Munculnya tulisan ini berawal dari WA saudara Junaidin, salah seorang dosen STIT Sunan Giri Bima, yang meminta saya untuk memberi kata sambutan pada buku gurunya yang akan segera terbit membahas mengenai tradisi ntumbu tuta atau adu kepala di Desa Ntori.
Ntumbu tuta sendiri merupakan sebuah bentuk permainan yang sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat Desa Maria dan Ntori Kecamatan Wawo yang dipentaskan pada acara-acara tertentu. Saya sendiri hanya sekilas mendengar informasi tentang tradisi ini, belum pernah melihat secara langsung.
Maka dalam kata sambutan saya itu, pertama-tama saya berterima kasih kepada penulis buku yang telah mempercayakan saya untuk memberi kata sambutan pada bukunya. Tentu saya sangat mengapresiasi terbitnya buku itu karena memberikan informasi yang cukup mengenai tradisi ntumbu tuta atau adu kepala yang dipraktikkan oleh masyarakat Desa Ntori. Saya yakin belum banyak tulisan yang mengupas tradisi ntumbu tuta dan buku itu menjawab rasa penasaran orang mengenai eksistensi tradisi ntumbu tuta karena ditulis oleh orang dari Desa Ntori sendiri.
Marcus Garvey mengatakan “orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar”. Maka sebagai generasi penerus, kita harus mempelajari dan memahami tradisi masa lalu untuk dijadikan pijakan dalam membentuk jati diri. Dengan terbitnya buku ini diharapkan memberi ruang informasi bagi generasi muda untuk mengetahui tradisi masa lalu pendahulunya yang kemudian dapat dijadikan pegangan untuk menatap masa depan.
Tentu banyak nilai-nilai positif yang dikandung oleh tradisi ntumbu tuta yang dapat dijadikan pegangan seperti lambang kekuatan dan keperkasaan serta semangat perlawanan terhadap penjajah di tanah Bima. Ada juga kalangan yang tidak setuju dengan tradisi ntumbu tuta ini, semisal Hilir Ismail, sejarawan Bima yang menganggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Kepala adalah lambang kehormatan seseorang, jika diadu akan merendahkan kewibawaannya. Namun demikian, sebagian kalangan lain berpendapat bahwa ntumbu tuta adalah bagian dari tradisi untuk menggugah semangat patriotisme membela negara. Dan saat ini tradisi ntumbu tuta dijadikan komoditi pariwisata Kabupaten Bima yang perlu dilestarikan. (Fauziah: 2014, 27).
Menurut pada tetua adat Ntori, Wawo bahwa munculnya tradisi ntumbu tuta ini berawal ketika orang-orang tua zaman dulu yang hendak memasarkan dagangannya berupa hasil hutan, hasil kerajinan, sisir tenun dan mina sambi ke desa-desa lain dengan menelusuri pegunungan, perbukitan, dan lembah. Mereka berdagang tidak berombongan tapi sering berdua dengan isteri atau berjalan sendirian.
Di tengah perjalanan sering terjadi penghadangan oleh pembegal atau perampok yang tidak bertanggung jawab. Oleh karenanya mereka membekali diri dengan tiga kemampuan, ntumbu tuta, menyeruduk lawan dengan kepala, doa sampandi, mendiamkan pembegal di tempat berdirinya beberapa saat, bisa 3 hari, bisa juga 1 minggu tergantung kapan mau dilepas sampai pembegal tersebut dikerubuti semut, dan doa rome yaitu doa untuk melemahkan seluruh organ tubuh pembegal sampai-sampai celananya melorot.
Tradisi ntumbu tuta konon sudah ada sejak zaman Kerajaan Bima abad ke-15 dan mulai dikenal secara luas sejak ditampilkannya pada setiap perayaan yang diselenggarakan di istana Kesultanan Bima. Saat ini tradisi ntumbu tuta dipentaskan ketika perayaan hari jadi Bima, hari jadi desa, penyambutan tamu penting, saat pengantaran mahar dalam prosesi pernikahan dan acara khitanan.
Biasanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sebelum pentas dimulai, para pemain ntumbu tuta diberi air doa dan dibacakan mantra-mantra khusus oleh sang guru agar atraksi berjalan lancar. Selama ini, menurut Junaidin, para pemain jarang mengeluh kesakitan setelah atraksi selesai, jika pun terjadi akan segera diobati dan disembuhkan.
Tradisi ntumbu tuta tidak hanya dipentaskan di daerah sendiri tapi sudah manggung di luar kota seperti Jakarta, Bali, Surabaya, Ambon, Labuhan Bajo, Lombok , Sumbawa dan beberapa daerah lainnya. Bahkan tradisi ntumbu tuta sudah dikenal oleh orang luar negeri dibuktikan dengan banyaknya pelancong mancanegara atau turis asing yang mampir mengunjungi pentas seni ntumbu tuta di Uma Lengge, Desa Maria Wawo.
Jika kita meng-googling, terdapat beberapa tulisan baik berupa berita ataupun artikel jurnal yang membahas mengenai tradisi ini. Namun untuk mengetahui lebih mendalam mengenai tradisi ntumbu tuta ini dapat dibaca dalam buku yang akan segera terbit itu.[]
ilustrasi: Kalikuma Studio
Ketua Prodi Hukum Ekonomi Syariah UIN Mataram dan Pengkaji Islam dan Budaya Lokal.