Politik Adu Domba: Pion Mematikan Penghancur Integritas dan Solidaritas Bangsa

POLITIK Adu Domba (divide et impera) merupakan bentuk manuver politik dengan penekanan pada klaster sosial. Sering kali muncul dari pihak atau kelompok elit (karena mereka mempunyai daya dalam menjalankan strategi politiknya) untuk memecah belah suatu komunitas, kelompok, atau tatanan masyarakat kecil dengan tujuan masyarakat/kelompok kecil tersebut tidak menjadi besar untuk mengurangi ancaman bagi mereka kedepannya.

Namun di lain kasus juga banyak digunakan oleh kelompok kecil untuk memecah belah kelompok besar (elit) dalam rangka pengalihan kekuasaan. Bentuk politik adu domba cenderung mengarah pada pendegradasian nilai moral masyarakat seperti propaganda, penyebaran hoax, manipulasi informasi publik, dan menciptakan kebencian yang menimbulkan rasa saling ketidakpercayaan antar kelompok.

 Hal ini merupakan juga contoh nyata dari dis-integrasi modal sosial yang seharusnya menjadi atensi utama yang harus dipahami seluruh elemen masyarakat Indonesia serta stakeholder terkait (pejabat pemerintahan sampai dengan masyarakat pelosok) dalam upaya memperbaiki dan membangun Indonesia lebih baik.

Selaras dengan topik perbincangan, saya akan berfokus pada Pilkada Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Yang menjadi sorotan utama saya ialah tim kampanye Calon Walikota Bima yang saya perhatikan beberapa minggu belakangan ini (melalui media sosial Facebook dan saya pantau juga secara langsung) kerap melangsungkan kegiatan kampanye yang tidak berdasar pada nilai-nilai demokrasi.

Atmosfer politik yang dibangun pada kegiatan kampanye Pilkada Kota Bima lebih mengarah pada sindiran negatif dan saling menjatuhkan sesama pasangan calon (secara verbal, dan visual).

Praktik-praktik demokrasi seperti ini tentunya menimbulkan persentase perpecahan masyarakat yang relatif tinggi karena semua pihak saling beradu argumen dengan strategi yang tidak mendasar (bahkan menjurus kepada praktik-praktik negative “Adu Domba”) antar pasangan calon.

 Hal ini mengakibatkan iklim yang tidak kondusif karena akan terjadi pengkhianatan pendukung dari masing-masing Calon yang dapat menyebabkan perpecahan kelompok Masyarakat.

          Perlu diketahui bersama bahwa prinsip dari negara demokrasi adalah mengedepankan nilai pluralisme, supremasi hukum, dan penghormatan setiap hak asasi manusia. Lalu, mengapa kebanyakan dari Tim Kampanye pasangan Calon Walikota Bima menggunakan strategi tersebut? (tentunya menjadi tanda tanya besar).

Dari Sudut pandang saya ada beberapa faktor pemicu mengapa mereka menggunakan cara kotor tersebut, yang pertama kurangnya literasi politik terhadap masyarakat (yang melakukan kampanye). sehingga masyarakat yang berkampanye tidak didukung oleh dasar pengetahuan demokrasi yang jelas terkesan “DUNGU” namun harus diterima karena bagian dari resiko persoalan yang telah dijelaskan di atas.

Politik adu domba memiliki dampak destruktif yang cukup serius, diantaranya ialah terjadinya disintegritas demokrasi, hilangnya kepercayaan terhadap proses demokrasi, rusaknya solidaritas sosial, dan terjadinya polarisasi masyarakat

Kedua, fanatisme terhadap calon yang didukung, fanatisme kepada salah satu calon (jika tidak dibekali literasi yang cukup) akan membabibutakan para pendukung pasangan calon dalam menyuarakan dukungan terhadap calon masing-masing, dan tidak menutup kemungkinan kelompok tersebut akan menyerang berbagai kelompok (secara verbal bahkan fisik) yang lain dengan cara menyalahkan kebenaran, dan membenarkan kesalahan.

Baca Juga  "Green Flag" dan Pentingnya Pasangan yang Setara

Ketiga, keramahan untuk menjilat, Seno Gumira Ajidarma mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Affair, Obrolan Urban” jika ada manusia yang keramahannya terlalu ramah percayalah itu semua adalah kegombalan dunia atau biasa disebut “MENJILAT”.

Sedikit tidaknya (tapia ada) ada maksud terselubung mengapa mereka sampai bersikeras dan totalitas dalam mendukung masing-masing pasangan calonnya. Mudah sekali dibaca.

Ya, untuk mendapatkan perhatian terhadap calon yang mereka dukung. Bagi saya, permasalahan tersebut merupakan bagian dari narsisme mereka sebagai pendukung tanpa mempertimbangkan gejolak yang sedang terjadi.

Politik adu domba memiliki dampak destruktif yang cukup serius, diantaranya ialah terjadinya disintegritas demokrasi, hilangnya kepercayaan terhadap proses demokrasi, rusaknya solidaritas sosial, dan terjadinya polarisasi masyarakat.

Untuk mencegah adanya praktik politik adu domba ini saya rasa para pelaku politik dan masyarakat harus paham dengan disiplin ilmu politik seperti yang didefinisikan oleh Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, ia menjelaskan bahwa ilmu politik merupakan ilmu yang mempelajari politik atau politics atau kepolitikan.

Politik merupakan usaha untuk menggapai kehidupan yang baik. Orang Yunani Kuno terutama Plato dan Aristoreles menamakannya sebagai en dam onia atau the good life. Definisi di atas didukung juga oleh salah satu teori dalam ilmu politik, seperti teori ideologi politik, teori tersebut merupakan norma, nilai, dan himpunan serta kepercayaan atau keyakinan yang dimiliki oleh setiap orang atau sekelompok orang atas dasar mana mereka menentukan sikapnya terhadap kejadian atau masalah politik yang sedang dihadapinya.

Para pelaku politik sejatinya harus tuntas dalam disiplin ilmu yang digelutinya dalam rangka menopang literasi serta pengetahuan politik yang barangkali akan memunculkan lingkungan politik yang sehat begitu halnya dengan masyarakat.

Masyarakat secara umum mesti membekali dirinya dengan wawasan politik, agar tidak mudah terpengaruh apabila terdapat oknum yang menggiring masyarakat untuk melakukan praktik-praktik kotor masyarakat Kota Bima seharusnya mampu lebih kritis dalam menyikapi persoalan yang ada agar tidak mudah terpengaruh dengan strategi yang diterapkan oleh mereka.

Dalam persoalan ini, peran akademisi sangat dibutuhkan sebagai penyedia wadah literasi bagi masyarakat agar tidak terjebak dengan strategi-strategi politik yang dapat merusak tatanan demokrasi negara Indonesia, cukup dengan memberikan edukasi serta sosialisasi kepada seluruh masyarakat agar mereka mempunyai modal awal dalam menentukan langkah yang akan diambil kedepannya.

Baca Juga  Bahasa, Keakraban, dan Kepentingan Ekonomi

Masyarakat Bima dikenal dengan watak ramah, saling menghargai, saling menghormati antar sesama, serta saling mengasihi. Jangan sampai nilai-nilai baik yang telah diwariskan oleh para leluhur kita dilululantahkan hanya karena kepentingan oknum-oknum yang hanya memikirkan dirinya sendiri melalui praktik-praktik kotor.

Besar harapan warga Kota Bima khususnya dan Masyarakat Indonesia umumnya agar para pelaku politik tanah air tidak kembali melakukan strategi politik adu domba, dan dapat menjalankan kampanye politik yang sehat, berintegritas, sehingga bisa diterima oleh banyak orang.

Tahun ini merupakan tahun yang sangat penting dalam menentukan arah dan tujuan bangsa kita ke depan. 14 Februari lalu kita telah sama-sama menunaikan hak kita sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam pesta demokrasi Pilpres Indonesia periode 2024-2029 yang menjadikan Bapak H. Prabowo Subianto keluar sebagai pemenang dalam kontestasi tersebut.

Hal serupa-pun dalam waktu dekat ini akan sama-sama kita hadapi, yakni Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) serentak untuk Gubernur dan Walikota/Bupati seluruh Indonesia yang insyaallah akan dilangsungkan pada tanggal 27 November mendatang.

Tentunya kita sebagai warga negara Indonesia harus betul-betul memanfaatkan momentum ini sebagai bentuk ikhtiar kita dalam merawat demokrasi. Oleh karena itu, saya mempunyai harapan besar melalui proses demokrasi yang ditegakkan atas asas luber jurdil ini, akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang Amanah dan mempunyai orientasi besar akan kemajuan daerah untuk Indonesia yang lebih baik.

Konklusi dari pembahasan serta opini saya di atas yaitu, politik adu domba merupakan cara seseorang atau kelompok untuk memanipulasi sehingga dapat mengakibatkan eksploitasi ketegangan serta perbedaan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok tertentu, dan biasanya dapat merugikan kelompok yang diadu domba.

Perlu adanya atensi khusus yang menekankan pada pola pikir masyarakat dalam menghadapi fenomena yang terjadi. Bukan tidak mungkin untuk merubah sistem yang ada. Sangat mungkin terjadi apabila masyarakat bersatu dengan melibatkan banyak stakeholder terkait untuk mengatakan tidak pada politik adu domba.

 

Ilustrasi: Kalikuma Studio
Gambar: Nyatanya.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *