Perempuan Berdaya dalam Pemilu

INDONESIA sebagai salah satu negara yang menganut sistem demokrasi sudah sepatutnya memperluas ruang bagi partisipasi dan representasi perempuan dalam politik. Sebagai aktor yang berperan besar dalam berkembangnya peradaban, di mana setiap anak yang lahir dan bertumbuh menjadi seorang pemimpin tidak pernah lepas dari campur tangan perempuan sebagai seorang ibu mencerminkan eksistensi perempuan dalam politik akan menjadi investasi untuk mengawal masa depan bangsa. Perempuan dikenal dengan kepekaan emosional yang tinggi membuat keterlibatan perempuan dalam politik akan mampu menciptakan pendekatan-pendekatan kebijakan yang lebih humanistik.

Partisipasi perempuan dalam pemilu diharapkan bukan hanya sekedar angka tetapi sudah semestinya mampu menjadi sebuah kekuatan yang sangat krusial bagi bangsa dan negara. Kebijakan afirmatif bagi keterlibatan perempuan dalam politik telah membawa perubahan dan angin segar, salah satunya melalui perjuangan pada tahun 2022 lalu di mana Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berhasil disahkan. Pengesahan tersebut merupakan hasil dari sebuah perjalanan panjang melalui berbagai bentuk kerjasama kolaboratif yang sangat konstruktif sehingga mampu memperkuat satu sama lain.

 Selain UU TPKS tersebut, masih banyak kebijakan-kebijakan yang berpihak pada perempuan karena adanya partisipasi perempuan dalam keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang bekerja dengan amat keras dalam mengajak serta menggandeng anggota DPR lainnya untuk terus mendengarkan aspirasi dari perempuan. Dalam waktu kurang dari seminggu, tepatnya pada tanggal 14 Februari 2024, Warga Negara Indonesia yang telah memenuhi syarat-syarat akan menggunakan hak politiknya berupa hak suara untuk memilih pemimpin bangsa di tempat pemungutan suara, momentum Pemilu ini diharapkan mampu menggugah kesadaran masyarakat terutama perempuan untuk mewujudkan peningkatan partisipasi perempuan dalam parlemen.

Indonesia sendiri masih bergelut dengan masalah besar terkait pemberdayaan politik (Political empowerment) mengacu pada data Global Gender Gap Index Tahun 2022 yang dirilis oleh World Economic Forum, Indonesia berada pada peringkat ke-92 dari 146 negara. Posisi tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan posisi Indonesia sebelumnya di tahun 2021 yang berada di urutan ke-101, akan tetapi hal itu tak lantas menjadi penutup mata bahwa posisi tersebut masih terbilang rendah dengan skor rata-rata 0,697 dengan skor index political emporewerment yang masih di angka 0,169 yang menandakan nilai tersebut masih jauh dari standar kesetaraan World Economic Forum yang setidaknya harus mencapai skor 1.

Baca Juga  Politik Agraria dalam Pengelolaan Hutan di Bima

Hambatan berupa adanya diskriminasi dan inkonsistensi regulasi, seperti yang termuat dalam PKPU 10/2023 Tentang Kebijakan KPU dianggap melemahkan eksistensi perempuan dalam politik terkait pembulatan ke bawah persentase keterlibatan perempuan dalam pencalonan legislatif, hal tersebut telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung dan Bawaslu tetapi terus terjadi secara berulang. Tantangan lainnya berupa faktor sosial dan budaya masyarakat seperti stigma, streotipe, double standard, serta marginalisasi.

Menciptakan partisipasi yang bersifat ‘mobilize’ di mana warga negara yang hanya berhenti sampai di bilik suara, dimobilisasi melalui uang, hiburan, citra yang baik, dan lain sebagainya yang kemudian menimbulkan keterputusan hubungan antara politisi dan konsituensi sehingga akan menjadi masalah yang terus berulang tanpa adanya upaya untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut dan berimbas pada pelanggengan berbagai bentuk kecurangan yang erat hubungannya dengan Pemilu.

Politik masih menganut praktik transaksional, dalam konteks Pemilu 2024, perempuan dan pemilih pemula memiliki peran yang sangat penting mengingat jumlahnya yang terus mengalami penambahan. Dalam kajian politik ada ungkapan yang sangat masyhur, “Para Politisi akan berjanji untuk membangunkan jembatan meskipun tidak ada sungai,” ungkapan tersebut menandakan bahwa janji begitu mudah untuk dilontarkan, akan tetapi janji politik saat Pemilu seolah tidak perlu dipertanggung-jawabkan sehingga membuat budaya politik di Indonesia tidak bersih dan juga berdampak pada pandangan masyarakat terhadap Politisi.

Melalui  Pasal 65 Ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD Negara memberikan kebijakan afirmatif (Affirmative action) pada perempuan dengan ketentuan 30% keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif tiap partai politik. Masalah selanjutnya ialah terkait keterpilihan perempuan dalam pemilu, dipilih atau tidaknya perempuan bergantung pada pemilih. Dari jumlah persentase harapan 30%, keterwakilan perempuan dalam DPR baru menginjak angka 20,5%.

Beberapa hal yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemilu ialah seperti adanya penambahan Daerah Pemilihan (Dapil) di setiap daerah seharusnya membuka peluang yang lebih luas bagi perempuan untuk ikut dalam kontestasi Pemilu. Perkembangan teknologi informasi dan sosial media juga dapat menjadi sarana alternatif dan efisien yang akan memudahkan para kandidat dalam hal ini terkhususnya perempuan yang ingin maju dalam kontestasi Pemilu menjadi media untuk berkampanye.

 Politik etis perempuan akan sangat berkontribusi bagi integritas Pemilu di Indonesia, berdasarkan survei yang dilakukan oleh beberapa pihak salah satunya KPU, perempuan cenderung tidak ingin berbuat curang atau melanggar sehingga hal tersebut kemudian dapat dimantapkan dengan sinergitas kementerian/lembaga, masyarakat sipil, dan media yang terbilang solid dalam hal mendorong advokasi peningkatan keterlibatan perempuan dalam pemilu.

Baca Juga  Nakhoda Baru: Spirit Pemajuan Kebudayaan Indonesia

Strategi meningkatkan keterlibatan perempuan dalam Pemilu sangat kompleks karena diskusi ini tidak hanya membicarakan terkait peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik tetapi juga bergelut dengan peningkatan serta perbaikan kualitas Pemilu di Negeri ini. Perlu adanya dorongan untuk meningkatkan literasi Pemilu agar memudahkan terealisasinya Pemilu yang berkualitas dan berintegritas.

Mengubah cara berpikir berupa penekanan Pemilu yang semula dianggap sebagai pesta demokrasi yang membuat pandangan terkait kontestasi melenceng pada sekitaran hiburan dan suatu acara yang hanya perlu dihadiri serta hanya beradu besar-besaran dan meriah.

Menciptakan partisipasi yang bersifat ‘mobilize’ di mana warga negara yang hanya berhenti sampai di bilik suara, dimobilisasi melalui uang, hiburan, citra yang baik, dan lain sebagainya yang kemudian menimbulkan keterputusan hubungan antara politisi dan konsituensi sehingga akan menjadi masalah yang terus berulang tanpa adanya upaya untuk sama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut dan berimbas pada pelanggengan berbagai bentuk kecurangan yang erat hubungannya dengan Pemilu.

Maka dari itu, kehadiran perempuan dalam politik sepatutnya tidak hanya digunakan untuk mengisi kekosongan yang memanfaatkan kebijakan afirmasi saja, tetapi harus memiliki arti yang substansial.

Menghadirkan kampanye yang edukatif dan bermatabat di mana selain digunakan untuk mengajak memilih tetapi juga memberikan edukasi untuk menjadi pemilih yang berdaya, melalui hal-hal mendasar seperti mengetahui informasi terkait pemilu seperti jenis pemilu, peserta pemilu, syarat memilih, syarat sah suara, mengenali calon melalui rekam jejak, visi, misi serta program yang ditawarkan.

Perempuan kemudian harus mampu menempatkan dirinya bukan hanya sebagai ‘Voter yang memiliki hak untuk menentukan pilihannya tetapi juga harus memposisikan diri sebagai ‘Demos’ yang mempunyai tanggung jawab sebagai warga negara dengan kewajiban mengulasi praktik kekuasaan yang terbentuk dari hasil penggunaan haknya tadi.[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *