Pada masa sekolah dulu tokoh pejuang emansipasi wanita yang paling sering diceritakan dan sangat dikenal adalah R.A Kartini. Namun ternyata dari daerah sendiri di Sumatera Barat ada sosok wanita yang tidak kalah gigih perjuangannya demi pendidikan kaum wanita.
Sampai sekarang saya berfikir kenapa dulu tidak pernah ada dalam materi pembelajaran tentang sosok beliau. Padahal kalau direnungkan para perempuan Minangkabau bisa sekolah setara dengan kaum laki-laki tidak lepas dari perjuangan beliau.
Baca juga: Kartini dan Sejarah di Ujung Tanduk
Beliau adalah Rahmah el-Yunusiah, perempuan Minang yang lahir pada tanggal 26 Oktober 1900 (1 Rajab 1318 H) di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang. Beliau adalah putri bungsu dari pasangan Syaikh Muhammad Yunus al-Khalidiyah seorang Qadli di Nagari Pandai Sikek, Padang Panjang. Ibunya bernama Umi Rafia adalah keturunan ulama dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Haji Miskin, tokoh paderi.
Rahmah el-Yunusiah menikah pada saat umur 16 tahun dengan Haji Bahauddin Lathif dari Sumpur Padang Panjang namun tidak berlangsung lama, hanya enam tahun dan tidak memiliki anak. Setelah itu beliau tidak menikah lagi dan mendedikasikan seluruh hidupnya untuk masyarakatnya khususnya di kalangan kaum perempuan.
Pada waktu itu para perempuan di Minangkabau sudah memiliki tempat yang istimewa di tengah-tengah kaumnya karena menganut matrilineal, akan tetapi tidak untuk pendidikan. Anak-anak perempuan hanya dapat memperoleh pendidikan dasar yang cukup untuk mengurusi rumah tangga saja. Tidak seperti laki-laki yang diberikan kesempatan untuk menuntut ilmu seluas-luasnya.
Pada 10 Oktober 1915, kakak dari Rahmah el-Yunusiah yang bernama Zainuddin Labay el-yunusy mendirikan sekolah agama Islam Diniyah School yang dalam kurikulumnya terdapat pelajaran umum dan dijalankan dengan cara pendidikan modern. Sekolah ini juga menerima murid perempuan yang merupakan hal yang baru pada sekolah agama pada saat itu.
Rahmah juga turut serta belajar di sekolah ini. Ia melihat, dengan bercampurnya murid laki-laki dan perempuan dalam kelas yang sama, membuat perempuan tidak bebas mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar.
Ia mengamati banyak masalah perempuan, terutama dalam perspektif fikih, tidak dijelaskan secara rinci oleh guru yang notabene laki-laki, sementara murid perempuan malu untuk bertanya. Untuk itu, beliau mempelajari segala bidang ilmu, mulai dari fikih, kebidanan, olahraga, keterampilan, tenun, ilmu hayat, dan ilmu alam yang kelak berbagai keilmuan ini mewarnai kurikulum di sekolah yang didirikannya.
Maka dari itu, di usianya yang masih 23 tahun, di saat perempuan bersekolah masih dianggap tabu, keberanian dan perjuangan Rahmah bagi kaumnya diwujudkan dengan membuka Madrasah Diniyah Li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhususkan untuk murid-murid putri pada 1 November 1923, yang kemudian populer saat ini dengan nama Diniyah Putri Padang Panjang.
Rahmah sangat teguh akan pendiriannya dan fokus pada tujuan awalnya mendirikan sekolah bagi perempuan. Ia ingin agar perempuan memperoleh pendidikan yang sesuai dengan fitrah mereka dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia tidak ingin kaumnya terbelakang, jika laki-laki bisa kenapa perempuan tidak bisa.
Keteguhan Rahmah dapat dilihat melalui usahanya mendirikan Diniyah Putri dengan seluruh tenaga pengajar adalah perempuan, Rahmah ingin menunjukkan bahwa perempuan yang selama ini dipandang lemah dan rendah derajatnya dapat berbuat sebagaimana laki-laki.
Ia mendanai Diniyah Putri sendiri dan melakukan penggalangan dana tanpa bergantung pada laki-laki untuk menjawab ejekan terhadapnya. Perwakilan Muhammadiyah pernah menganjurkan agar pengelolaan Diniyah Putri diserahkan kepada Muhammadiyah, namun Rahmah menolaknya, karena percaya pada kekuatan yang Allah berikan pada dirinya sendiri.
Rahmah tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial dan menolak ketika ditawarkan untuk mendaftarkan Diniyah Putri sebagai Lembaga Pendidikan terdaftar dan menerima subsidi dari pemerintah. Untuk menghindari adanya intervensi yang dapat merusak pengelolaan Diniyah Putri.
Rahmah juga pernah menolak penggabungan seluruh sekolah dan perguruan agama ke dalam satu wadah tunggal. Ia menolak Diniyah Putri bergabung. karena baginya lebih baik memelihara satu saja tapi terawat daripada bergabung tapi porak poranda ketika wadah yang menaunginya bubar.
Baca juga: Fatima Seedat: Muslimah Reformis dari Afrika Selatan
Pada waktu itu. Rahmah sangat menjaga agar sekolahnya tidak dipengaruhi dan diambilalih oleh siapa pun. Di satu sisi karena peran laki-laki masih mendominasi dan sekolah bagi perempuan ini masih di anggap baru seperti bak bunga baru merekah jangan sampai patah ataupun layu.
Ia sempat bergabung dalam politik, akan tetapi tidak lama karena merasa lebih bermanfaat dengan mengurus sekolahnya. Usaha beliau tidak sia-sia, terbukti Diniyah Putri masih berdiri sampai saat ini dan semakin berkembang hingga ke luar negeri.
Upaya yang Rahmah lakukan membuat kagum dan menginspirasi para petinggi Universitas Al-Azhar saat berkunjung ke Diniyah Putri pada Tahun 1955. Mereka mengakui Al-Azhar masih tertinggal jauh, akhirnya menginspirasi mereka untuk membuka Kulliyatu Lil Banat, fakultas khusus untuk perempuan pada 1962. Rahmah mendapat gelar kehormatan “Syaikhah” dan menjadi perempuan pertama yang mendapat gelar tersebut.
Dapat dilihat bahwa pemikiran beliau murni, tidak goyah, dan fokus pada pendidikan kaum perempuan, karena dengan pendidikan dapat mengangkat derajat perempuan sehingga dapat berkiprah di mana saja dan kapan saja. Namun, tetap tidak melupakan fitrah seorang perempuan untuk menjadi ibu yang akan mendidik para calon ulama dan cendekiawan di masa depan demi kemajuan negara dan agama.
Penulis jadi teringat ceramah KH. Zainuddin MZ, yang sering diputar di masjid pada sore hari waktu masih anak-anak. Sambil bermain di lingkungan masjid menunggu waktu salat Magrib, kami sering mendengar ucapan beliau “Wanita adalah tiang negara, jikalau baik wanita baik negara jikalau rusak wanita hancur negara” dan kata-kata ini, masih terngiang-ngiang sampai sekarang. Tidak salah Rahmah el-Yunusiah berjuang untuk mendidik para perempuan. Karena dari kasih sayang dan didikan ibulah lahir para generasi penerus bangsa.[]
Daftar Bacaan:
Fathurohman, Muhamad Nurdin. (22 April 2017). “Biografi Rahmah El Yunusiyah – Pejuang Kemerdekaan Indonesia, Pendiri Diniyah Putri”. Biografi Tokoh Ternama. Diakses pada 19 Maret 2023 | Isnaini, Rohmatan Lukluk. (Mei 2016). “Ulama Perempuan dan Dedikasinya Dalam Pendidikan Islam (Telaah Pemikiran Rahmah El-Yunusiyah)”. Jurnal Pendidikan Agama Islam (Journal of Islamic Education Studies) Vol.4 No.1. Diakses pada 18 Maret 2023 | Rohman, Baitur. (12 April 2022). “Mengenal Rahmah El-Yunusiah, Ulama dan Pejuang Pendidikan Perempuan di Indonesia. KompasTV. Diakses tanggal 18 Maret 2023.
Alumni Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Sjech M.Djamil Djambek Bukittinggi tahun 2014 dan di tahun yang sama lulus tes CPNS di UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram.