Difabel, Inklusi, dan Demokratisasi Pendidikan

SECARA teoretis sudah umum disadari bahwa setiap manusia itu unik dan berbeda sehingga memerlukan perlakuan dan pendekatan berbeda pula.

Sayangnya pengetahuan dan kesadaran tersebut hanya dipelajari dalam ilmu psikologi, sedangkan dalam praktiknya banyak orang yang sulit menerima perbedaan.

Buktinya hingga kini banyak kaum difabel yang dipandang seolah sebagai “hasil karya tuhan yang gagal”. Masyarakat, keluarga dan orangtua masih sulit menerima kehadiran mereka.

Keberadaan kaum difabel dianggap sebagai beban yang menyulitkan bahkan tak sedikit orang tua yang merasa malu jika ditakdirkan punya anak difabel. Demikian pula lingkungan masih sulit menerima kehadiran mereka.

Di sekolah, tempat bermain, di rumah ibadah, tempat kerja maupun di ruang publik difabel masih mengalami diskriminasi hanya karena fisik (dan mental) mereka “berbeda”.

Padahal cacat anggota tubuh hanyalah salah satu properti yang seharusnya tidak mengandaikan adanya perlakuan dan sikap yang berbeda dari orang-orang di sekitarnya.

Saat ini perjuangan untuk menyediakan layanan pendidikan inklusi di Indonesia masih panjang. Tidak hanya kendala infrastruktur dan SDM tetapi juga menghadapi stigma di masyarakat.

Anak-anak difabel dipandang membawa “sial” sehingga tak sedikit orang tua yang merasa malu punya anak difabel dan menyembunyikannya. Mereka enggan, malu dan takut membawa anak difabel tampil di ruang publik karena juga sering mengalami perundungan.

Kehadiran sekolah inklusi, yang menampung juga anak difabel, diharapkan bisa menjembatani kesenjangan ini. Berbeda dengan sekolah luar biasa, yang hanya berisi anak-anak difabel, sekolah inklusi justru akan melahirkan inklusi secara sosial.

Jika anak-anak difabel hanya bergaul dengan sesama difabel seperti SLB, maka itu justru makin membuat mereka makin eksklusif. Mereka juga sulit memiliki rasa percaya diri atau konsep-diri (self-concept) yang baik karena hanya bergaul dengan sesama “anak cacat”.

Sebaliknya sekolah inklusi justru akan membuat konsep diri (self-concept) mereka tumbuh positif karena dihargai berada di lingkungan yang “normal”. Begitu pun anak-anak “nornal” belajar menerima dan menghargai teman-teman nya yang berbeda secara fisik.

Secara demikian pendidikan inklusi sejatinya adalah wujud dari demokratisasi pendidikan. Setiap anak, apapun kondisi fisik mereka, memiliki ruang, akses dan perlakuan yang sama.

Sebagian kalangan psikolog cenderung menggunakan istilah “rerata” ketimbang “normal” dan “abnormal” bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau difabel.

Ada dua hal yang tampaknya harus dilakukan untuk mewujudkan pendidikan inklusi ini. Pertama, memperkuat melalui jalur kurikulum di jurusan pendidikan keguruan (khususnya Prodi PGSD) dengan memasukan matakuliah Pengantar Pendidikan Inklusi untuk membekali mahasiswa dalam menjalani profesi keguruannya.

Kedua, penguatan melalui jalur pendidikan keluarga. Ini antara lain dapat diintegrasikan melalui materi pelatihan pendidikan pranikah atau nasihat perkawinan, khutbah dan sejenisnya sehingga calon orangtua memiliki kesiapan jika ditakdirkan memiliki anak-anak berkebutuhan khusus.

Pada akhirnya, sekali lagi, anak-anak difabel bukanlah hasil karya Tuhan yang gagal. Sebab Tuhan tidak pernah gagal tapi kita manusia lah yang seringkali gagal memahami potensi tersembunyi di balik setiap takdir-Nya.

Sesuai namanya “difabel” (different able) mereka adalah anak-anak istimewa, tetapi hanya perlu diajar, dilatih dan dibimbing dengan cara berbeda.[]

Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *