You can see Bali in Lombok, but you can not Lombok in Bali, demikian Solichin Salam, mengilustrasikan hal-hal unik dan otentik yang ada di Lombok, melalui buku, Lombok Pulau Perawan: Sejarah dan Masa Depannya, (Kuning Mas, 1992).
(Lombo’ Mirah Sasak Adhi), adalah sebutan yang disematkan kepada suku bangsa Sasak Lombok oleh seorang pujangga ternama abad ke-14 (1365): Empu Prapanca (outsider). Pernyataan penyematan ini tertuang dalam Kakawin Negarakertagama, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1894 oleh seorang ilmuwan Belanda J.L.A. Brendes, dalam ekspedisi KNIL di Lombok. Kakawin Negarakertagama merupakan sebuah kitab yang menggambarkan kekuasaan dan kebesaran Kerajaan Majapahit kala itu.
Penyematan (Lombo’ Mirah Sasak Adhi), kemudian menjadi penyebutan dan identitas yang merujuk serta melekat pada Pulau Lombok beserta suku bangsa yang hidup berkembang beranak-pinak di dalamnya ini, tidaklah hadir dalam ruang hampa atau sekonyong-konyong muncul begitu saja.
Terlebih bahwa laqob dan penyebutan ini terungkap dan diberikan oleh outsider, orang yang berada di luar dan tidak memiliki hubungan kekerabatan maupun kerja sama dalam bentuk apa pun dengan Pulau Lombok (Sasak: Lombo’).
Baca juga: Serat Menak Sarehas: Islamisasi Teks atau Tradifikasi Islam?
(Lombo’ Mirah Sasak Adhi) lebih tertuju pada realita kualitas dan potret nyata sebagai sebuah cerminan dan manifestasi karakteristik aktual masyarakat Sasak-Lombok kala itu. Hal ini patut menjadi kebanggaan masyarakat sasak-Lombok sebagai sebuah peninggalan Luhur non benda yang tak ternilaikan.
Secara etimologi dewasa ini, kata Lombok berarti cabai, dan kemudian disematkan pada sebuah pulau kecil di Kepulauan Nusa Tenggara, berbatasan dengan selat Lombok di sebelah barat dan selat Alas di sebelah timur, merupakan bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat – setidaknya demikian yang tertuang dalam KBBI eletronik maupun cetak.
Sejauh ini, tidak mungkin untuk ditemukan garis penghubung dalam kajian akademis yang dapat menarasikan dan menjembatani secara logis dan ilmiah, antara nama Lombok yang berarti cabai yang pedas dan menjadi salah satu penyedap masakanatau hubungan antar keduanya.
Memperhatikan tahun penulisan dan penyebutan kata Lombo’ (Lombok) yang berasal dari bahasa Kawi Jawa Madya yang bermakna lurus. Sementara Sasak dapat diartikan sebagai realitas atau kenyataan, beberapa antropolog, seperti Goris mendefinisikan Sasak sebagai sebuah ikatan perkumpulan beberapa etnis suku multiculture yang terikat dalam satu ikatan yang utuh. Sementara Adi, bermakna kejujuran atau keperkasaan, bahasa populer sekarang memiliki daya saing. Adapun kata Mirah merujuk pada batu permata yang sangat berharga.
Jika masing-masing diksi dibedah satu persatu, maka akan telihat sebagai berikut: pertama, Lombok’ yang jika dimaknai sebagai Lombok atau cabai, tidak akan ditemukan dalam catatan dan lembaran negara, maupun catatan torehan sejarah masa lalu bahwa pulau ini pernah menjadi penghasil cabai.
Kedua, Mirah yang bermakna sejenis batuan mulia berharga. Realitas menunjukan bahwa tidak ditemukan adanya tambang emas, intan, perak, dan berlian dan beragam jenis mineral lainnya di pulau ini.
Ketiga, Sasak yang hingga kini masih diartikan sebagai kalimat penunjuk (saq : yang itu), (saq : yang berarti satu), atau dimaknai sebagai sebuah ikatan yang kuat dari beberapa unsur yang berbeda, masih memungkinkan untuk ditelusuri asal katanya. Keempat, Adi merupakan bahasa serapan bahasa Kawi yang bermakna, terdepan, digdaya, dan tangguh.
Memperhatikan ulasan di atas, memperjelas bahwa penyebutan dan penyematan istilah (Lombo’ Mirah Sasak Adhi) tersebut merujuk pada karakteristik sifat dan kualitas penduduk yang menempati pulau tersebut. Sebagai suku bangsa Sasak, kiranya patutlah berbangga, dengan identitas leluhur dan masa lalu yang sangat adiluhung.
Namun, di satu sisi hal ini menjadi pekerjaan besar, mengingat torehan dan warisan tinta emas sejarah tersebut yang hendaknya selalu dijaga, dipupuk, dan dibina terus menerus sehingga benar-benar menjadi identitas yang berkelanjutan dan tidak menjadi slogan tanpa makna, yang hanya mengisi romantika manisnya lembaran sejarah, namun tidak bisa dinikmati dan dicicipi kembali.
Baca juga: Wadu Paa: Abadikan Potensi Abadi yang Diabaikan
Dalam perspektif pendidikan, menjadi tanggung jawab setiap generasi dalam masyarakat Sasak-Lombok, untuk mewariskan istilah tersebut tidak hanya dalam nuansa kognisi semata, namun supaya menjadi torehan dalam bentuk afeksi dan psikomotor. Sehingga hal tersebut benar-benar menjadi identitas yang melekat dan menjadi satu kesatuan dalam bingkai kepribadian masyarakat Sasak-Lombok.
Lombo’ yang dimaknai sebagai sesuatu yang lurus mencerminkan pesan dan kebaikan berpikir, berbuat, dan bertingkah laku. Mirah yang berarti permata atau berlian yang sangat berharga, hendaknya setiap diri dan setiap jiwa memiliki keutamaan dan keunggulan yang dapat digali melalui kepribadian masing-masing atau kelebihan yang dapat ditunjukkan sebagai konsekuensi di masyarakat dalam hidup dan beranak pinak di bumi Sasak, sehingga hal tersebut menjadi hal yang menarik, sebagaimana permata.
Sasak yang mengandung arti sebuah ikatan dalam bingkai keragaman dan perbedaan; dialek, adat istiadat, tata cara kebiasaan yang sangat bervariasi dan masih berkembang hingga sekarang dalam masyarakat Sasak, janganlah menjadi pemisah yang memperlebar jurang demarkasi pemecahan di antara suku Sasak.
Seyogyanya, ragam perbedaan tersebut menjadi kekayaan intelektual budaya dan peradaban dalam horizon keunggulan dan keunikan Sasak-Lombok. Sehingga hal tersebut menjadi identitas dan kebanggaan bersama.
Adhi, yang bermakna digdaya, utama, unggul, terdepan, mumpuni secara spiritual, mampu menuntun dan membimbing masyarakat Sasak-Lombok menjadi masyarakat yang memiliki etos kerja yang tinggi, semangat yang membara untuk berjuang dan berdaya saing.
Ketangguhan dan kehebatan masyarakat Sasak terukir dan teruji dengan tinta emas sejarah. Dimulai pada peristiwa besar pada tahun 1257, meletusnya salah satu gunung berapi di Nusantara yaitu gunung Samalas (sekarang: Rinjani), yang kemudian meluluh-lantakkan hampir seluruh kehidupan dan peradaban yang ada, hingga pada fase-fase koloniasme dan modern sekarang ini, tidak serta merta menjadikan tradisi dan keunikan masyarakat Sasak hilang dan musnah dalam sejarah.[]
Ilustrasi: Pinterest.
Dosen UIN Mataram