Pendidikan, Kesetaraan Gender, dan Pengentasan Kemiskinan

BAGAIMANA pendidikan, kesetaraan gender, dan pengentasan kemiskinan berhubungan timbal balik? Apakah memang ada hubungan ketiganya? Tulisan ini akan menguraikan bagaimana ketiganya berhubungan dan bagaimana pembangunan perlu mengikutkan analisis gender sebagai faktor penentu keberhasilan peningkatan kualitas pendidikan dan pengentasan kemiskinan.  

Pendidikan secara filosofis adalah upaya memanusiakan manusia. Dengan pendidikan manusia mengenali dirinya dan apa yang harus ia lakukan untuk manusia lainnya, lingkungannya, dan tuhannya. Secara praktis pendidikan adalah bekal untuk beraktivitas, menemukan pekerjaan, dan membiayai hidup dengan layak. Pengertian yang pertama lebih menekankan aspek ontologis dan epistemologis, sedangkan yang kedua adalah pada aspek aksiologis. Pada akhirnya pendidikan memang diarahkan agar manusia bisa survive menghadapi berbagai tantangan kehidupannya.  

Manusia, secara umum, terdiri dari dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Sikap memanusiakan manusia yang dimaksud ialah termasuk meletakkan kedua jenis kelamin ini dalam posisi yang setara secara adil. Yang membedakan mereka adalah kualitas ketakwaan dan fungsionalisasi posisi mereka. Kedua jenis kelamin ini tidak berada pada relasi hirarkis yang diskriminatif. Kemampuan manusia memiliki sikap yang setara dan adil ini adalah hasil ideal dari proses pendidikan. Dalam implementasi sosialnya, sikap setara ini juga berbentuk pada tidak adanya pembedaan akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat pendidikan bagi mereka. Tentu saja juga pada bidang-bidang yang lain. 

Untuk memastikan pendidikan itu dapat menciptakan kesetaraan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu rights to education, rights within education, and rights through education.

Kemiskinan adalah situasi ketidakmampuan manusia memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini ada yang bersifat pemenuhan individual seperti makanan, pakaian, dan rumah. Ada pula yang berbentuk pelayanan sosial yang memang harus dipersiapkan oleh institusi pelayanan publik misalnya listrik, transportasi, kesehatan, dan pendidikan formal.

Penjelasan di atas cukup menunjukkan keterkaitan antara tiga entitas tersebut. Bahwa pendidikan menentukan sikap manusia yang menjunjung tinggi kesetaraan. Salah satunya berimplikasi pada partisipasi yang sama antara laki-laki dan perempuan yang menghasilkan kontribusi yang imbang terhadap pembangunan. Partisipasi dan kontribusi ini juga berimplikasi pada kualitas ekonomi laki-laki dan perempuan sehingga mereka mandiri di dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.

Baca Juga  Jalan untuk Politisi Non Partai

Untuk memastikan pendidikan itu dapat menciptakan kesetaraan, ada tiga hal yang perlu diperhatikan yaitu rights to education, rights within education, and rights through education. Ketiga hal ini merujuk pada kesamaan hak bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan, kesamaan perlakuan ketika menempuh pendidikan, dan kesamaan partisipasi mereka berdasarkan pendidikan yang mereka peroleh. Jika ini dijadikan dasar, maka pendidikan itu tidak hanya menciptakan individu yang cerdas, kreatif, dan berpikir kritis tetapi juga menciptakan keluarga yang berakhlak dan memiliki empati sosial. Pada gilirannya akan tercipta masyarakat yang beradab dan sejahtera.

Masyarakat yang sejahtera memiliki kesempatan dan pilihan lebih banyak untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Semakin tinggi pendidikan semakin besar juga kesempatan dan pilihan bagi manusia baik laki-laki maupun perempuan untuk mandiri dan meningkatkan kualitas hidupnya.  Semakin banyak warga negara yang mendapatkan pendidikan yang layak semakin baik kontribusinya dalam pembangunan. Lalu semakin banyak pelaku pembangunan di segala bidang semakin baik dan merata sirkulasi ekonomi. Demikian pula, semakin merata sirkulasi ekonomi maka semakin sejahtera anggota masyarakat. Demikianlah gambaran keterhubungan antara pendidikan, kesetaraan, dan kesejahteraan.

Hanya saja gambaran tersebut tidak selalu mudah dalam tahap implementasinya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Misalnya pemahaman budaya dan agama yang mengintervensi meningkatnya kualitas pendidikan. Pemahaman budaya ini, misalnya berwujud pada  tradisi pernikahan usia anak yang masih tinggi di NTB. Pernikahan anak ini menjadi sebab sekaligus akibat rendahnya kualitas pendidikan terutama bagi perempuan di daerah pedesaan.

Masyarakat NTB mengidap apa yang dinamakan Cinderella Complex yang mengimajinasikan perkawinan sebagai bentuk penyelamatan hidup anak perempuan  mereka oleh pangeran yang menjanjikan pemenuhan kebutuhan. Faktanya, tidak demikian. Cerita indah Cinderella hanyalah dongeng karena fakta dan data menunjukkan pernikahan anak justru memperburuk keadaan. Dari pernikahan ini lalu lahir generasi juga yang lemah di segala bidang dan seringkali sulit terselamatkan.

Tradisi yang masih terus dipertahankan karena masih diragukan bahayanya ini selain berimbas pada rendahnya pendidikan, juga membawa akibat yang lebih buruk pada perempuan daripada laki-laki. Berdasarkan data SUSENAS  Maret 2023, pernikahan di bawah umur lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Pada tahun 2022 tercatat 1 dari 6 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum berusia 18 tahun. Sementara,  1 dari 50 laki-laki pada usia yang sama menikah sebelum umur 18 tahun.  Keluarga seperti ini rentan dan seringkali berujung pada perceraian.

Baca Juga  Gagap Bermedsos, Tapi Sepertinya Kita Pula Pelakunya

Ketika perceraian terjadi, laki-laki atau suami masih dibenarkan, paling tidak, kurang mendapatkan stigma buruk oleh tradisi untuk meninggalkan begitu saja anak dan istri. Sementara perempuan atau ibu menanggung beban yang multiple untuk meneruskan hidupnya termasuk melindungi dan merawat anak-anaknya. Padahal untuk bangkit dan kembali mengenyam pendidikan sungguh tidak mudah. Dengan kualitas pendidikan yang rendah yang miliki, maka lagi-lagi tidak banyak pilihan bagi dia untuk berdaya secara ekonomi. Lalu yang tejadi adalah kemiskinan yang lebih ekstrim dialami oleh perempuan (feminization of poverty) dibandingkan oleh laki-laki

UN women menyampaikan data bahwa dari 1,5 milyar penduduk yang miskin di dunia yaitu yang berpenghasilan 1 dollar (Rp 14,000) sehari sebagian besarnya adalah perempuan. Gambaran global ini nampaknya juga menjadi fakta sosial di Indonesia dan khususnya di NTB. Oleh karena itu, program pembangunan apapun yang ada di NTB yang menyangkut pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sebagainya perlu mengikutkan analisis gender secara seksama dan memadai.

Sehingga, benar-benar pembangunan merata dan target SDGs 2030 dapat segera tercapai. Tentu saja ini memerlukan political will dan social empathy yang betul-betul serius dari pemegang kebijakan dalam hal ini pemerintah pada setiap lini. Jika hal ini ditinggalkan, maka peningkatan kualitas pendidikan dan pengentasan kemiskinan hanya menjadi sekedar utopia tanpa ujung![]

Ilustrasi: antara.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *