Generasi Z atau sering disebut dengan (Gen Z) tergolong kelompok yang lahir antara tahun 1998 hingga 2010. Umur Gen Z saat ini, berusia 27 tahun sampai 15 tahun, mereka tumbuh bersamaan dengan teknologi yang sedang berkembang pesat, seperti media sosial, AI, dan aplikasi informasi lainnya. Generasi ini sangat ahli dalam menggunakan berbagai platform digital. Bagaimana tidak, setiap harinya Gen Z hampir tidak bisa lepas dari ponsel genggam.
Bahkan istilah “Gen Z generasi nunduk” diberikan karena mereka lebih banyak berinteraksi dengan ponsel dari pada dunia nyata. Penelitian menunjukkan, 33% Gen Z menghabiskan lebih dari 8,5 jam sehari dalam menggunakan ponsel dan jauh lebih sering menggunakan media sosial. Hal ini membuat mereka sangat cepat mengikuti trend digital dan perubahan secara cepat.
Akibat perkembangan teknologi dan informasi, permainan tradisonal seperti layang-layang, gangsing, petak umpet, dan bola bekel mulai terlupakan. Permainan ini dimainakan oleh kalangan Generasi X dan Generasi Y, sebelum adanya gawai. Sementara itu, permainan yang dimainakan Gen Z lebih berbasis digital, seperti Mobile Legends, Free Fire, dan TikTok. Lalu, seperti apa karakteristik generasi yang memainkan permainan tradisional ini?
Generasi X dan Generasi Y saat ini menjadi orang tua dari Gen Z. Gen X atau disebut dengan Baby Busters lahir antara tahun 1965-1976, pada saat itu perkembangan teknologi baru dimulai. Seperti ditemukan komputer, PC internet, dan televisi. Namun, keterbatasan produksi dan harganya yang mahal membuat sebagian besar dari mereka hidup tradisional dan tidak tersentuh digital.
Sedangkan Gen Millenials kelahiran antara tahun 1980-1994 di mana generasi ini tumbuh dan besar pada peralihan teknologi, dari analog menjadi digital dan munculnya media sosial. Generasi ini merasakan perubahan dari dunia tradisional ke dunia digital. Mereka tumbuh dan berkembang bersamaan dengan kemajuan teknologi tetapi tidak sebesar dunia Gen Z.
Gen Z kehidupannya dikendalikan oleh media sosial dan selalu mengikuti trend. Bahkan mood mereka tergantung pada beranda fyp tiktok, atau reels instagram. Contohnya muncul konten sedih di beranda mereka langsung dapat merespons perasaan dan mood Gen Z. Jadi, hal ini yang membuat Gen Z dijuluki sebagai generasi pemalas, generasi micin, generasi strawberry (manja), dan digital native.
Namun, menurut jurnal yang ditulis oleh Galih Saktri yang berjudul “Selamat Datang Gen Z Sang Penggerak Inovasi” sebanyak 44% Gen Z justru menyukai kerja tim, terkenal gigih, dan menawarkan work-life balance. Hal ini membuat Gen Z memiliki harapan karier yang baik di masa depan.
Meskipun demikian, 77% dari mereka mudah stres di lingkungan pekerjaan yang sangat kompetitif, jam kerja yang panjang dan deadline tugas yang sempit. Menariknya, orang tua dari Gen Z ingin masuk ke dalam dunia digital. Dunia tempat Gen Z tumbuh dan berkembang. Misalnya mereka mulai belajar mengikuti tren media sosial, velocity tik tok dan aplikasi AI.
Hal ini mengundang fenomena menarik terjadi di mana orang tua dari Gen Z yang ingin belajar media sosial bertanya kepada anaknya bagaimana cara menggunakan teknologi tersebut. Fenomena ini menarik karena pada umumnya anak yang bertanya kepada orang tua bagaimana cara melakukan sesuatu.
Seperti “pak bagaimana cara bermain layangan?” atau “pak tolong ajari cara main gangsir” dan orang tua akan mengajari anaknya tetapi saat ini malah sebaliknya orang tua yang bertanya kepada si Gen Z. Fenomena ini terjadi langsung pada saya sendiri di mana orang tua saya bertanya bagaimana cara membuat video vlog, ingin dibuatkan akun media sosial dan fitur-fitur Ai lainnya.
Dan saya pun mengajari orang tua saya bermain media sosial dan membuatkannya akun Facebook. Pengikutnya lumayan banyak bahkan setiap mengupload postingan mendapatkan banyak like dan komentar dari teman-temannya. Saya sedikit kesal karena terlalu update dan mengalahkan saya.
Postingan-postingannya tentang foto keluarga, daily vlog, dan quotes motivasi membuatnya seolah masuk ke dunia Gen Z dan menolak tua. Walaupun saya sedikit geli melihat hal itu, saya tetap merasa senang karena lewat media sosial, dia bisa kembali berkomunikasi dengan teman-teman lamanya yang sudah lama hilang kontak.
Setiap kali ada fitur atau tren terbaru, orang tuaku selalu ingin tahu dan minta diajari. Aku pun mengajarinya dengan penuh kesabaran, karena maklum orang yang diajari sudah berumur. Seperti peribahasa “belajar di waktu tua seperti menulis di atas air.” Padahal baru dijelaskan kemarin, hari ini bertanya lagi tentang hal yang sama.
Fenomena ini memunculkan Gen Z menjadi ayah bagi orang tuanya. Tetapi, bukan berarti Gen Z mengambil peran ayah sebagai kepala keluarga, seperti menafkahi atau menjaga keamanan keluarga. Hanya mengambil peran ayah dalam mengajari, layaknya orang tua mencari sesuatu kepada anaknya. Fenomena unik mengajarkan saya bahwa pengajaran tidak selalu datang dari orang yang lebih tua, karena anak muda juga bisa. Dalam opini ini, saya ingin menyampaikan pengalaman pribadi tentang peran yang tidak biasa, namun bermakna.[]
Ilustrasi: rmol.id

Mahasiswa Universitas Mataram. Suka menulis, membuat cerita, dan bahkan bisa membuat film (jika sedang niat)





