Puisi-Puisi Irfan Limbong

Sungai Penebusan

Seseorang datang menyunggi sungai dari Taman Firdaus
Ditidurkan di bibir pikirannya
Terpasung dari bising letupan jantung kota
Ikan-ikan kecil yang menggendong kecil anaknya
Laksana romantika merariq di Gumi ini

Pembalut dan bungkus jajanan ringan
Seperti bucket “COD” mingguan
Merapikan diri di luar gerbang
Yang dijaga malaikat

Sungai penebusan ini
Tak pernah sepi
Lebih dari lima ribu tamu silih berganti
Merangkai diri yang terpisah
Meluruskan masa lalu yang tak pernah sama

Sebagian pengunjung memotong gemericik
Buah tangan bagi kolega
Mengubur labirin ketidakpastian
Dari sepenggal garis tangan Namruz

Bukan air
Bukan malaikat penjaga
Bukan pula gemericik
Arusnya yang gimbal senantiasa menggapai sublim
Di sela pertemuan yang tak pernah henti membungkus cahaya

Sembilu Langit LA

Alarm fajar menggulung rumbai langit “LA”
Hamparan dinginnya laksana rindang dahan markisa yang baru saja keramas
Terurai kusut asap knalpot teringkus angsuran

Di bibir sungai, burung-burung tak bernama bersahutan menebak nama-nama sampah
Gesit biawak menyelinap di tengah air dan bebatuan
Seperti Jaka Tarub si pencuri selendang
Diburitan fajar aku berjalan memunggungi waktu
Tanpa setitik ragu

Note : “LA” merupakan singkatan dari Labuapi

Panggung Itu

Wajahnya mengusam di sisir guguran daun
Mendung di kepalanya seperti tangga nada yang teramat sumbang untuk dinyanyikan

Kini
Seperti gawang ia mengangkang di atas sungai
Bersepatu hitam
Lengkap dengan jejak keringat di bibir kopiah hitamnya

Di sini
Apalagi yang kau nanti
Gemericik sungai itu adalah nisan percakapan
Atom kopi dari kencingmu telah berevolusi jadi ikan

Bergegaslah sebelum malam menyalakan lampu
Sebelum ungu, merah, putih warna tembok itu meledak
Dan untuk yang kesekian kali
Kau gagal menggerakkan kembali kipas angin di hatimu

Memunggungi Kiblat

Tiga shaf buku berdiri lurus memunggungi kiblat
Pundaknya berat memikul ilmu belasan abad
Filsafat dan sastra menanti pembaca
Tiba dituntun mata angin

Buku tak pernah gagal menerangi akal dan batin
Di luar jendela merah
Cahaya matahari selalu datang mematuk sepi
Ilmu belum lagi sepenggalah
kecongkakan disemburkan tanpa jeda
Masa depan terkujur pecah di ujung pangkur


Ilustrasi: BBC

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *