taman Literasi berangkat bersama menggunakan mobil pickup sekitar jam 2 siang.

Baca juga: Alamtara Institute dan La Rimpu Ikut Ambil Bagian dalam Festival Teka Tambora 2022

Di sana, kami tim Kalikuma Educamp dan La Rimpu mendapat amanat untuk mengisi workshop dengan tema, “Tambora: Dulu, Kini dan Nanti (Pengelolaan Potensi Lingkar Tambora).

Perjalanan menuju tempat tujuan sempat diwarnai dengan hujan deras. Kami yang menggunakan pickup akhirnya memasang terpal untuk mengamankan diri dan barang-barang yang kami bawa. Sepanjang perjalanan, kami dibuat takjub dengan pemandangan yang ada di sekeliling kami.

Tapi mungkin hanya saya yang sangat amat lebay mengekspresikan rasa kekaguman. Karena di antara anggota tim yang pergi, sepertinya hanya saya yang belum pernah ke kawasan gunung Tambora. Alhasil, setiap lihat pemandangan yang menurut saya keren banget, saya berwoah-woah dengan gembira.

Ika Indrayani, yang biasa kami sapa Kak Ika, akhirnya ditunjuk menjadi koordinator lapangan yang mengawasi kesuksesan jalannya seluruh rangkaian acara. sengaja mengarahkan abang supirnya mengambil rute yang lumayan jauh, yaitu rute Sai-Sampungu yang memecah laut dan gunung. Tujuannya agar kami mengenal rute dan melihat pemandangan yang jarang orang lihat.

Dan boom, tujuan Kak Ika sukses. Saya takjub melihat gunung yang pohon-pohonnya diselimuti oleh daun-daun pare hutan. Mata saya membulat ketika melihat hal itu. Saya jadi teringat latar tempat yang biasa ada di film garapan Disney. Imajinasi saya bermain, membayangkan ada peri yang beterbangan di atasnya. 

Semisal ThinkerBell, peri pengrajin yang sangat inovatif itu dan teman-temannya yang mengendalikan air, memelihara hewan, mengendalikan cahaya, eh eh, tapi kok jadi kayak Avatar? Pengendali-pengendali, itu. Hikss, sorry banget, saya orangnya receh, jadi catatan perjalanannya seperti ini. Gimana yah? Yaudah lah, yah.

Kami juga disuguhkan dengan pemandangan laut lepas yang ombaknya menampar-menampar karang dengan keras. Lalu melewati desa-desa yang bahkan baru pertama saya ketahui keberadaanya. Seperti Desa Boro, Piong, dan masih banyak lagi. Saat melewati kawasan Dompu, kami sempat menemui kendala berupa pohon tumbang, tapi alhamdulillah, tidak berlangsung lama karena keadaan tersebut cepat teratasi.

Baca Juga  Atun Wardatun: La Rimpu, Jangan Sia-Siakan Kesempatan dan Amanah!

Kami akhirnya sampai di kawasan wisata Oi Tampuro itu sore hari. Di sana, kami secara tidak langsung di sambut oleh banyak peserta lain dan pengisi acara yang masih memakai pakaian adat Bima. Sepertinya mereka baru saja menampilkan tarian. Sepanjang jalan menuju tempat camp ada banyak lapak yang menjual panganan dan cinderamata khas Bima khususnya wilayah kawasan Gunung Tambora.

Tenda Peserta Educamp Oi Tampuro
Saya juga mengamati, bahwasannya event ini disiapkan dengan persiapan yang lumayan apik. Di tempat camp-nya ada musala. Walau tidak dilengkapi dengan perlengkapan salat, tapi masih layak digunakan. Hanya saja, saya tidak mendengar suara azan. Tapi hal ini sepertinya punya dua kemungkinan, antara jarak musala dengan tempat camp kami yang terlalu jauh hingga tak terdengar atau azan tidak dilakukan dengan pengeras suara yang mumpuni.

Tempat camp itu juga difasilitasi dengan tiga wc yang airnya dialiri langsung dengan menggunakan pipa dari Oi Tampuro, tiga ruang ganti, yang satunya dijadikan tempat menyimpan logistik untuk peserta. Tim medis yang siap siaga dengan obat-obatannya, bapak-bapak tim SAR yang langsung bisa dikenali dari baju oranye  kebanggannya, mirip timnas sepak bola Belanda berlaga. Tim logistik yang meski agak telat menyiapkan penganan tapi layak diapreasiasi atas kerja kerasnya. Bapak-bapak tentara yang ramah dan berhasil mengamankan acara hingga akhir.

Kami mengisi acara workshop itu keesokan harinya, tanggal 28 Mei 2022. Sekitar jam 10 pagi kami memulai acara tersebut dengan peserta dari Saka Wira Kartika binaan Kodim 1608/Bima dengan pelatihnya Sertu Agus Budi R. Kami dari tim Kalikuma mendapat giliran pertama untuk menyampaikan materi yang selaras dengan tema yaitu mengetahui fakta-fakta yang terjadi saat meletusnya Gunung Tambora.

Baca juga: Bagaimana Tambang Merampas Ruang Hidup Kita 

Iya, loh. Ternyata Gunung tersebut meletus pertama kali tanggal 5 April 1815, yang saat itu disangka tembakan meriam oleh pemerintahan Inggris yang berkuasa di Hindia Belanda. Letusn Gunung Tambora juga dinobatkan sebagai letusan gunung api terdahsyat sepanjang sejarah dunia yang kekuatannya 170/171 kali dari ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang meluluhlantahkan Jepang.

Efek ledakannya, tidak hanya dirasakan oleh penduduk di sekitaran wilayah tersebut. Jauh, jauh sekali, hingga ke Eropa saat itu. Sempat ada tahun tanpa musim panas (Year Without Summer) akibat ledakan Gunung Tambora, setahun setelahnya, tepatnya tahun 1816. Suhu pada masa itu turun antara 1-2,5 derajat. Kemudian menyebabkan bencana kelaparan di belahan bumi yang lain hingga penulis novel terkenal Frekeinstein, Mary Shelley terinpirasi membuat tokoh monsternya dari anak-anak yang kurang gizi akibat bencana tersebut di pedesaan Swiss saat itu.

Dalam Buku “Tambora Mengguncang Dunia” (Kompas, 2015)
Wilayah yang kami tempati untuk camp juga merupakan wilayah yang masih tersisa dari letusan itu, Kerajaan Sanggar yang pada masa itu, setengah dari penduduknya merasakan dampak langsung dari letusan. Sedangkan dua kerajaan lainnya, yaitu Pekat dan Tambora hancur lebur dan tertanam hingga para arkeolog meneliti dan akhirnya mengetahui bahwa sempat ada kehidupan di sana lewat tulang-belulang dan artefak yang ditemukan, dan masih banyak lagi fakta lainnya.
Baca Juga  Cerita Sepotong Piza

Kami juga membahas mengenai “Tambora: Masa Kini dan Nanti” yang berfokus pada pembangunan yang telah dilaksanakan dan peluang-peluang yang akan dijelajahi di masa depan untuk kawasan Gunung Tambora.
Kakak-kakak Saka Wira Kartika yang menjadi peserta saat itu sangat antusias mendengarkan materi dari salah satu fasilitator Kalikuma Educamp dan dibantu oleh teman-teman dari Komunitas Taman Literasi.

Kegiatan ditutup dengan kuis dan pembagian doorprize dari pihak penyelenggara. Selanjutnya materi disampaikan oleh tim dari La Rimpu yaitu pengenalan potensi diri yang berhasil membuat anak-anak tersebut mengetahui kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.

Baca juga: Laila Tidak Majnun

Malam harinya, ada kegiatan cerdas cermat dan kunjungan Ketua DPRD Kab. Bima, bapak Muhammad Putra Feryandi, S.IP. Beliau menyapa peserta camp dan membagikan pengalamannya melakukan pendakian di Gunung Tambora dan peristiwa yang sempat membuatnya celaka waktu itu. Beliau juga memberikan hadiah kepada para peserta yang berani bertanya. Kegiatan tersebut kemudian ditutup dengan foto bersama.

Hari terakhir perhelatan “Event Nasional Mengenang 207 Tahun Meletusnya Gunung Tambora” tersebut, ditutup dengan aksi sadar wisata dan pembersihan area camp dengan membersihkan sampah-sampah yang berserakan. Hal ini tampaknya perlu disoroti lebih jauh, agar pada event selanjutnya bisa langsung disediakan tempat sampah yang banyak agar seluruh peserta bisa melatih dirinya untuk membuang sampah pada tempatnya dan tidak memberatkan sebagian pihak saat pembersihan.

Namun, beberapa hal yang saya amati, bahwasannya acara tersebut masih sedikit “tercecer” dan tidak kondusif. Mungkin kurangnya komunikasi. Tidak banyak agenda yang bisa diikuti oleh seluruh peserta camp yang dapat meningkatkan tali silaturahmi dan memberikan kenangan yang akhirnya dapat menarik mereka untuk kembali datang di event selanjutnya. Seluruh peserta camp hanya bisa menghabiskan waktu dengan kelompok-kelompok kecil dan tidak punya agenda untuk berbaur bersama peserta lain yang hadir.

Semoga di event selanjutnya, kita bisa merasakan betul-betul dekat dalam silaturahmi dan semoga tahun depan saya bisa melihat langsung Gunung Tambora-nya, yah. Hehehe.

Sampai ketemu di event selanjutnya.

Ilustrasi: Dok: Ika Indrayani

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *