Seseorang datang menyunggi sungai dari Taman Firdaus
Ditidurkan di bibir pikirannya
Terpasung dari bising letupan jantung kota
Ikan-ikan kecil yang menggendong kecil anaknya
Laksana romantika merariq di Gumi ini
Pembalut dan bungkus jajanan ringan
Seperti bucket “COD” mingguan
Merapikan diri di luar gerbang
Yang dijaga malaikat
Sungai penebusan ini
Tak pernah sepi
Lebih dari lima ribu tamu silih berganti
Merangkai diri yang terpisah
Meluruskan masa lalu yang tak pernah sama
Sebagian pengunjung memotong gemericik
Buah tangan bagi kolega
Mengubur labirin ketidakpastian
Dari sepenggal garis tangan Namruz
Bukan air
Bukan malaikat penjaga
Bukan pula gemericik
Arusnya yang gimbal senantiasa menggapai sublim
Di sela pertemuan yang tak pernah henti membungkus cahaya
Sembilu Langit LA
Alarm fajar menggulung rumbai langit “LA”
Hamparan dinginnya laksana rindang dahan markisa yang baru saja keramas
Terurai kusut asap knalpot teringkus angsuran
Di bibir sungai, burung-burung tak bernama bersahutan menebak nama-nama sampah
Gesit biawak menyelinap di tengah air dan bebatuan
Seperti Jaka Tarub si pencuri selendang
Diburitan fajar aku berjalan memunggungi waktu
Tanpa setitik ragu
Note : “LA” merupakan singkatan dari Labuapi
Panggung Itu
Wajahnya mengusam di sisir guguran daun
Mendung di kepalanya seperti tangga nada yang teramat sumbang untuk dinyanyikan
Kini
Seperti gawang ia mengangkang di atas sungai
Bersepatu hitam
Lengkap dengan jejak keringat di bibir kopiah hitamnya
Di sini
Apalagi yang kau nanti
Gemericik sungai itu adalah nisan percakapan
Atom kopi dari kencingmu telah berevolusi jadi ikan
Bergegaslah sebelum malam menyalakan lampu
Sebelum ungu, merah, putih warna tembok itu meledak
Dan untuk yang kesekian kali
Kau gagal menggerakkan kembali kipas angin di hatimu
Memunggungi Kiblat
Tiga shaf buku berdiri lurus memunggungi kiblat
Pundaknya berat memikul ilmu belasan abad
Filsafat dan sastra menanti pembaca
Tiba dituntun mata angin
Buku tak pernah gagal menerangi akal dan batin
Di luar jendela merah
Cahaya matahari selalu datang mematuk sepi
Ilmu belum lagi sepenggalah
kecongkakan disemburkan tanpa jeda
Masa depan terkujur pecah di ujung pangkur
Ilustrasi: BBC
Pemuja huruf dan aksara, membaca adalah perlawanan.