Eco-teologi, Ecofeminisme, Ecoteologi-feminisme: Lingkungan, Agama, dan Perempuan

Saya tahu, judul itu mungkin sedikit membingungkan, terma konseptual yang bertubi-tubi dan mungkin masih asing karena istilah impor akan mengernyitkan dahi bagi sebagian atau bahkan kebanyakan kita. Nanti akan diurai satu-satu. Namun jika disederhanakan, tulisan ini ingin berpesan “menyayangi alam, menjaga lingkungan punya basis spiritual dan merupakan ajaran agama yang harus dijalankan oleh semua umat beragama, tetapi jangan lupakan perempuan untuk mengakses, berpartisipasi, memiliki kontrol dan mendapatkan manfaat dari alam dan lingkungan kita.”   Jadi ecoteologi juga harus mengintegrasikan ecofeminisme sehingga menjadi ecoteologi-feminisme, karna tanpa melibatkan perspektif perempuan dan ditujukan juga untuk perempuan, cita-cita kemaslahatan pada isu apapun ibarat dijalankan hanya dengan satu kaki.

Istilah eco-teologi adalah gabungan dari ekologi dan teologi, yaitu disiplin ilmu yang fokus mengkaji bagaimana agama dan spiritualitas berkontribusi bagi krisis lingkungan. Bahwa krisis lingkungan yang dialami oleh manusia adalah juga representasi dari krisis spiritualitas dan religiusitas.  Kemunculan istilah ini sudah relatif lama yaitu pada dekade 60-an dan Seyyed Hussein Nasir, filosof Muslim yang sangat berpengaruh, menjadi salah seorang tokoh kunci di balik keilmuan ini. 

Belakangan, sekitar awal 1970-an istilah eco-feminisme  muncul dan tokoh pertama yang menggunakan istilah ini adalah seorang penulis dan aktivis bekebangsaan Prancis bernama  Francoise d’Eabounne dalam bukunya berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian). Salah satu tokoh ekofeminisme  yang popular bagi aktivis di Indonesia adalah Vandana Shifa yang berasal dari India, dan bukunya berjudul “Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India” sangat menjadi inspirasi bagi gerakan ecofeminisme di Indonesia bahkan di dunia. Vandana Shifa melihat bahwa hegemoni maskulinitas menimbulkan kerakusan sekaligus  kerusakan karena berakibat pada tindakan eksploitatif  bahkan ekstraktif terhadap lingkungan dan diskriminatif terhadap perempuan.

Eco-teologi menjadi terma yang akhir-akhir ini menarik di Indonesia terutama karna Menteri Agama Republik Indonesia, Prof KH Nasaruddin Umar,  secara khusus menjadikan konsep ini sebagai salah satu program unggulan. Melalui tagline “Kementerian Agama BERDAMPAK”  beliau  mengajak umat beragama untuk menyelamatkan planet agar dapat diwariskan kepada anak cucu. Bahwa cinta lingkungan adalah juga ibadah,  dan aspek muamalah tidak hanya mengatur relasi antar manusia, tetapi juga relasi mereka dengan lingkungan hidup.

Dalam level implementatif, konsep ini diarahkan pada Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) di mana penguatan kognisi dan dan kesadaran terkait cinta lingkungan  juga harus ditanam melalui jalur pendidikan di berbagai jenis dan level. Bahwa cinta tidak hanya tentang asmara yang mengedepankan nafsu, tetapi sikap hati yang dibaluri nurani dan kepedulian.  Umat beragama, terutama muslim sebagai kelompok mayoritas di Indonesia perlu menjadi role model dan garda terdepan mengimplementasikan fungsi kekhalifahan yang harus menyebarkan kasih sayang terhadap semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).

Baca Juga  Membantah Argumentasi Tidak Pentingnya Agama

Sedangkan sebagian perempuan Indonesia yang terkenal terkait gerakan ecofeminis, misalnya Mama Aleta dari NTT, Delima Silalahi dari Sumatera Utara, dan   Yosepha Alemong dari Papua. Mereka bergerak mempertahankan kekayaan alam di tempat mereka masing-masing untuk tidak dirusak atas nama pembangunan.  Sebab, perempuan akan menjadi kelompok masyarakat pertama yang akan menderita akibat kerusakan alam dan lingkungan. Kita juga masih mengingat bagaimana perempuan-perempuan dari Kendeng yang dipimpin oleh Sukinah berdemo dengan cara mengecor kaki mereka dengan semen di depan istana negara pada tahun 2016 dan 2017. Mereka menentang pembangunan pabrik Semen di Rembang Jawa Tengah untuk menyelamatkan lingkungan dan masyarakat mereka dari kerusakan dan keterpurukan

Jadi eco-teologi dan eco-feminisme memiliki kepedulian yang sama terhadap lingkungan dan ingin memastikan manusia sebagai makhluk yang memiliki tanggungjawab mengelola alam ini tidak berlebihan. Namun alasan yang mendasari kepedulian mereka memiliki starting point yang berbeda. Ecoteologi menekankan pada hubungan segitiga antara alam, tuhan, dan manusia, sedangkan ecofeminisme melihat penindasan terhadap perempuan berelasi erat dengan pengrusakan lingkungan. Oleh karenanya, jika ekoteologi menggunakan pendekatan spiritual, ecofeminisme menggunakan pendekatan sosial terutama pada pengalaman perempuan.

Mungkin semua orang tidak akan menolak bahwa menyelamatkan alam ini adalah juga perintah agama. Tetapi masih banyak orang yang belum menyadari bagaimana krisis iklim dan agraria juga berawal dari kerja sama yang baik antara patriarki dan kapitalisme sehingga akibatnya sangat merugikan kaum perempuan. Kapitalisme dan patriarki kemudian dalam banyak hal mendapatkan legitimasi negara untuk terus menindas mereka yang dianggap lebih lemah. Kapitalisme melihat alam sebagai pihak yang subordinat lalu dikeruk habis-habisan untuk kepentingan manusia yang merasa dirinya penguasa alam. Namun, pertanyaanya, manusia golongan dan jenis kelamin  mana yang mendapatkan keuntungan di dalam sistem kapitalisme ini? Demikian halnya dengan patriarki yang juga selalu menempatkan perempuan pada posisi marginal dan voiceless di dalam relasi sosial. Dalam pandangan eko-feminisme, kolaborasi keduanya menjadikan perempuan semata-mata sebagai obyek dan komoditi. Pengetahuan, pengalaman, dan kebutuhan perempuan tidak dijadikan dasar dan alasan untuk mengelola alam ini.

Kongres ulama perempuan Indonesia (KUPI) II pada 24-26 November 2022 telah memadukan isu lingkungan, perempuan, dan agama dalam diskusi dan fatwa mereka. Mereka menyusun modul “Dakwah Ekologi” dan meluncurkan modul itu sebagai pedoman untuk mensosialisasikan keterkaitan tiga isu tersebut. Mereka juga melakukan aksi menanam pohon dan  mengeluarkan fatwa bahwa hukum pembiaran kerusakan lingkungan hidup adalah haram.  Jadi jelas bahwa eco-teologi-feminisme ini sudah menjadi nafas gerakan perempuan berbasis agama bagi penyelamatan lingkungan di Indonesia. Eksploitasi alam berhubungan dengan apa yang kita konsumsi, dan apa yang kita pakai. Oleh karena itu, agama melarang berlebih-lebihan, baik pada makanan, pakaian, dan gaya hidup lainnya.

Baca Juga  Pembelajaran Daring Bukan Memindahkan Tugas Guru Kepada Orang Tua

Menjadikan perspektif dan pengalaman perempuan sebagai alat analisis di dalam melihat krisis agraria dan krisis Iklim ini sangat penting untuk melihat bagaimana keluarga dan kehidupan sosial mendapatkan dampak negatif krisis ekologi ini secara langsung. Pada kasus pekerja migran misalnya.  Perempuan menjadi pekerja migran baik ke luar negeri maupun antar pulau, salah satunya karena tidak tersedia lagi lahan produktif di sekitar pemukiman mereka.

Akibatnya, ketahanan keluarga melemah karena dalam kondisi keluarga yang ibu in absentia, bapak seringkali tidak bisa langsung dan cekatan mengambil alih tugas-tugas domestik dan kerja perawatan (careworks). Artinya  fungsi keluarga banyak yang tidak terpenuhi sehingga muncul masalah-masalah turunan lainnya yang berakibat melemahnya generasi. Lemahnya generasi ini menjadi sebab utama masyarakat mengalami kemiskinan dan kerentanan yang kemudian juga memunculkan bencana sosial dan juga bencana alam. Siklus tersebut terus berputar dan kemauan untuk memotongnya menjadi kebutuhan darurat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi.

Salah satu langkah strtegis adalah dengan program unggulan yang mulai menekankan pentingnya keterhubungan yang harmonis antara agama, manusia, dan lingkungan (ecoteologi) Namun, penyebutan kata “manusia” saja belum cukup, karena seringkali perempuan selalu direpresentasikan oleh laki-laki pada konteks masyarakat yang masih bersifat patriarkis di mana laki-laki selalu diunggulkan. Oleh karena itu, eco-teologi ini perlu didialogkan dan diintegrasikan dengan eco-feminisme, sehingga menjadi eco-teologi-feminisme. Terlepas dari perdebatan yang tidak pernah berakhir tentang istilah feminisme, namun yang diinginkan oleh ecoteologi feminisme dalam hal ini adalah cara pandang kita melihat lingkungan, agama, dan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai entitas yang selalu saling menjaga dan memancarkan cinta. Karna cinta tidak akan pernah utuh jika masih ada sebagian pihak yang tidak diajak masuk dalam arena untuk mengakses, berpartisipasi, mengontrol, serta memberi dan menerima manfaat dari bumi kita bersama.


Ilustrasi: ischoolsonnect.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *