Dalam Islam sudah mengatur mengenai tentang harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli yang bersangkutan dengan pewaris, harta warisan ialah aturan yang mengatur tentang proses pengalihan harta kekayaan yang miliki oleh pewaris kepada ahli waris serta akibatnya untuk ahli waris. Warisan dalam hukum Islam mempunyai pengaturan yang sudah dibuat khusus dan diatur dalam sumber hukum yang pertama yaitu al-Qur’an di antaranya yaitu pada surah an-Nisa ayat 11.
Prinsip pembagian dalam hukum islam menerapkan prinsip keadilan dan peraturan ini pula menentukan siapa yang berhak untuk mendapatkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris yaitu ahli waris dari pewaris itu sendiri, adapun ahli waris yang berhak ialah termasuk suami, istri, anak-anak, orang tua dan saudara.
Hukum waris selain diatur dalam al-Qur’an juga diatur dalam hukum positif yaitu diatur dalam KUHPerdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mencapai sekitar 300 pasal yang membahas dan mengatur tentang harta warisan, pada BAB XII Pewarisan karena Kematian mulai dari 830 sampai dengan pasal 1130. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur serta menentukan bagaimana harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris akan didistribusikan jika tidak ada wasiat yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 (e) dijelaskan bahwa “harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakt sampai meninggal, biaya pengurusan jenazaj (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
Pembagian waris ini diatur dalam agama dan negara, tetapi masih ada beberapa daerah di Indonesia yang menggunakan hukum adat untuk membagi harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris yang berhak mendapatkan harta tersebut.
Masyarakat di Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima pembagian warisan dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia, hal ini sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat di daerah tersebut.
Proses pembagiannya yaitu orang tua akan mengumpulkan anak-anaknya atau ahli waris yang berhak untuk melakukan musyawarah bersama untuk dilakukan pembagian harta warisan. Musyawarah ini biasa dilakukan di rumah pewaris dan ahli waris akan kumpul di rumah tersebut untuk membahas pembagian waris.
Pembagian harta warisan dilakukan oleh masyarakat Desa Sangiang dilakukan sebelum pewaris meninggal, hal tersebut dianggap oleh masyarakat Sangiang merupakan pembagian harta warisan, tetapi kenyataannya berdasarkan dari syariat yang diatur dalam Islam.
Pembagian yang dilakukan dengan cara yang seperti itu bukan pembagian warisan melainkan hibah karena dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia. Islam sudah mengatur dan membahas mengenai masalah hibah.
Masyarakat Sangiang masih menggunakan cara tersebut sampai saat ini, orang tua akan membagi-bagi harta yang dimiliki kepada anak-anaknya, harta yang biasa dibagi yaitu berupa rumah, tanah, ladang dan kebun.
Karena, mayoritas masyarakat yang ada di Sangiang berprofesi sebagai petani maka harta yang miliki kebanyakan adalah tanah baik untuk tanah tempat tinggal maupun untuk bertani. Pembagiannya juga akan banyak bagian laki-laki dibandingkan perempuan, walaupun ini sesuai dalam aturan yang diatur dalam al-Qur’an
Tetapi penerapannya masih banyak menerapkan hukum adat yang berkembang dalam masyarakat. Adapun beberapa contoh ialah, jika anak terakhir cewek maka dia akan berhak memiliki rumah yang ditempati karena dipercaya anak bungsu lebih banyak waktu bersama orang tua ketika saudara-saudaranya sudah merantau untuk bekerja atau bahkan menempuh pendidikan.
Jika anak pertama laki-laki akan lebih banyak mendapatkan harta warisan dibandingkan dengan saudaranya yang lain, ketika anak laki-laki sendirian diantara saudaranya yang lain maka akan dapat lebih banyak dari saudaranya yang lain juga.
Posisi yang istimewa ialah anak laki-laki dan anak bungsu, karena akan mendapatkan lebih banyak dari saudaranya yang lain. Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Sangiang seperti yang dijelaskan di atas tidak menggunakan berdasarkan sesuai aturan ketentuan hukum Islam melainkan menggunakan hukum adat kebiasaan masyarakat setempat dan keinginan orang tua atau pewaris. Namun, masih ada juga yang menggunakan konsep hukum Islam tetapi masih mayoritas yang menerapkan hukum adat.
Dalam pembagian harta, hal ini bertujuan untuk meringankan beban orang tua. Lebih baik membagi sebelum orang tua atau pewaris meninggal daripada sudah meninggal untuk meminimalisir terjadinya percekcokan antara anak-anaknya karena selisih paham dan merasa dirugikan dalam hal pembagian warisan tersebut. Hal ini menjadi bukti bahwa jarang terjadi ada percekcokan atau selisih paham dari ahli waris ketika harta sudah dibagikan.
Ketika ada perselisihan juga orang tua atau pewaris akan segera melakukan musyawarah dengan ahli waris untuk menyelesaikan apa yang dipermasalahkan secepatnya. Pembagian harta warisan menggunakan hukum adat di masyarakat Desa Sangiang, Kecamatan Wera, Kabapaten Bima, Nusa Tenggara Barat sudah menjadi kebiasaan yang turun temurun dan ahli waris tidak akan menimbulkan selisih paham di kemudian hari ketika pewaris meninggal dunia, dikarenakan harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris sudah dibagikan semasih pewaris belum meninggal.[]

Mahasiswi Prodi Hukum Keluarga Islam di Pascasarjana UIN Mataram