Dari Kolom ke Hikmah: Catatan dari Dalam

MENULIS khusus untuk sebuah kolom tentu pekerjaan berat. Apalagi nafas kolom itu bisa bertahun-tahun. Tanpa absen.

Ini bukan semata soal nafas dan kekuatan si penulis. Lebih dari itu, ada kengeyelan, konsistensi, dan mata air ide yang tak habis-habis. Atau dalam bahasa anak-anak UIN itu “effort dan istikamah”.

Modal utama itu kelihatannya menjadi salah satu prasyarat wajib untuk mengarungi panjangnya kata untuk disusun pada sebuah tulisan kolom.

Tapi, bukankah pekerjaan itu – walau berat – pasti ada saja yang melakoninya. Manusia memang menyukai tantangan. Hasrat untuk mencoba akan terus menggeliat dalam diri manusia itu.

Goenawan Mohamad (GM) salah seorang di antaranya. Catatan Pinggir (caping) ialah kolom khusus untuk dia. Setiap minggu ia menulis tentang apa saja dan di mana saja. Satu prinsipnya “tulisannya harus sudah dikirim sebelum waktu ditayangkan”.

Berapa usia Catatan Pinggir itu? Ya, lebih dari 47 tahun, 1,5 juta kata dan menghasilkan 15 jilid buku, pembaca. Bayangkan menulis rutin setiap minggu dalam rentang dan jangka waktu yang lebih tua dari si penulis yang menulis esai yang sedang Anda baca ini.

Tapi itu tentang GM dan hal-hal yang tak selesainya. Walau kabarnya sekarang Catatan Pinggir sudah tiada. Sudah diganti. Penulis-penulis berpengalaman diamanahkan untuk mengampu kolom baru dengan nama baru.

Yang terbaru, kolumnis Iqbal Aji Daryono, menulis kolomnya di Detik.com setiap Selasa. Tapi tak berusia panjang. Hanya 2 tahunan ia mengampu.

Jelas tulisan ini bukan diperuntukkan untuk dua orang itu.

***

Tokoh kita ini, laku-lakunya tidak jauh berbeda dari dua orang di atas. Yups, Maimun Zubair. Yang kemarin dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Teknologi Pendidikan di UIN Mataram.

Ia menulis untuk sebuah kolom. “Hikmah” nama kolomnya di portal alamtara.co. Kolom yang ditayangkan setiap hari Jum’at itu kini sudah hampir 3 tahun. Tak jauh berbeda usianya dengan portal tempat kolom itu diproduksi.

Sejauh ini, kolom tersebut baru menghasilkan dua jilid buku dengan judul besar “Tetes Hikmah dari Langit Kampus“.

Mengapa ada kampus? Di situlah tokoh kita ini mengabdikan diri. Ia tokoh kampus, akademia prolifik, intelektual publik, seorang cerdik-cendekia yang mengayom umat.

Jika Anda hanya membaca kolom-kolomnya, mungkin Anda – seperti saya – akan mengira bahwa beliau orang yang berkecimpung dalam studi-studi tasawuf dan etika sufistik. Apalagi rumahnya di Fakultas Ushuluddin itu. Fakultas yang dikenal biangnya ilmu tasawuf sampai ilmu “tata cara menjadi ateis”.

Tapi itu hanya luarnya saja. Kerangka besarnya, jauh dari itu: pendidikan atau tarbiyah. Tulisan-tulisan tersebut selalu bermuara pada statuta hukum ilmu-ilmu tarbiyah. Pendidikan Islam!

Pendidikan dengan tulisan yang memercik kesadaran pembaca. Tulisan yang seakan pembacalah yang menjadi sasaran tembaknya. 

Yang membuat kita berpikir “kitakah yang beliau maksud”. Atau “apakah kita sudah pantas mendaku diri sebagai hamba yang beriman?” 

Jika Anda mengalami hal demikian setelah membaca kolom “Hikmah”, jelas Anda tidak sendiri. Perasaan yang sama, yang menghasilkan permenungan kembali adalah kekhasan lain dari tulisan-tulisannya. 

***

Tokoh kita ini, berpikir lebih jauh. Tarbiyah bukanlah ilmu yang berdiri sendiri. Tarbiyah harus disambung-hubungkan, diintegrasi-interkoneksikan, dikait-kelindankan dengan ilmu-ilmu lain. Dengan harapan, memberi nyawa yang lebih pas dan panjang dengan zamannya.

Dengan begitulah, pendidikan yang ia impikan bisa lebih mampu menjawab kondisi zamannya. Pendidikan yang menjawab era digital dengan caranya. Dengan mekanisme dan kerangka kerja yang jitu. Dengan tangan-tangan yang siap bersinergi. Termasuk orang tua dan guru seperti dalam pidato sang tokoh kita ini.

Sebagai pentasbihannya sebagai guru besar, ia mencoba memberi kredo pendidikan era digital ialah pendidikan EKSTRA (eksplor, kolaborasi, share, teladan, rayakan).

Mungkin juga dimaksudkan sebagai sebuah “rekayasa sosial” untuk menjadikannya oase dan bara api  kebangkitan daya spiritulitas pendidikan Islam. Hari-hari ini pendidikan (khususnya Islam) tengah dihantam arus digitalisasi dan distrupsi informasi di tengah badai krisis keteladanan yang tak kunjung selesai dari para pengkhutbah pendidikan itu sendiri.

Dengan kolom “Hikmah”-nya, ia ingin berbicara tentang “pendidikan ekstra” itu. Lewat laku-lakunya di masyarakat, mungkin ia ingin berbagi keteladanan.

Namun, tak lupa, keteladanan dan kolaborasi perlu (dan mungkin sangat perlu)  dirayakan dengan sebuah tulisan pada tiap hari Jum’at di alamtara.co. Jelas, itu perayaan yang sempurna. []

Ilustrasi: FB Maimun Zubair

1 komentar untuk “Dari Kolom ke Hikmah: Catatan dari Dalam”

  1. Istiqamah jauh lebih agung dari ribuan karomah. Semua berharap untuk itu dan ternyata tak semua bisa, kecuali ditakdirkan yang maha bisa.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *