SAMA sekali bukanlah hal asing sekiranya terdengar kalimat waktu telu atau wetu telu. Hal ini dikarenakan tidak sedikit tulisan baik berupa sebuah karya yang sudah paten ataupun artikel dan cuitan-cuitan ringan yang menyinggungnya seperti, skripsi, tesis, disertasi dan beragam tulisan di dalam jurnal yang berskala nasional maupun internasional. Beberapa karya monumental dalam bentuk paten di antaranya M. Zaki, 2000, E Budiwanti, 2000, K. Zaelani, 2002 dan 2007, dan lain-lain.
Sebagian mengatakan bahwa wetu telu, merupakan agama tradisional yang berkembang di Lombok dan sebagian lain mengatakan bahwa wetu telu hanya merupakan sempalan dan kelompok dalam agama Islam yang ajarannya belum sempurna, serta pendapat lainnya mengatakan behwa wetu telu adalah kompromi singkrestis beragam unsur, mulai dari kepercayaan lokal Sasak-Lombok, dengan beberapa agama yang membawa beragam spirit yang ada di dalammnya.
Terlepas dari itu semua, penulis perlu menegaskan bahwa: Pertama, jika dipandang sebagai sebuah agama yang baru, wetu telu tidak memiliki unsur-unsur yang lengkap seperti tidak ada kitab suci dan nabi serta beberapa unsur agama lainnya.
Kedua, Jika wetu telu dianggap sebagai kelompok agama yang memiliki pemahaman dan belum sempurna, akan muncul pertanyaan sederhana, “lantas kelompok manakah yang sempurna? apa parameternya? dan siapa hakim penentunya?” karena hakikatnya agama dan keagamaan merupakan yang kombinasi hal yang sacral dan profane (sebagian tidak dapat terukur).
Ketiga, sekaligus pernyataan yang terakhir jika wetu telu adalah kompromi singkrestis beragam unsur: mulai dari kepercayaan lokal Sasak-Lombok, dengan beberapa agama yang membawa beragam spirit yang ada di dalammnya.
Pernyataan ini juga akan memunculkan asumsi sekaligus pertanyaan lain yang sangat menggelitik, bahwa tidak ditemukan satu pun agama di dunia ini yang turun dalam ruang yang hampa. Akan tetapi ajaran agama selalu menempati dan menjadikan sosial-budaya setempat sebagai wadahnya, agama apakah yang turun sekalian dengan instrumen sosial-budaya?
Baca juga: Be-paosan: Simbol Lembaga Pendidikan Tinggi Sasak
Narasi ilustratif di atas, hanya sekedar mengantarkan penulis yang menjembatani untuk menjelaskan tentang dasar-dasar situs, dan ritus spiritual Sasak, yang secara kebetulan ketiga unsur tersebut diklaim sebagai instrumen wetu telu, padahal seluruh penganut keagamaan di Lombok juga meyakini dan menjalaninya. Apakah nantinya akan terbangun antitesa sederhana atas terminologi wetu telu Sasak dan terminologi keberagaan lainnya, itu merupakan hal dan persoalan yang berbeda.
Ada tiga unsur dasar yakni: Pertama, menganak “prosesi perkembangan untuk manusia”, kedua, mentioq “prosesi perkembangan untuk tumbuh-tumbuhan dan tanaman”, dan ketiga, menteloq “prosesi perkembangan untuk hewan dan binatang ternak”, yang menjadi sumber, dasar, rujukan, motif atau apa pun namanya serta menjadi dasar seluruh situs dan dan ritus yang ada di Sasak-Lombok.
Dalam prosesi menganak, dijumpai beberapa situs seperti tempat-tempat untuk dikunjungi untuk dapat berdoa jika mengharapkan anak keturunan yang baik dan berbudi pekerti sesuai dengan yang diharapkan, atau agar kehidupan dan masa depan menjadi lebih baik, serta mengharap terhindar dari beragam persoalan dan hal-hal buruk lainnya.
Demikian pula tidak sedikit ritus yang kemudian menjadi ritual mulai dari selamet tian, meretes, pedak api, ngurisang, nyunatan, merarik, nyongkolan, hingga gawe kepaten serta banyak sekali ragamnya. Dalam prosesi mentioq, juga ditemukan bilangan situs seperti yang kemali’, yang diyakini membawa keberkahan seperti mata air, hutan belantara, dan pegununungan.
Dalam prosesi ini juga tidak sedikit ritus dan ritual yang kemudian terbentuk seperti: ngepon, brorerein, selamet, gumi, ngelilingin, nunas sesari, hingga selamet pare dan banyak lagi yang lainnya. Dalam prosesi menteloq, juga demikian halnya, tidak sedikit situs dan ritus yang dilekatkan padanya.
Semua situs dan ritus tersebut merupakan instrumen yang dijadikan masyarakat Sasak-Lombok untuk beribadah (memohon kepada Yang Maha Kuasa), dan mengapresisasi rasa syukur dan penghambaan. Dan banyak lagi ragam dan bentuk-bentuk selamatan lainnya yang juga terinpirasi dari ketiga spirit tersebut dan ditemukan di seluruh Lombok dengan varian keyakinan keagamaannya.
Tiga unsur inilah yang kemudian menjadi bagian dan salah satu spirit dan motivasi masyarakat Sasak-Lombok dalam beribadah. Dan sejauh ini, penulis menemukan bahwa spirit tersebut dijumpai di seluruh masyarakat Lombok, muslim maupun non muslim. Hanya saja instrumen dan tata-cara yang berbeda.
Uniknya, bahwa ketiga spirit di atas dilekatkan dan dijadikan sebagai identitas masyarkat Sasak wetu telu, dikarenakan kelompok ini menjadikan hal tersebut sebagai spirit yang luar biasa, sehingga instrumen-instrumen sosial-budaya (Sasak: pirantinya) jelas terlihat.
Baca juga: Lelakaq: Kebijakan Metodis Pendidikan Sasak
Bahkan lebih jauh, K. Zaelani (2007), menegaskan bahwa wetu telu secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu wetu/metu yang berarti keluar dan telu yang berarti tiga. Jadi wetu telu adalah tiga jalan keluar sumber dan asal-muasal kehidupan.
Kareanya, seluruh rangkaian ibadah dan penghambaan untuk keberlangsungan ketiga hal tersebut termasuk proses kehidupan perjalanan manusia dan masa depannya di dunia maupun akhirat. Bukankah ini juga menjadi tujuan umat beragama yang lainnya. Dalam tulisan selanjutnya secara berurutan penulis akan menjelasakan masing-masing unsur tersebut.
Sebelum menutup narasi ini, penulis ingin bertanya, apakah kita juga wetu telu atau wetu telu adalah kita? Jawabannya, ada pada diri kita masing-masing, satu hal yang pasti wetu telu hanya ada dan selalu ada di Lombok pada orang Sasak.
Sebagai penutup, seperti biasa dalam perspektif Pendidikan Agama Islam, penulis mengutif sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim yang artinya: “bahwa Allah Subhaanahu wa Ta’aala tidak melihat tampilan fisik atau hati seseorang, namun yang Allah Subhaanahu wa Ta’aala lihat adalah hati dan amalannya”.[]
Dosen UIN Mataram