Anwar Ibrahim dari Malaysia dan Ilmu-Ilmu Profetika Kita

BELUM lama ini (24 November 2022), Anwar Ibrahim akhirnya dilantik menjadi Perdana Menteri Malaysia. Kenapa “akhirnya”? Karena tokoh ini sudah 20 tahunan terombang-ambing dalam dinamika politik Malaysia.

Saat Mahathir Muhammad berkuasa pada era 1990-an Anwar Ibrahim tokoh paling kuat untuk menggantikan mentor politiknya itu. Tapi nasib politik berkata lain, Anwar Ibrahim tersandera oleh intrik kekuasaan yang terjal. Orang bilang, Anwar Ibrahim contoh politisi tangguh, tahan banting. (Di)jatuh(kan), bangun lagi. Jatuh, bangun kembali.

Semula menanjak sebagai pemikir, aktivis, dan akhirnya sebagai politisi dan pejabat tinggi negeri. Ketika kecemerlangan itu hampir sampai puncak, tinggal selangkah menjadi perdana menteri, justru ia tersandung. Kekejaman politik dalam modus yang lain kembali ia rasakan. Ia mendekam dalam penjara.

Anwar Ibrahim bangkit kembali pada momentum kisruh politik yang dipicu oleh praktik korupsi di lingkaran kekuasaan. Segera, ia menjadi pemimpin oposisi yang antitesis bagi praktik kekuasaan. Pengalaman dan pengetahuan yang luas, menjadikannya oposan yang artikulatif sebagai dan empatik.

Orasi Anwar Ibrahim tentang kepemimpinan dalam bingkai Islam, demokrasi, dan keadilan sosial pada CTCorp Leadership Forum (9 Januari 2023), sebagai contoh, benar-benar memukau. Caranya “meringkus” isu-isu demokrasi, keadilan, dan situasi global dalam bingkai Islam, memperlihatkan ia intelektual yang piawai.

Nyatanya, ia tipologi intelektual cum aktivis politik yang tidak sekedar banyak membaca pikiran-pikiran besar Asia Tenggara dan dunia. Ia terjemahkan sedemikian rupa gagasan dan ideologi perjuangan menjadi sebuah kerangka dari mana ia menyandarkan langkah-langkah politiknya.

Baca Juga: Tanda Jejak Buya Syafi’i

Menariknya, ia mengaku menyerap banyak dari corak intelektualisme Indonesia. Ia berinteraksi dengan gagasan-gagasan  Soekarno, Hatta, Sjahrir, Natsir, Soejatmoko, Moehtar Loebis, Hamka, dan Nurcholish Madjid. Ia juga menimba ilmu perjuangan dari HMI pada era 1970-an. Itulah mengapa ia tampak sentimentil berbicara tentang dan di depan audiens Indonesia.

Diksi, frase, dan definisinya tentang konsep-konsep yang berkaitan dengan keadilan sosial, demokrasi, pluralisme, masyarakat madani, dan isu kemanusiaan, ia selaraskan dengan nilai-nilai dan pesan historis Islam, terutama dari al-Qur’an. Ia juga sandarkan pada pemikiran filosof Muslim, seperti al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, bahkan Ali bin Abi Thalib.

Baca Juga  Kiai Imam Mawardi: Maqasid al-Syari’ah As a Total Approach

Ia fasih, jernih, dan tercerahkan. Seperti pengandaian tentang sosok “muthahhar” atau “raushan fikr” dalam gagasan Ali Syari’ati. Dalam sisi tertentu sebagaimana tergambar dari letupan pikirannya, ia tampak grinta seperti intelektual organik ala Gramsci,

Ilmu Sosial-Politik-Agama Profetik ala Anwar Ibrahim

Jika intelektualisme Indonesia menjadi salah satu yang memberi warna bagi alam pikiran Anwar Ibrahim, maka jelas sosok itu wujud pengandaian dari proyek – misalnya – Ilmu Sosial Profetik (ISP) ala Kuntowijoyo. Meskipun tidak terkait secara langsung, paling tidak ada kemiripan paradigmatik yang hampir simetris antara gagasan ISP dan fenomena Anwar Ibrahim. Hal ini tergambar dari jargon-jargon yang melekat dalam kedua aras pemikiran ini.

Kuntowijoyo menggunakan aspek historisitas al-Qur’an sebagai sumber etis bagi gerakan pemikiran dan aksi Islam di Indonesia. Nabi-nabi yang terlibat dalam perbaikan masyarakat adalah manusia etik sekaligus manusia tindakan yang mengubah sejarah. Mereka membentuk “umat terbaik” atau masyarakat madani.

Merujuk kepada konsepsi al-Qur’an tentang umat terbaik (QS. Ali Imran:110), Kuntowijoyo kemudian merumuskan nilai-nilai dasar dari apa yang ia sebut Ilmu Sosial Profetik – yakni Humanisasi (ta’muruna bil ma’ruf), Liberasi (tanhauna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minuna billah).

Intinya, dengan ilmu sosial profetik manusia dibimbing untuk menuju atau kembali kepada hakikatnya yang condong kepada kebenaran (humanisasi), dihindarkan dari ketimpangan dan penindasan kultural dan struktural (liberasi), dan pada saat yang bersamaan memiliki kesadaran ketuhanan sebagai sumber continuum kehidupan umat manusia (transendensi).

Dengan ini diandaikan lahir manusia-manusia yang dapat meneladani perjalanan historik profetik, yakni sejarah para Nabi dan Rasul, dalam upaya mereka menjadikan masyarakat dalam sebuah negeri yang baldatun, toyyibatun wa rabbun ghafur (Masyarakat Madani).

Baca Juga: Merayakan Bulan Cak Nur, Menjadi Bintang Caknurian

Adapun seorang Anwar Ibrahim, menyandarkan pemikiran dan tindakannya pada, misalnya, teladan Ashabul Kahfi, yakni kisah anak-anak muda beriman, yang teguh-kukuh keyakinan dan bulat-kuat tekadnya, karena bimbingan hidayah (QS. al-Kahfi:13). Bagi Anwar Ibrahim, kisah ini dan lainnya adalah sumber etik, nilai, dan akhlak, bukan hanya bagi kesadaran religius, tetapi juga dalam aksi sosial, politik, dan kepemimpinan.

Baca Juga  Membincang Maqashid al-Syari’ah ala Gus Nadir (2)

Maka dalam pidato-pidatonya, Anwar Ibrahim tampak terpukau – dan memukau – dengan sumber-sumber profetis itu. Ia lalu menghubungkannya dengan isu-isu kemanusiaan, keadilan sosial, dan moralitas kepemimpinan pada dewasa ini. Makin sedap ketika ia bumbui naratifnya dengan kutipan-kutipan dari Mahatma Gandi, Roger Geraudy, Gabriel Marquez, Ivan Illich, Harry Lewis, Ortega Y Gasset, Syekh Thaha Jabir al-Alwani, sampai Taufiq Ismail dan Khairil Anwar.

Keluasan cakrawala berpikir model ini, membuat Anwar Ibrahim menjadi pemimpin yang optimis memandang dunia. Dengan ini ia menggagas ‘the Asian Renaissance’, untuk menepis inferiority complex bangsa Asia. Ini proyek intelektual ambisius, meskipun dalam tataran tertentu “masih” mewujud pada apa yang dilihat sebagai Malaysianisasi/Melayunisasi atau Islamisasi.

Tentu kita masih akan menunggu bagaimana ending dari perjalanan seorang Anwar Ibrahim ini. Apakah ia akan mengalamai jalan terjal lagi atau mulus yang akhirnya mengantarkannya jadi begawan pandito. Namun, dari fen0menanya kini, kita bisa berandai kembali lahirnya ilmu-ilmu profetik: Ilmu Sosial Profetik, atau Ilmu Politik Profetik, atau Ilmu Keislaman (kembali) Profetik.

Jika ISP ala Kuntowijoyo “mati suri” karena tak kunjung punya model faktualnya dalam sejarah sosial-politik kita, maka ilmu-ilmu profetik lainnya bisa digerakkan kembali untuk menghadirkan Anwar Ibrahim-Anwar Ibrahim yang kontekstual. Anak-anak muda “ashabul kahfi” sejati yang ditenggelamkan oleh simulakra, harus siuman kembali.

Ayo, PTKI, kita ulangi lagi eksperimen intelektualisme ini. Entah itu modifikasi Ihya Ulumiddin dan lainnya. Entah itu eklektika antara ISP-nya Kuntowijoyo, Kiri Islam-nya Hassan Hanafi, Intelektual Kolektif-nya Bourdieu, Intelektual Organik-nya Gramsci, dan sebagainya. Yang penting kita bisa raih “excellence with a soul”. Gemilang dengan jiwa, nilai, akhlaq, dan ada martabat (dignity).[]

1 komentar untuk “Anwar Ibrahim dari Malaysia dan Ilmu-Ilmu Profetika Kita”

  1. dr.badrun.mpd@uinmataram.ac.id

    Subhanallah tabarakallah prof semoga terus bisa memberikan ilmu dan pencerahan bagi banyak orang prof . Selamat sehat dan sukses selalu. Amin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *