Sarangge. Dalam bahasa Bima, kata ini bukan sekadar menyebut sebuah bangunan panggung kecil di sudut halaman rumah atau tengah kampung. Sarangge adalah jiwa dari sebuah ruang sosial yang hangat, terbuka, egaliter. Ia adalah tempat bertemu, tempat bercengkerama, tempat musyawarah, tempat mengguyur kegelisahan, tempat membangun harapan.
Dalam bahasa Sasak, mungkin ia bersaudara dengan berugak—tempat duduk bersama yang tidak mengenal kasta. Namun lebih dari sekadar tempat, sarangge adalah simbol. Ia bukan kayu dan atap semata, tapi semesta kebersamaan yang melampaui sekat kepentingan dan hiruk-pikuk dunia politik identitas.
Duduk di sarangge, tidak ada hierarki yang kaku. Tidak ada protokol kekuasaan yang mengharuskan siapa lebih tinggi dari siapa. Di situ, kopi mengalir tanpa tanya jabatan, kelakar dilempar tanpa takut salah bicara, dan setiap orang berhak menyampaikan isi kepala, dari anak kecil yang baru belajar bertanya, sampai tetua yang penuh hikmah. Dalam ruang itu, identitas mencair, status meluruh, yang ada hanyalah manusia dalam keutuhannya.
Dalam pendekatan antropologi tafsir, sarangge bisa dimaknai sebagai wujud tafsir kultural atas makna musyawarah, syura, dan ukhuwah dalam ajaran Islam. Tafsir ini tidak terucap dalam teks atau kitab, tapi hidup dalam praksis, dalam ruang sosial sehari-hari masyarakat Bima. Di sarangge, nilai-nilai keislaman seperti egalitarianisme, musyawarah, dan kasih sayang sosial justru tampil lebih otentik daripada dalam ruang-ruang formal yang penuh jargon keagamaan. Seperti dijelaskan Abdullah Saeed, tafsir kontekstual harus hidup dalam konteks sosial-budaya umat, tidak boleh dibekukan dalam literalisme yang buta terhadap realitas. Maka sarangge, dengan kesahajaannya, adalah tafsir diam-diam atas nilai-nilai Qurani tentang kebersamaan dan persaudaraan.
Namun tafsir ini tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dan gender yang membentuk ruang sosial. Di sinilah pendekatan antropologi feminisme memberi cahaya tambahan. Apakah sarangge juga menjadi ruang aman bagi perempuan? Apakah ia benar-benar bebas dari bias patriarki? Dalam praktiknya, kita tahu, tidak semua perempuan memiliki akses setara terhadap ruang-ruang publik. Banyak sarangge yang masih dikuasai oleh laki-laki, baik secara simbolik maupun praktis. Seperti diungkapkan oleh Lila Abu-Lughod dan Saba Mahmood, tafsir budaya terhadap ruang dan peran sering kali memperkuat struktur dominasi, meski secara luar tampak netral.
Namun tidak semua sarangge seperti itu. Di beberapa kampung Bima, sarangge justru menjadi tempat para perempuan berkumpul untuk menenun, berbagi cerita, bahkan membahas soal-soal kampung. Mereka hadir bukan sebagai penonton, tapi pelaku aktif kehidupan sosial. Dalam ruang itu, tubuh perempuan tidak disingkirkan, suaranya tidak dibungkam, dan pikirannya tidak diremehkan. Di situ, sarangge menjadi medan resistensi sunyi terhadap dominasi laki-laki, meski dibungkus dalam narasi tradisi.
Sarangge, dalam wujud idealnya, adalah simbol dunia yang kita rindukan: dunia tanpa sekat-sekat kepentingan, tanpa tirai status, tanpa dinding prasangka. Dunia di mana orang bisa berbicara sebagai manusia, bukan sebagai jabatan, suku, agama, atau jenis kelamin. Dunia di mana keputusan diambil bukan karena tekanan kuasa, tapi karena bisikan nurani bersama. Dunia semacam ini hanya bisa lahir jika ruang-ruang seperti sarangge dijaga dan diperluas secara kritis.
Kritikalitas itu penting. Sarangge bukan artefak mati, bukan peninggalan masa lalu yang hanya layak difoto dan dijadikan destinasi wisata. Ia harus dimaknai ulang, direinterpretasi, dan dihidupkan kembali dalam konteks hari ini. Ketika politik identitas semakin menebalkan sekat antarwarga, ketika media sosial menjadikan debat sebagai ajang saling menjatuhkan, dan ketika ruang publik dibanjiri oleh suara yang saling meniadakan, kita butuh lebih banyak sarangge—dalam makna simbolik maupun aktual. Kita butuh ruang bersama yang memulihkan.
Maka, sarangge bukan nostalgia. Ia adalah kritik. Ia adalah tawaran alternatif terhadap dunia yang makin terpecah. Dalam narasi sastra, sarangge bisa digambarkan seperti rumah kecil dari kayu tua, di mana angin sore lewat dengan tenang, dan percakapan mengalir seperti mata air. Di situ tidak ada suara yang lebih keras dari yang lain. Semua suara adalah nyanyian. Tidak ada yang dibungkam. Semua didengarkan.
Sarangge mengajarkan bahwa kebersamaan tidak harus mahal. Ia cukup dengan keikhlasan membuka ruang, mendengarkan orang lain, dan meletakkan ego di bawah kaki sendiri. Ia mengajarkan bahwa solusi tidak lahir dari debat keras, tapi dari duduk bersama dalam kesederhanaan dan ketulusan. Sarangge mengajarkan bahwa demokrasi bukan hanya sistem, tapi budaya. Dan budaya itu tumbuh dalam ruang-ruang kecil seperti sarangge, bukan di mimbar-mimbar kekuasaan.
Kita perlu belajar dari sarangge. Bukan hanya masyarakat Bima, tapi semua yang merindukan dunia yang lebih adil dan ramah. Sarangge bisa dibangun di mana saja: di ruang keluarga, di kantor, di sekolah, bahkan di media sosial. Selama ada niat untuk duduk setara, untuk mendengar dengan empati, dan berbicara dengan rendah hati, maka kita sedang membangun sarangge dalam hidup kita.
Barangkali itulah esensi dari pesan spiritual yang sering luput: bahwa yang kudus bukan hanya yang sakral, tapi juga yang sosial. Bahwa ruang suci tidak hanya di masjid atau tempat ibadah, tapi juga di sarangge, ketika manusia saling melihat sebagai saudara, bukan sebagai musuh. Sarangge adalah tafsir—bukan dengan pena, tapi dengan peristiwa. Tafsir tentang makna manusia, makna ruang, makna hidup bersama.
Dalam dunia yang terancam oleh egoisme struktural dan individualisme liberal, sarangge menyodorkan wajah lain dari peradaban: wajah yang hangat, terbuka, dan bersahaja. Ia mengajak kita untuk kembali menjadi manusia yang duduk dan mendengar, bukan berdiri dan memerintah. Kembali menjadi masyarakat yang membangun, bukan membentak. Kembali menjadi komunitas yang punya rumah untuk semua: sarangge, tempat semua suara bertemu dan berpelukan.
Sebab di ujung hari, yang kita butuhkan bukan lagi kemenangan atas orang lain, tapi ruang untuk menyembuhkan diri bersama-sama. Dan mungkin, sarangge adalah jawabannya.
Ilustrasi: pngtree.
Dalam bahasa Sasak, mungkin ia bersaudara dengan berugak—tempat duduk bersama yang tidak mengenal kasta. Namun lebih dari sekadar tempat, sarangge adalah simbol. Ia bukan kayu dan atap semata, tapi semesta kebersamaan yang melampaui sekat kepentingan dan hiruk-pikuk dunia politik identitas.
Duduk di sarangge, tidak ada hierarki yang kaku. Tidak ada protokol kekuasaan yang mengharuskan siapa lebih tinggi dari siapa. Di situ, kopi mengalir tanpa tanya jabatan, kelakar dilempar tanpa takut salah bicara, dan setiap orang berhak menyampaikan isi kepala, dari anak kecil yang baru belajar bertanya, sampai tetua yang penuh hikmah. Dalam ruang itu, identitas mencair, status meluruh, yang ada hanyalah manusia dalam keutuhannya.
Dalam pendekatan antropologi tafsir, sarangge bisa dimaknai sebagai wujud tafsir kultural atas makna musyawarah, syura, dan ukhuwah dalam ajaran Islam. Tafsir ini tidak terucap dalam teks atau kitab, tapi hidup dalam praksis, dalam ruang sosial sehari-hari masyarakat Bima. Di sarangge, nilai-nilai keislaman seperti egalitarianisme, musyawarah, dan kasih sayang sosial justru tampil lebih otentik daripada dalam ruang-ruang formal yang penuh jargon keagamaan. Seperti dijelaskan Abdullah Saeed, tafsir kontekstual harus hidup dalam konteks sosial-budaya umat, tidak boleh dibekukan dalam literalisme yang buta terhadap realitas. Maka sarangge, dengan kesahajaannya, adalah tafsir diam-diam atas nilai-nilai Qurani tentang kebersamaan dan persaudaraan.
Namun tafsir ini tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa dan gender yang membentuk ruang sosial. Di sinilah pendekatan antropologi feminisme memberi cahaya tambahan. Apakah sarangge juga menjadi ruang aman bagi perempuan? Apakah ia benar-benar bebas dari bias patriarki? Dalam praktiknya, kita tahu, tidak semua perempuan memiliki akses setara terhadap ruang-ruang publik. Banyak sarangge yang masih dikuasai oleh laki-laki, baik secara simbolik maupun praktis. Seperti diungkapkan oleh Lila Abu-Lughod dan Saba Mahmood, tafsir budaya terhadap ruang dan peran sering kali memperkuat struktur dominasi, meski secara luar tampak netral.
Namun tidak semua sarangge seperti itu. Di beberapa kampung Bima, sarangge justru menjadi tempat para perempuan berkumpul untuk menenun, berbagi cerita, bahkan membahas soal-soal kampung. Mereka hadir bukan sebagai penonton, tapi pelaku aktif kehidupan sosial. Dalam ruang itu, tubuh perempuan tidak disingkirkan, suaranya tidak dibungkam, dan pikirannya tidak diremehkan. Di situ, sarangge menjadi medan resistensi sunyi terhadap dominasi laki-laki, meski dibungkus dalam narasi tradisi.
Sarangge, dalam wujud idealnya, adalah simbol dunia yang kita rindukan: dunia tanpa sekat-sekat kepentingan, tanpa tirai status, tanpa dinding prasangka. Dunia di mana orang bisa berbicara sebagai manusia, bukan sebagai jabatan, suku, agama, atau jenis kelamin. Dunia di mana keputusan diambil bukan karena tekanan kuasa, tapi karena bisikan nurani bersama. Dunia semacam ini hanya bisa lahir jika ruang-ruang seperti sarangge dijaga dan diperluas secara kritis.
Kritikalitas itu penting. Sarangge bukan artefak mati, bukan peninggalan masa lalu yang hanya layak difoto dan dijadikan destinasi wisata. Ia harus dimaknai ulang, direinterpretasi, dan dihidupkan kembali dalam konteks hari ini. Ketika politik identitas semakin menebalkan sekat antarwarga, ketika media sosial menjadikan debat sebagai ajang saling menjatuhkan, dan ketika ruang publik dibanjiri oleh suara yang saling meniadakan, kita butuh lebih banyak sarangge—dalam makna simbolik maupun aktual. Kita butuh ruang bersama yang memulihkan.
Maka, sarangge bukan nostalgia. Ia adalah kritik. Ia adalah tawaran alternatif terhadap dunia yang makin terpecah. Dalam narasi sastra, sarangge bisa digambarkan seperti rumah kecil dari kayu tua, di mana angin sore lewat dengan tenang, dan percakapan mengalir seperti mata air. Di situ tidak ada suara yang lebih keras dari yang lain. Semua suara adalah nyanyian. Tidak ada yang dibungkam. Semua didengarkan.
Sarangge mengajarkan bahwa kebersamaan tidak harus mahal. Ia cukup dengan keikhlasan membuka ruang, mendengarkan orang lain, dan meletakkan ego di bawah kaki sendiri. Ia mengajarkan bahwa solusi tidak lahir dari debat keras, tapi dari duduk bersama dalam kesederhanaan dan ketulusan. Sarangge mengajarkan bahwa demokrasi bukan hanya sistem, tapi budaya. Dan budaya itu tumbuh dalam ruang-ruang kecil seperti sarangge, bukan di mimbar-mimbar kekuasaan.
Kita perlu belajar dari sarangge. Bukan hanya masyarakat Bima, tapi semua yang merindukan dunia yang lebih adil dan ramah. Sarangge bisa dibangun di mana saja: di ruang keluarga, di kantor, di sekolah, bahkan di media sosial. Selama ada niat untuk duduk setara, untuk mendengar dengan empati, dan berbicara dengan rendah hati, maka kita sedang membangun sarangge dalam hidup kita.
Barangkali itulah esensi dari pesan spiritual yang sering luput: bahwa yang kudus bukan hanya yang sakral, tapi juga yang sosial. Bahwa ruang suci tidak hanya di masjid atau tempat ibadah, tapi juga di sarangge, ketika manusia saling melihat sebagai saudara, bukan sebagai musuh. Sarangge adalah tafsir—bukan dengan pena, tapi dengan peristiwa. Tafsir tentang makna manusia, makna ruang, makna hidup bersama.
Dalam dunia yang terancam oleh egoisme struktural dan individualisme liberal, sarangge menyodorkan wajah lain dari peradaban: wajah yang hangat, terbuka, dan bersahaja. Ia mengajak kita untuk kembali menjadi manusia yang duduk dan mendengar, bukan berdiri dan memerintah. Kembali menjadi masyarakat yang membangun, bukan membentak. Kembali menjadi komunitas yang punya rumah untuk semua: sarangge, tempat semua suara bertemu dan berpelukan.
Sebab di ujung hari, yang kita butuhkan bukan lagi kemenangan atas orang lain, tapi ruang untuk menyembuhkan diri bersama-sama. Dan mungkin, sarangge adalah jawabannya.
Ilustrasi: pngtree.