Melihat Manusia 576 Km

Sejauh ini, ini yang paling jauh! Saya berkendara seorang diri Yogyakarta-Jakarta, kemarin.

Ya, dua hari di perjalanan. Mungkin lama, tapi memang saya sengaja untuk tidak terburu-buru. Niatnya buat menikmati perjalanan.

Capek, istirahat. Bosan, istirahat. Ngudud, istirahat, Gerimis-hujan, istirahat. Liat pemandangan bagus, istirahat. Pokoknya banyakan istirahatnya!

Saya mafhum, ini momen lebaran. Orang mudik, jalanan ramai – kata beberapa sumber – tahun ini orang tak banyak yang mudik, maklum ekonomi negeri sedang “bercyandya”.

Saya cukup terbantu, tak ada kemacetan parah. Kata Google, arus balik puncaknya H+4, lebaran. Okay, gas, tegas saya dalam hati.

Praktis, saya tak terlalu banyak mengandalkan “mesin penunjuk jalan itu”. Sadar saja, jika saya berpapasan dengan kendaraan plat A, B, D, F, dan Z, yakin saja, itu jalan yang benar.

Yups, keyakinan saya cuman satu, “ncai satako mpa lao dii na ka” (jalan ke barat cuman satu). Mungkin seperti siratal mustaqim, itu. Jalan lurus saja.

Reposisi Ruang dan Realitas Manusia

Saya lewat jalur selatan. Di Purworejo, nyeruput es dawet ireng, pinggir jalan. Masuk Kebumen, lewat Jalan Daendels. Lewat Banyumas, Cilacap-Purwokerto, hujan.

Di tengah perjalanan, istirahat. Banyak juga pemudik yang menggunakan motor. Membawa keluarga, anak, dan barang-baranngnya.

Ada yang mengikatnya langsung, ada juga yang menambahkan dua balok kayu, diikat. Ruang makin lebar. Reposisi ruang dalam motor, inilah kehebatan pemudik. Mungkin, origin made in Indonesia.

Sisi lain, mereka membawa anak, ada juga yang masih balita, sambil digendong ibunya. Ada juga yang sambil disusui. Tak jarang ada yang rewel, nangis. Mungkin kepanasan.

Di rest area dan pom bensin pun sama. Ramai. Isinya pemudik yang istirahat. Merebahkan badan. Memeriksa kendaraan atau sambil mengatur kembali barang-barang bawaan.

Melihat fenomena ini, memang benar, mudik itu bukan sekadar pulang kampung dan silaturahmi. Jelas, ada jihad, perjuangan, hitung-hitungan yang presisi antar elemen dalam perjalanannya. Modal/doxa + habitus + ruang, jadilah praktik. singkatnya begitu Pierre Bourdieu, sosiolog itu, menggambarkan.

Ruang Alternatif?

Saya masuk Jawa Barat. Lewat Banjar, aman. Masuk Tasik sekitar jam 10 malam, baju saya simpan di belakang masuk ke rantai motor. Terlilit rantai, sobek.

Jelas, ini masalah. Sekira empat puluh lima menit, selesai. Masalah beres. Masuk Garut, tengah malam. Dataran tinggi, dingin.

Saya masuk masjid. Niatnya menyelesaikan “menjamak” kewajiban sebagai seorang muslim. Ternyata, di Garut, masjid jadi tempat tidur, ya tempatnya para pemudik. Ya saya juga lelah, sekalian saya juga merebahkan badan.

Sebelumnya saya ragu, masjid dijadikan tempat tidur, di tengah penetrasi warta penggembokan pintu masjid yang belakangan viral, itu. Jadi, masjid jadi ruang alternatif atau the last resort, penyelamat manusia, walau hanya sekadar tidur?

Paginya, di Garut, saya diajak ngopi makan serabi oleh seorang teman, katanya, khas Garut. Selesai.

Perjalanan saya lanjutkan, di Garut saya melihat papan jalan bertuliskan “Malangbong (arah kanan)”. Pikiran saya pergi ke S.M. Kartosoewirjo, DI/TII, Negara Islam Indonesia, sambil membayangkan barisan pegunungan antara Tasik-Garut menguji keberanian dan daya tahan pasukan Kartosoewirjo yang 12 Syawal nanti akan memperingati Proklamasi Negara Islam Indonesia.

Lanjut, lewat jalur Nagreg yang pasti Anda nonton tiap mudik berlangsung. Biasanya dengan kata-kata: melaporkan langsung dari jalur lingkar Nagreg, Jawa Barat.

Saat saya melintas, jalur ini sepi, tak ada kemacetan parah berjam-jam itu. Lancar. Masuk Kawasan Bandung, saya bingung. Ya, ini kota. Banyak perempatannya, banyak bundaran, jalur, lajur.

Saya buka Google Maps, mengerti, kawasan Bandung-Cimahi saya sedikit kwalahan dengan jalannya, jalan lurus (siratal mustaqim) itu ternyata banyak juga tantangannya, banyak juga cabangnya, godaan-godaannya. Persis gambaran satu rambut dibelah tujuh. Satu jalan dibelah jadi jalur ini, lajur itu.

Di Bandung seorang teman menganjurkan lewat jalur puncak, Bogor. “Wah, asyik ini, oke, gass.” Balas saya. Motor diputar menuju Cianjur.

Menuju Cianjur, di atas motor saya pusing, pusing benaran, bukan karena banyak nama kampung yang awalan “Ci” di sepanjang kawasan ini. Istirahat, lagi-lagi di masjid. Masjid dipenuhi lagi oleh pemudik, ada warungnya juga di dalam halaman masjid. Warung seadanya. Menjual mie, sosis, air minum, kopi, dan makanan ringan.

Bagi saya, ini baru, sependek yang saya tahu di Bima, kawasan masjid itu suci. Transaksi jual beli “terlarang” di masjid. Kalaupun iya, dilakukan di luar pagar masjid. Dan itu temporer saja.

Kalau diilmiahkan, khas orang-orang kampus itu, melihat fenomena seperti ini kelindannya kesalehan dan kapitalisme mungkin akan lahir karya antropologis yang menarik. Biasanya istilahnya “piety and economic behavior or capitalism“. Kira-kira seperti itu. Jika Anda tertarik tema ini, bisa membaca Tesis Mohamad Sobary dan Disertasi Moeslim Abdurrahman.

Sekitar 4 jam saya istirahat. Tidur. Hujan sudah berhenti. Jam 9 malam melanjutkan perjalanan. Menuju Cianjur, naik ke puncak, lewat Istana Kepresidenan Cipanas.

Puncak dingin, saya mampir makan nasi goreng. Puncak ramai, tapi tidak terlalu. Motor meliuk, menyelip, menyalip dengan lihai deretan mobil-mobil.

Ya, itulah, manfaatnya naik motor, bisa mencari jalan lain. Alternatif. Tidak diam di tempat, membaca arah menentukan peluang masuk menyalip. Sangat spiritual dan perenungan, bukan?

Intinya? Apa inti dari semua ini? Intinya ialah jika Anda di jalanan ramai dan siang hari di atas motor bernyanyilah. Lagunya Tulus, Hati-Hati di Jalan. Atau, Sepanjang Jalan Kenangan..

Jika jalanannya sepi, malam hari, tanjakan, dan dingin. Di sinilah keimanan Anda diuji. Jelas bukan lagu Tulus yang keluar dari mulut Anda, tapi Ya Allah, Subhanallah, Lailahaillah, Surat Al Fatihah, Ayat Kursi, Juz 30, zikir, fikir, dan amal soleh, tangan terkepal dan maju ke muka, ehh, kok gitu![]

Ilustrasi: pngtree

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *