Kultur Lahirnya Karya Besar

MENGUKUR sebuah karya untuk menyebutnya sebagai karya besar-kecil, bagus-jelek, dan ribuan penilaian lainnya tentu bersifat subjektif. Ranah yang mungkin ganjil untuk sebagian orang. Seperti kata N. Marewo dalam Pidato Kebudayaan Mbojo Writers Festival 2021 berjudul Budaya Baca-Tulis dan Proses Penulisan bahwa untuk menilai sebuah karya (sastra) atau detail-detail proses berkarya ialah domain kritikus sastra.

Namun, kreativitas dan daya jangkau imajinasi seorang pencipta karya akan jauh lebih liat dan liar dari yang terpampang dari coretan hitam di atas putih, sketsa pelukis di atas kanvas, dan merdunya dawai yang dimainkan jari musikus. Pergulatan panjang yang dilalui oleh seorang pencipta menandai langkah pertama dalam perjalanan panjang dunia kreativitas yang dilibati olehnya.

Pertanyaan yang muncul dari premis di atas ialah kultur macam apa yang dilibati oleh para pencipta ini sehingga bisa menghasilkan sebuah karya?

Untuk mencoba menjawab pertanyaan di atas, mari kita tengok tulisan Umar Kayam di Majalah Tempo (9/5/1987) berjudul Lahirnya Sebuah Karya Besar. Tulisan tersebut seperti obituari yang ditulis Umar Kayam untuk mengenang kepergian Prof. Dr. Soemarsaid Moertono. Umar Kayam mengisahkan pergulatan yang dijalani Soemarsaid untuk menyelesaikan tesisnya di Cornell University.

Tesis yang akhirnya selesai dengan judul State and Statecraft in Old Java itu menjadi rujukan utama bagi para sarjana dan mendapat sambutan ramai dalam dunia ilmu pengetahuan. “Mereka yang ingin memahami Indonesia dan Jawa kontemporer merasa mendapat tambahan perspektif baru untuk analisa. Puluhan buku dan esai bergantian mencomot isi karya tersebut sebagai referensi. Ia contoh tesis M.A yang berbobot Ph.D”. Begitu tulis Umar Kayam 37 tahun silam.

Yang ingin saya katakan ialah karya besar lahir dari proses yang juga panjang, melelahkan, juga berulang-ulang. Seperti kata Sukarno: Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali! Dalam situasi seperti itulah kebanyakan karya besar lahir dan bertahan lama. Melintasi waktu dan zaman. Mampu berkelindan dengan perubahan situasi dan penikmatnya.

Yang terpenting dari itu semua ialah proses pergulatan Soemarsaid. Cornell University yang terletak di Kota Ithaca yang bisa sangat tidak ramah bagi Soemarsaid ketika musim dingin. Hidung dan telinga bisa seperti disambar silet. Begitu nyeri, bibir kering, dan pecah-pecah. Diamput, trembelane! Ngapain, sih, jauh-jauh ke sini cuma mau disiksa musim kayak begini? Itulah sumpah-serapah Soemarsaid ketika menyelesaikan tesisnya itu.

Apakah hanya sampai di situ proses menyelesaikan karya besar itu? Tentu tidak, selain harus berdamai dengan cuaca ekstrim Ithaca, Soemarsaid juga harus berdamai dengan kritik dan masukan dari pemimbing tesisnya: Prof. Oliver Wolters yang kerap mengujinya sampai pemahaman paling dasar soal konsep tesisnya itu. Ia harus membaca kembali Babad Tanah Jawa, Serat Centini, Gato Loco, Darma Gantul dan lainnya.

Ujian dan bantingan-bantingan untuk Soemarsaid silih berganti, menguji si pembuat karya itu. Soemarsaid juga harus menahan kesepian dan kerinduan dengan keluarga di tanah air. Saat seperti itu, ia merasa kehadirannya di Cornell University seperti sebuah absurditas. Gelombang semangat datang kembali. Begitu seterusnya.

Baca Juga  Leura: Sebuah Desa/Kota dan Makna Kulturalnya

Yang ingin saya katakan ialah karya besar lahir dari proses yang juga panjang, melelahkan, juga berulang-ulang. Seperti kata Sukarno: Digembleng, hampir hancur lebur, bangun kembali! Dalam situasi seperti itulah kebanyakan karya besar lahir dan bertahan lama. Melintasi waktu dan zaman. Mampu berkelindan dengan perubahan situasi dan penikmatnya.

Situasi seperti di atas juga dialami oleh banyak penulis, pelukis, akademisi, dan sastrawan yang saya jumpai di Kalikuma Library and Educamp, Kota Bima baru-baru ini. Dalam kegiatan bertajuk Kulturahmi (silaturahmi budaya) itu banyak peserta yang bercerita prosesnya berkarya dan apa saja hambatan dan tantangan yang dihadapinya sampai hal-hal lucu di luar prediksi BMKG yang mereka bayangkan. Persis seperti kisah Soemarsaid di atas.

Mulai dari Ridwan Manantik, pelukis yang kini bermukim di Bogor. Ia memulai cita-citanya dari kampung halamannya Bima. Kemudian ia berangkat ke Jakarta untuk setamat SD dan bercita-cita langsung menjadi pelukis, saat teman-teman sebayanya bermimpi untuk menjadi polisi, dokter, dan profesi lainnya.

Bayangkan, Ridwan Manantik sudah melawan arus deras keumuman anak-anak sebayanya itu. Dan itu tentu saja sulit. Seorang anak kecil bercita-cita sebagai pelukis yang kata banyak orang  dulu sebagai pekerjaan “kere”. Cita-cita tersebut ia rawat dan semai seiring dengan jalan hidupnya. Merawat harapan agar tetap tegar dalam berkarya menjadi prasyarat wajib untuk menghasilkan karya.

Dan prasyarat itu dibayar oleh Ridwan Manantik dengan lukisan-lukisannya yang berbobot. Pameran berjudul “Aku Sampah” (2020) menjadi bukti bahwa lukisannya bukan karya anak kemarin sore dalam pergulatannya dengan dunia seni rupa. Rambahan lukisan Ridwan Manantik ini menjadi trigger bahwa proses berkarya dalam dunia rupa juga harus melihat dunia nyata. Dan jelas, itu karya besar, bukan?

Ridwan Manantik juga tak tinggal diam, ia inisiasi usaha komunitas untuk berdaya. Rumah Anak Bumi namanya. Tak tanggung-tanggung tujuan komunitas ini, menciptakan generasi yang berjiwa seni dan memiliki karakter kuat agar ia mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kredo yang menyiratkan mimpi besar seorang penggagasnya itu. Lahir dan tumbuhnya karya-karya selalu dengan gemblengan waktu dan nawaitu. Karya yang bertahan, menyebar, dan terus berproduksi tentu bukan dari buah gemblengan yang mudah. Tapi, seperti hasil purgatori ala Dante Alighieri. Dan itu besar dan dikenang.

Cerita lainnya datang dari seorang novelis kenamaan: N. Marewo. Ia menceritakan prosesnya menulis novel berjudul Lambo (1995). Novel terbitan Bentang Budaya ini pernah menjadi cerita bersambung di Jawa Pos. Ia menulisnya ketika di Berlin. Namun, yang menarik ialah kisahnya soal masa kecilnya yang dipenuhi buku-buku. Ia mengakui bahwa keakrabannya dengan bacaan dari penulis besar seperti Herman Hesse dan lainnya itu telah membentuknya.

Baca Juga  Mata Air Air Mata (2)

Sebagai cerita bersambung di Jawa Pos, ia punya kisah tersendiri. Setelah selesai diketik dibungkus naskah tersebut dengan map coklat untuk dikirim. Sial, N. Marewo lupa hari, saat mengantarnya ke kantor Jawa Pos. Hari libur, kantor tutup. Namun, di situlah keajaiban muncul. Ia titip naskah tersebut pada orang yang entah dari mana rimbanya. N. Marewo pergi lagi. Selesai.

Kultur lahirnya karya besar selalu diliputi perjuangan dan kegetiran dari kisah-kisah pembuatnya. Daya kreativitas, mungkin akan selalu lahir dalam ruang yang “tidak enak”. Tinggal seberapa besar daya kreativitas pembuatnya dan daya tangkap penikmatnya. Dan karya besar akan selalu abadi.

Laki-laki yang (mungkin) tidak ada hubungannya sama sekali dengan Jawa Pos apalagi tetek bengek redaksi dan pengolahan naskah karya sastra. Kemudian, tak dinyana beberapa waktu setelahnya, di Yogyakarta, N. Marewo ketika ia menyesal akan sesuatu yang disengajaia lakukan, membungkus wajahnya dengan sebuah koran sebagai tanda penyesalan. Setelah ia buka kembali koran tersebut, namanya terpampang pada sebuah halaman beserta naskah yang ia tulis.

Keganjilan-keganjilan juga dalam proses berkarya adalah sebentuk spiral perjuangan dalam menorehkan gagasan-gagasan. Ia hadir sebagai bentuk lain perjuangan persis seperti cara Soemarsaid menulis disertasinya. Dan Lambo menjadi besar dengan proses yang penuh perjuangannya. Ia besar dengan pembacanya. Lambo besar diterbitkan oleh dua media besar pada zamannya. Jawa Pos dan Bentang Budaya milik Buldanul Khuri dengan ciri khas sampul bukunya yang nyeni. Dan Lambo banyak memprovokasi geliat muda untuk “memberontak”. Lambo tidak lupa menjadi oli yang meluluskan para mahasiswa yang mengkajinya lewat skripsi dan tesisnya.

Kultur lahirnya karya besar selalu diliputi perjuangan dan kegetiran dari kisah-kisah pembuatnya. Daya kreativitas, mungkin akan selalu lahir dalam ruang yang “tidak enak”. Tinggal seberapa besar daya kreativitas pembuatnya dan daya tangkap penikmatnya. Dan karya besar akan selalu abadi.

Karya besar dinilai bukan karena jumlah oplahnya yang ribuan atau dapat menghasilkan pundi-pundi kekayaan bagi pembuatnya. Karya besar diuji dalam waktu dan seberapa sabar di pembuatnya memperjuangkan daya kreativitasnya sampai titik terakhir. Karya besar menjadi tanda dan penanda “ada apa-apa” pada sebuah waktu dan ruang tertentu yang dilibati oleh pembuatnya.[]

 

 Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *