Menakar Diri dalam Komunikasi

KEMAMPUAN berkomunikasi yang menjadi anugerah Tuhan kepada kita, baik secara verbal maupun non verbal akan menjadi identitas diri di tengah pergumulan sosial dan kemanusiaan. Seseorang terkadang akan dikenal dan dikenang oleh karena aktivitas komunikasi yang dilakukannya, sehingga lahir statement di kalangan orang bijak, bahwa manusia adalah bahan cerita bagi generasi sesudahnya.

Pada era perkembangan teknologi komunikasi  saat ini, ruang komunikasi publik lebih luas dan medianya pun lebih banyak dan lebih beragam, sehingga peluang dan kesempatan untuk melakukan komunikasi itu lebih terbuka.

Untuk era keterbukaan komunikasi saat ini, penting bagi generasi yang hidup pada zaman ini untuk memiliki prinsip hidup yang tegas sebagai rel yang menuntunnya kepada jalan yang benar.

Baca juga: Menyoal Keberadaan Diri di Bumi

Ada satu untaian hadis Nabi saw yang bisa dijadikan prinsip hidup di era perkembangan teknologi komunikasi, agar kita tidak kebablasan berkomunikasi atau berbicara apa saja, menulis apa saja, atau meng-upload apa saja.  Hadis tersebut berbunyi  “Qul khairan au liasmut”, berkatalah dengan perkataan yang benar, jika tidak mampu, maka lebih baik diam.

Ada dua prinsip yang digariskan Nabi saw dalam berkomunikasi, yakni berbicaralah atau diamlah. Berbicara dan bersuaralah yang baik dan benar jika mengerti topik pembicaraan, tetapi diamlah dengan ikhlas jika tidak memahami topik permasalahan.  

“Qul khairan au liasmut” menjadi kalimat paling bijak dan bermuatan moral bagi siapa saja  yang ingin melakukan komunikasi. Tidak hanya komunikasi verbal, tetapi juga non verbal.

Pada era perkembangan teknologi saat ini, media untuk menyalurkan hasrat berbicara tidak hanya mulut, akan tetapi lebih banyak dan lebih luas lagi. Bisa berbicara lewat gambar-gambar yang kita kirim dengan maksud memberi pesan tertentu, bisa juga berbicara lewat video atau invoice, bisa pula berbicara lewat jari jemari dengan menulis pesan tertentu dan maksud tertentu.

Baca Juga  Pajangan Diri dalam Galeri Takwa

Kalimat “Qul khairan atau berkatalah yang baik”, mengandung banyak pesan bijak, antara lain dalam berkomunikasi baik verbal maupun non verbal, di dunia nyata ataupun maya, janganlah asal bicara, jangan pula asal menulis, dan janganlah asal meng-upload, tetapi pikirkan dan renungkanlah terlebih dahulu sisi baik, sisi benar, dan sisi moral etiknya.

Jika permasalahan sudah jelas, baik dari sisi kebaikan maupun dari sisi kebenaran dan telah diyakini tidak bertentangan, maka bersuaralah, menulislah, dan meng-upload-lah dengan pilihan diksi dan gambar yang tidak melukai hati siapa pun yang mendengar, membaca, dan melihatnya.

Di samping itu, anjuran untuk berkata yang baik  mengandung pesan moral bahwa dalam berkomunikasi hendaknya yang mengandung kesan yang baik bagi siapa saja, artinya apa yang kita katakan tidak mencederai hubungan kemanusiaan dan hubungan sosial yang sudah lama terjalin. Isi pembicaraan kita hendaknya yang mengandung petutur tentang kebenaran dan kebaikan.

Demikian pula dalam mengirim pesan, berita, maupun gambar sebagai bagian dari berkata dengan perkataan yang baik, penting untuk diingat bahwa semua perkataan yang disalurkan melalui pesan gambar atau tulisan itu hendaknya dilakukan dengan hati-hati dan lebih selektif, dengan tetap berstandar pada kebaikan dan kebenaran.

Kemudian jika kita tidak dapat menjamin bahwa diri ini mampu berkomunikasi dengan standar yang baik, yang tidak bertentangan dengan kebenaran dan tidak melukai hati siapa saja yang mendengar, yang mengamati dan yang membaca, maka kata Nabi saw “Au liasmut” lebih baik diam, dan sikap diam menjadi pilihan yang paling bijak.

Diam yang dimaksud dalam konteks hadis di atas sering tidak teraplikasi dengan sempurna dalam praktik komunikasi, seperti; mulut memang diam, tetapi hati dan pikirannya lebih lincah berbicara ketimbang mulutnya. Mulut diam, tetapi tidak jarang anggota tubuh yang lain merespon dengan motorik yang tidak menyenangkan. Mulut diam, akan tetapi status dalam media sosialnya tidak bisa dikendalikan.

Baca Juga  Tutup Usia, Tutup Buku

Lebih baik diam, juga berarti tidak menggerundel di dalam hati atas persoalan yang kita tidak setuju, tidak kesal yang akhirnya membuat hati dan pikiran kita menggibah apa yang kita rasakan tidak sesuai.

Baca juga: Fokus Kepada Diri Sendiri

Anjuran untuk lebih baik diam, lebih tepat jika dijadikan sarana untuk merenung, agar menemukan waktu untuk bisa mengevaluasi diri dalam menyikapi keadaan, sehingga kita tidak gegabah membuat statement. Itulah diam yang harus kita lakukan dengan sepenuh hati, agar tidak mencederai bangunan komunikasi dan bangunan sosial yang sudah ada.

Sebagai catatan akhir, bahwa berkomunikasi dalam dunia nyata maupun maya, dalam topik apa saja, tetaplah pada dua pilihan sebagai prinsip, yakni berkata yang baik atau lebih baik diam. Di samping sebagai prinsip, juga sebagai etika yang mempertegas identitas diri.

Kata ulama, bila suatu statement cenderung pada keburukan, hendaknya seorang yang beriman menahan diri dari mengeluarkan statement, sebab apa yang sudah terucap tak mungkin ditarik kembali.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *