Teologi Membilas Politik Dinasti Perspektif Hasan Hanafi

-Sistem Yang baik hanyalah Sound Sistem-

Pusaran sejarah umat manusia acap kali dipenuhi oleh kekuasaan dan penindasan, lalu di tahun 1935 lahir seorang anak laki-laki mesir yang kemudian hadir dengan suara teologi pembebasan yang penuh keberanian. Teologi pembebasan Hasan Hanafi bukanlah sekadar teori abstrak; ia merupakan seruan untuk membebaskan umat dari belenggu penindasan yang berulang.

Teologi sebagai alat perjuangan sosial yang harus menentang ketidakadilan, sebuah pandangan yang sangat relevan dalam konteks politik dinasti. Politik dinasti dalam sejarah Islam dan kebudayaan Indonesia sering kali melibatkan kekuasaan yang tertutup dan tidak adil, di mana segelintir orang memonopoli kekuasaan dan merampas hak-hak dasar rakyat. Sistem ini tidak hanya melanggar prinsip-prinsip keadilan yang diajarkan oleh Islam, tetapi juga bertentangan dengan ajaran kemanusiaan yang mendalam.

Teologi mau tidak mau suka atau tidak suka harus lebih dari sekadar doktrin religious, ia adalah nota protes terhadap segala bentuk penindasan yang menimpa umat manusia. Penolakan atas politik dinasti yang membangun dinding penghalang antara penguasa dan rakyatnya, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan yang seharusnya menjadi landasan pemerintahan. Iman harus berfungsi sebagai landasan etik dan motivasi untuk tindakan sosial yang adil.

 Melalui tulisan ini, penulis berusaha menggali lebih dalam bagaimana teologi pembebasan Hasan Hanafi dapat memberikan panduan dalam melawan politik dinasti dan menegakkan keadilan sosial di Indonesia, dengan tujuan akhir menyadarkan dan menginspirasi pembaca untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang mendalam.

Hasan Hanafi, dalam pandangannya Kiri Islam pun juga Dari Akidah Ke Revolusi, secara tegas menolak segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, terutama dalam konteks politik dinasti yang sering kali memonopoli kekuasaan di tangan segelintir elit. Sebuah manifestasi dari ketidakadilan struktural yang merampas hak-hak dasar manusia dan bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang diajarkan oleh Islam.

Setiap manusia memiliki derajat yang sama dan menolak hierarki yang menindas, menekankan bahwa teologi harus menjadi alat perjuangan untuk melawan ketidakadilan dan menegakkan keadilan sosial. Pandangan yang sangat relevan, mengingat politik dinasti kerap menciptakan kekuasaan yang tidak merata, mengabaikan hak-hak rakyat, dan menghalangi terciptanya masyarakat yang lebih adil dan egaliter.

Teologi pembebasan Islam yang dikembangkan oleh Hasan Hanafi adalah sebuah panggilan untuk melawan segala bentuk penindasan yang mencengkram kehidupan manusia, termasuk politik dinasti yang telah lama mengakar dalam pemerintahan banyak negara, termasuk di Indonesia.

 Politik dinasti adalah sebuah warisan kegelapan yang memenjarakan rakyat dalam jerat ketidakadilan, di mana kekuasaan diwariskan bukan berdasarkan rekam jejak tetapi semata-mata karena darah dan nama keluarga. Teologi bukan sekadar ajaran yang ditempatkan di menara gading, jauh dari kehidupan nyata, tetapi harus menjadi senjata dalam perjuangan melawan kesewenang-wenangan.

Dinasti sebagai bentuk penindasan paling keji, yang merampas hak rakyat untuk dipimpin oleh mereka yang benar-benar berkompeten dan berkomitmen. Setiap manusia, tanpa kecuali, memiliki hak yang sama untuk dihormati dan diperlakukan dengan adil, dan politik dinasti adalah pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan yang luhur.

Bukan hanya pemikiran Hasan Hanafi yang menolak dengan keras praktik politik dinasti. Al-Qur’an sendiri, dengan lantang dan tegas, menolak segala bentuk ketidakadilan dalam pemerintahan. Surah An-Nisa ayat 58 adalah sebuah seruan abadi yang menuntut agar amanat kekuasaan diserahkan kepada yang berhak, kepada mereka yang memiliki kemampuan dan integritas untuk memimpin dengan adil.

 “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyerahkan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” Ayat ini adalah suara Tuhan yang menggema dalam setiap hati yang merindukan keadilan, yang menolak tunduk pada tirani dinasti yang menindas.

 Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan kita dengan jelas dalam hadisnya, bahwa kepemimpinan bukanlah hak istimewa yang diwariskan, tetapi sebuah tanggung jawab berat yang harus dijalankan dengan prinsip pelayanan. “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka,” kata Nabi, sebuah peringatan bahwa seorang pemimpin sejati adalah mereka yang mengabdikan diri untuk kebaikan rakyat, bukan untuk melanggengkan kekuasaan keluarganya.

Maka kemudian Keadilan adalah kunci dari keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Keadilanlah nafas kehidupan, yang tanpa itu, dunia akan tenggelam dalam kegelapan dan penderitaan. ini menggugah kita untuk bangkit melawan segala bentuk ketidakadilan, termasuk politik dinasti yang membelenggu kebebasan dan martabat manusia.

Penerapan teologi pembebasan Hasan Hanafi dalam konteks politik dan sosial di Indonesia membawa implikasi mendalam bagi kebudayaan kita. Dalam budaya yang telah lama dibayangi oleh politik dinasti, di mana kekuasaan sering kali diwariskan tanpa mempertimbangkan kompetensi atau kebutuhan rakyat, prinsip-prinsip Hasan Hanafi menawarkan jalan keluar yang penuh harapan.

Dengan menempatkan keadilan dan kesetaraan sebagai fondasi utama, teologi pembebasan ini mendorong kita untuk mereformasi sistem politik dan sosial yang ada. Di Indonesia, yang kaya akan sejarah perjuangan melawan penindasan, prinsip-prinsip Hanafi dapat menjadi inspirasi untuk menumbuhkan gerakan yang menolak segala bentuk tirani dan memperjuangkan hak-hak rakyat secara lebih adil.

Contoh kasus di berbagai daerah yang terbaru ini terkait #KawalPutusanMK menunjukkan bahwa upaya melawan politik dinasti dengan semangat pembebasan ini bukanlah hal yang mustahil, melainkan sebuah keharusan moral. Perjuangan sosial di Indonesia, yang telah lama diwarnai oleh semangat gotong royong dan keadilan sosial, menemukan resonansi yang kuat dalam ajaran Hasan Hanafi, membuktikan bahwa nilai-nilai teologi pembebasan dapat menyatu dengan budaya lokal untuk membangun masa depan yang lebih bermartabat.

Secara keseluruhan kita dapat pahami bahwa betapa pentingnya prinsip-prinsip teologi pembebasan dalam menghadapi tantangan politik dinasti yang masih marak di Indonesia. Politik dinasti bukan hanya sebuah bentuk ketidakadilan struktural, tetapi juga pengkhianatan terhadap esensi kemanusiaan yang sejati.

 Oleh karena itu, penerapan prinsip-prinsip teologi pembebasan di Indonesia tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak. Ini adalah panggilan untuk tidak hanya merenung, tetapi bertindak, menggugah kesadaran kita akan pentingnya memperjuangkan keadilan dan kesetaraan dalam setiap aspek kehidupan.

Dalam konteks kebudayaan Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, teologi pembebasan Hanafi memberikan kerangka etis dan spiritual untuk melawan penindasan dan mewujudkan tatanan masyarakat yang lebih adil.

Kita diajak untuk tidak lagi diam, tetapi bergerak bersama dalam semangat keadilan, membawa perubahan nyata yang akan menghancurkan belenggu politik dinasti dan menegakkan hak setiap individu untuk hidup dalam kebebasan dan martabat.

 
Ilustrasi: Kalikuma Studio

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *