Mauludan di Gereja

Baru saja aku mengucapkan salam kedua sambil menolehkan kepala ke kiri, tiba-tiba Pak Sabar teriak-teriak menyuruh semua orang pulang dari gereja. Aku lantas berdiri dari dudukku dengan mulut masih penuh Qulhu. Jamaah yang dari tadi menunggu acara maulud dimulai, kini berhamburan mencari sandal mereka masing-masing.

Tadinya, sebelum aku menepi sendiri di balik podium gereja untuk shalat isya’, aku tahu Pak Sabar bersila manis di depan jamaah ditemani para pendeta. Nampak ia sedang melakukan koordinasi karena ia bertugas sebagai pengisi acara malam ini.

12 Rabiul Awal menjadi hari besar umat Islam seluruh dunia setiap tahunnya. Tidak ada yang melewatkan kegiatan keagamaan mauludan, kecuali mereka yang mengharamkan seremoni tersebut dengan alasan Kanjeng Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya.

Aku sebagai warga biasa hanya bisa mengamati dari jauh bagaimana Pak Sabar selalu menjalin hubungan baik dengan umat lintas agama. Ia sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan anti-diskriminasi. Gereja yang terletak tidak jauh dari rumahnya selalu diberikan rasa aman setiap kali melakukan kegiatan.

Pak Sabar sering berpenampilan sederhana dengan kemeja yang rapi, meski kulitnya sudah kusut. Selain sebagai juru dakwah, sehari-hari ia menggarap sawah. Meski tidak kaya, ia merasa cukup dengan hasil yang ia dapat. Perannya sebagai tokoh agama pun tak bisa ia sebut sebagai pekerjaan. Memang kadang ada sahibulbait yang memberinya tanda terima kasih, tetapi lebih sering tidak. Kalau begitu kejadiannya, ia hanya pulang dengan sebungkut berkat dan sebuah hormat. Walau begitu, Pak Sabar tetap menjalankan pada yang diperintahkan Nabi, yaitu menyampaikan pesan Islam meski hanya satu ayat.

Lima tahun lalu, entah bagaimana asal muasalnya sehingga tiba-tiba Pak Sabar mengumumkan bahwa acara mauludan akan dilaksanakan di Gereja. Pun tahun-tahun setelahnya. Sudah ada protes kecil-kecilan dari warga muslim setempat, tapi tidak mengubah keteguhan hati Pak Sabar.

“Ini adalah wujud toleransi antarumat beragama. Beginilah Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika,” jelasnya waktu itu. “Sikap semacam ini sangat sesuai dengan Nabi Muhammad.”

Karena Pak Sabar pentolan tokoh agama di kampungnya, tidak ada yang berani membantah lagi. Paling-paling hanya Pak Syukur, adiknya yang memberikan sindiran-sindiran halus. “Mauludan di Gereja, Kang?” Pak Syukur mengernyit, “apa kita mau mempertemukan Nabi Muhammad dan Nabi Isa?”

Pak Sabar terkekeh dengan perawakan sedikit membungkuk karena usia. Ia memang bukan tipe pemuka agama yang pemarah dan memaksakan kehendak. Ia lebih suka berdakwah dengan jalan damai. “Ini sebagai bukti bahwa warga kampung kita orangnya rukun-rukun, sekalipun beda agama. Ini juga sudah disetujui oleh pihak gereja. Kalau misalnya pihak gereja tidak berkenan, aku juga tidak akan memaksa, Kur. Sebaiknya kau dukung saja keputusan ini.”

Rimba desa menjadi kenangan di antara mereka berdua, namun kini jalan mereka telah berbeda. Meski sepasang saudara lahir dari rumah dan rahim yang sama, kelak jika mereka dewasa, pikiran mereka memilih jalannya sendiri. Setiap orang dituntun oleh pengetahuannya masing-masing.

“Aku mohon maaf, Kang. Aku juga punya prinsip. Aku tidak bisa mengikuti keputusan tersebut. Tapi bagaimana pun, aku menghargai sampean sebagai pemimpin agama di kampung ini. Aku tidak akan menggalang massa untuk protes. Aku juga tidak akan membentuk kelompok sempalan yang mauludan di masjid,” kata Pak Syukur.

“Masuk gereja itu tidak haram, Kur. Jangan khawatir. Kalau kita menyembah Yesus, itu baru musyrik,” Pak Sabar masih membujuk.

“Memang, Kang. Itu kalau sampean yang landasan agamanya sudah kuat. Lha mereka? Umat tidak seperti itu.”

Pak Sabar pernah mendengar sejarah bahwa Nabi Muhammad hidup berdampingan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Madinah. Kota itu akhirnya menjadi kota yang masyarakatnya guyub rukun, gemah ripah loh jinawi. Mereka saling membantu dalam urusan rumah tangga, menjenguk teman yang sakit, dan tidak ada lagi penyerangan seperti tindakan kafir Mekkah.

“Nanti akan saya jelaskan pada mereka.”

Pak Sabar jadi merasa yang di hadapannya itu bukan adiknya lagi. Dulu, saat masih kecil, adiknya selalu menurut kalau disuruh mengambilkan sesuatu. Namun, bumi berputar zaman beredar. Musim telah berubah, berikut orang-orangnya. Adiknya kini telah menjadi orang lain yang hidupnya tak serumah.

Kerut di wajah mereka pun tak bisa dijadikan patokan siapa yang lebih tua. Pengetahuan dan pengalaman mereka tak bisa lagi diukur tinggi rendahnya. Apalagi sejak perbincangan itu, cermin persaudaraan mereka berdua agak sedikit bentet.

Namun demi kemaslahatan yang lebih luas, Pak Sabar tidak menghiraukan itu. Ia rela berjarak dengan Pak Syukur, asal warga di kampungnya akur. Kepentingan kecil tidak bisa mengalahkan kepentingan yang lebih besar.

“Baik, Kang. Aku jadi ingat pesan bapak dulu: lebih bermartabat memperjuangkan keyakinan meski salah, daripada absen berjuang karena malu pada keyakinan sendiri,” Pak Syukur mengakhiri percakapannya dengan Pak Sabar.

“Gereja akan menjadi saksi kecintaan kita pada Sang Rasul,” tutup Pak Sabar.

Di malam yang tegang itu, Pak Syukur pulang dan tetap menyapa pendeta yang berpapasan dengannya di jalan. Meski begitu, hati nuraninya tetap berkata bahwa pendeta itu bukan temannya. Yang masih menjadi temannya paling setia hanyalah debu bandel yang melekat di kaki dan sandalnya.

Pendeta yang sama bertandang ke rumah Pak Sabar yang didominasi material kayu. Rumah yang lebih tua daripada putih rambutnya. Tempat ia memulai langkah menuju medan dakwah untuk menyebarkan ajaran-ajarah agama yang ramah. Di sana ia tinggal bersama istri yang sering mengeram di dapur dan seorang anak semata wayang.

Setelah mempersilakan Pak Syukur pergi, sudah datang tamu lagi. Pak Sabar baru saja berdiri dari duduknya, namun segera mendengar sapaan dari pendeta itu. “Assalamu ‘alaikum,” salam pendeta itu tanpa ragu-ragu. Wajah mudanya dihiasi senyum rekah.

Wa’alaikum salam,” jawab Pak Sabar sambil membatin mengapa seorang non-muslim mau memakai salam orang muslim? Mengapa mereka tidak takut keluar dari agama mereka, atau paling tidak iman mereka terkotori?

Mereka mulai bersalaman dan membahas kelanjutan rencana acara maulud. “Jadi begini, Pak Sabar. Bagaimana kalau acara mauludan ini dinamai ‘Natal Nabi Muhammad’, agar kesan toleransinya makin terasa?” usul pendeta itu.

“Natal Nabi Muhammad?” Pak Sabar mempertanyakan usulan konyol itu.

Mereka berdua berteman sudah sejak lama, meski usia mereka terpaut lumayan jauh. Akibatnya, mereka sudah seperti saudara yang blak-blakan dalam mengutarakan unek-unek. Tidak ada lagi rahasia di antara mereka. Yang rahasia hanya sembunyinya gula dalam kopi yang tersaji di atas meja.

Pak Sabar berpikir pendapat aneh itu akan mendapat kecaman dari banyak pihak. Adiknya pasti akan lebih frontal memprotes. Tapi sebagai wujud kolaborasi, nampaknya pendapat itu masuk akal juga dan terkesan lebih kreatif.

Baca Juga  Perempuan dalam Syair Ahmad Syauqi

“Jangan khawatir dengan istilah, Pak Sabar,” lanjut pendeta itu sembari Pak Sabar masih berpikir. “Maulud itu bahasa Arab, sedangkan natal itu bahasa Portugis. Artinya sama-sama kelahiran. Sama dengan ulang tahun. Cuma bedanya, maulud sering dipakai orang Islam untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad, kalau natal dipakai orang Kristen untuk memperingati hari lahir Yesus atau Nabi Isa. Apa masalahnya?”

“Memangnya orang kampung bisa menerima itu?”

“Nanti kita jelaskan pas acara. Asal Pak Sabar yang menjelaskan, mereka pasti percaya kok.”

Pak Sabar juga tahu bahwa toleransi ada batasnya. Islam dan Kristen merupakan dua agama yang berdampingan, bukan untuk dicampurbaurkan. Tidak ada transaksi ibadah antara kedua belah pihak. Menghindari mafsadah juga diperlukan dalam bermasyarakat. Begitulah kesadaran Pak Sabar sejauh ini.

Ia manggut-manggut. Ia sudah mengangkat gelas kopinya, tapi jadi menyeruput karena ternyata masih panas. Ia mengembuskan napas setelah ia hirup aroma kopi dalam-dalam. Ia letakkan kembali minuman hitam itu, lantas berkata, “Hmmm… Kopi ini sepertinya pertanda. Mau saya minum, ternyata tidak jadi.”

“Pertanda apa, Pak?”

“Pertanda kalau saya harus menolak tawaran Anda. Mohon maaf.”

Pendeta itu mengerti. Tiap teman tak selalu searah, tiap sekutu tak mesti segairah. Pendeta itu pulang tanpa sedikit pun mencicipi kopi yang disuguhkan. Entah karena ia sedang mengurangi gula, mengidap asam lambung, atau mungkin karena itu bentuk penolakan secara simbolik.

Tapi sebelum pendeta itu pulang, Pak Sabar sempat menanyakan sesuatu saat keduanya berdiri di depan teras rumah. “Tapi, acaranya jadi kan, Pak?” katanya memastikan.

“Iya, jadi, Pak. Kan sudah lama kita rencanakan, masa tidak jadi?” Pendeta itu tetap saja menjawab dengan senyuman.

“Oh iya, saya pesan,” Pak Sabar menekankan perkataannya, “tolong jangan ada babinya.”

“Oh… baik, Pak. Teman-teman pasti sudah tahu kalau orang muslim tidak makan babi. Nanti akan saya beritahukan lagi biar Pak Sabar semakin yakin kalau semuanya halal.”

Pak Sabar semalam suntuk menimang-nimang dua tamu yang ditemuinya tadi. Ia merasa keputusannya tidak bulat penuh. Masih ada celah yang mesti ia sumpal. Namun, rasanya tidak mungkin membatalkan acara mauludan yang akan terselenggara sepekan lagi. Berat hati juga mengganti kata ‘maulud’ menjadi ‘natal’ meskipun artinya sama saja. Pak Sabar mengusutkan seprai yang ditidurinya, sementara istrinya terlelap memeluk guling.

Ia hanya kiai kampung yang tugasnya merawat tradisi pendahulu seperti kenduri, hajatan, manaqiban, tahlilan, haul, mauludan, dan lain-lain. Ia bukan kiai besar ataupun doktor yang bisa mencari dalil baru, apalagi mengubah tradisi yang sudah ada. Kiai kampung hanyalah pemimpin ritual keagamaan.

Pada waktu itu, saat pertama kali mauludan di gereja digelar, tidak ada masalah apa-apa. Acara berjalan dengan lancar. Paling-paling hanya beberapa warga takut masuk karena ruangannya sangat asing. Melihat gereja dari luar, mereka sudah sering. Tapi kalau dari dalam, ini baru pertama kalinya. Sembari menata hati, mereka melangkah dengan tahan napas. Mengamati sekitar, apakah ada malaikat yang lari tebirit-birit karena takut pada rumah ibadah non-muslim? Pasalnya, bagi mereka bangunan ini adalah tempat angker.

Pak Sabar yang menunggu di depan ditemani anggota banser segera mendorong mereka masuk. “Cepat! Jangan malu-maluin!” Terlihat beberapa aktivis gereja sedang menata kendaraan di parkiran.

“Tidak apa-apa, Pak? Saya takut. Saya tidak mau bertengkar,” jawab seseorang yang mungkin sedang mengingat tragedi kelam muslim versus kristiani di media massa. “Saya tidak membawa apa-apa,” bibirnya gugup.

“Tidak perlu membawa apa-apa. Cukup perasaan yang jernih tanpa rasa curiga,” tutur Pak Sabar.

Orang yang tidak pernah bersosialisasi dengan saudara non-muslim sementara hanya membaca referensi dan mendengar ceramah pun akhirnya menganggap bahwa semua non-muslim itu seperti Abu Lahab: licik, beringas, dan memusuhi. Begitulah kira-kira warisan ingatan yang mereka dapat dari para pendahulu. Jarang sekali tertanam persepsi keberadaan non-muslim seperti paman Nabi Abu Thalib yang baik dan selalu suportif.

Mungkin hanya sesepele itu masalah keberagaman mereka. Mereka yang awam hanya dihantui ketidaktahuan. Setelah masuk ke dalam ruangan, tidak ada problem lagi karena disambut mesra oleh tuan rumah. Barangkali masih ada yang hatinya gentar karena terbentur iman, namun hati mereka tersimpan di balik perayaan suka ria yang meriah.

Terlihat beberapa pengurus gereja juga menikmati nyanyian kasidah al-Barjanzi. Semua orang yang datang tidak merasa terganggu dengan keberadaan salib yang gagah di atas altar. Tabuh rebana dan alat musik lainnya menemani suasana riang gembira. Puji-pujian pada Allah dan Rasulnya menggema dari ruang pemujaan Yesus. Sehabis acara, mereka dijamu makan prasmanan dengan menu yang mewah-mewah. Lebih mewah daripada mauludan di masjid yang jajannya cuma ciki-ciki, atau paling mewah bungkusan nasi.

“Hati-hati, jangan ambil lengkuas,” ujar salah seorang ibu-ibu genit.

“Enak ya Bu, makanannya. Kalau bisa tahun depan di sini lagi,” ucap ibu-ibu lain yang masih antre.

Di belakang, tiba-tiba seorang ibu-ibu menukas dengan pertanyaan yang mengganggu. “Eh, Bu, mauludan kita tadi diterima Allah tidak ya?”

Barisan ibu-ibu terdiam. Namun, bukan ibu-ibu namanya kalau diamnya terlalu lama. Seketika seorang ibu-ibu menyahut, “Tadi kan sudah dijelaskan Pak Sabar, Bu. Masa tidak mendengarkan?”

“Halah, yang penting makan, Bu. Eh, ini boleh bungkus nggak sih?”

Mereka bising. Nampak Pak Sabar makan gulai sambil berbincang dengan para pendeta. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Mungkin humor agama bualan Gus Dur? Atau rencana kolaborasi selanjutnya?

Nampaknya, Pak Syukur bersembunyi seperti keong. Dari awal acara sampai habis, ia sama sekali tidak nongol. Ia pasti seorang yang teguh memegang prinsipnya. Aku tidak tahu apakah ia mengintai dari balik pepohonan depan gereja, ataukah selonjuran di rumah sambil memegang remote televisi?

“Puji Tuhan, semua orang bahagia. Karena kami tidak merayakan mauludan, maka kami anggap acara ini sebagai pesta,” kata seorang pendeta.

Alhamdulillah, yang penting semuanya senang,” balas Pak Sabar.

Semua orang pulang dengan senang tiada tara. Acara yang berlangsung lancar tanpa pertikaian. Justru keakraban terjalin antara mereka. Yang belum kenal menjadi kenal, yang sudah kenal jadi semakin kenal. Mereka mengaku menemukan dunia baru yang selama ini tak mereka lihat padahal amat dekat.

Ada dari mereka yang nyeplos kepada Pak Sabar sebagai penentu nasib mauludan tahun berikutnya. “Acaranya asik, Pak. Tahun depan di kelenteng bisa nggak?” Pak Sabar yang wajahnya teduh di mata warga hanya membalas dengan senyum. Ia tahu bahwa tidak semua pertanyaan harus dijawab.

Baca Juga  Wabah Itu

Namun, itu cerita indah itu terjadi lima tahun lalu. Lain dengan sekarang. Bumi berputar zaman beredar, malam ini Pak Sabar malah mendadak membatalkan acara yang seharusnya sudah dimulai. Warga yang hadir pun saling melempar tanya, walau tak satu pun bisa menjawab.

“Sudah, pokoknya pulang semua,” kata Pak Sabar sambil memberi arahan dengan tangan, “tidak ada mauludan.” Siapa pun yang bertanya ‘mengapa’ tidak pernah digubris olehnya.

Semua orang berjubal keluar seperti macet di hari mudik. Tidak sedikit yang memaki, meski tak memakai kata kotor. “Bagaimana sih, Pak, kok tidak jadi? Paling tidak kita makan saja tidak apa-apa. Tidak usah acara.” Kalimat itu diabaikan, meski meremas hati Pak Sabar. Sesuai namanya, ia tetap sabar dengan tidak membalas memakai kata apapun.

Seorang pendeta yang menyandingi Pak Sabar menjadi polisi lalu lintas yang mengatur kemacetan nampak terus membujuk Pak Sabar. “Pak, silakan dilanjutkan saja acaranya. Saya sama sekali tidak keberatan jika permohonan saya tidak dikabulkan.” Namun, Pak Sabar bergeming. Ia manekin yang tak bisa lagi menangkap suara.

“Saya yang mohon maaf sebesar-besarnya, Pak Pendeta. Selama ini kami kurang peka dan hanya menekan kaum minoritas.”

“Kami sama sekali tidak merasa tertekan. Ini silaturahmi, Pak Sabar.”

Pendeta itu pun sempat menyuruh para jamaah kembali ke tempat, tapi tidak satu pun yang mendengarkan. Disuruh makan pun tak ada yang mau. Mereka hanya bisa digerakkan oleh sabda Pak Sabar, pemuka mereka.

Para pendeta jadi merasa rikuh dengan sikap Pak Sabar yang berubah 180 derajat. Mereka memegangi kepala, menunduk, dan kecewa. Tadinya, untuk memperkuat tali persaudaraan, para pendeta itu menyampaikan sebuah ide kepada Pak Sabar. “Bagaimana kalau tahun ini kami merayakan Hari Natal di Masjid?” anjur salah seorang pendeta 30 menit yang lalu. Seketika Pak Sabar tertegun. Tatapan matanya kosong, meski aula gereja mulai terisi.

Setelah semua jamaah pulang berhamburan seperti sekawanan kapuk yang tertiup angin, tanpa basa-basi Pak Sabar pun menghilang dari tempat itu. Ia raib dalam kegelapan 12 Rabiul Awal. Aku pun tak sempat mengintainya.

Sampai di rumah, aku temui Pak Sabar berduel kedua kalinya dengan Pak Syukur. Aku dengar mereka membahas tema yang sama seperti lima tahun lalu. “Kopi atau teh, Lik?” tawarku pada Pak Syukur.

“Kopi saja,” jawabnya singkat. Aku segera ke belakang untuk membuatkan dua gelas teh.

Setelah mengantar suguhan, aku menyimak pembicaraan mereka dari balik dinding rumah. Telingaku menempel di dinding layaknya cicak, sekalipun tak bisa merayap. “Aku merasa zalim, Kur. Selama ini yang kulakukan, ternyata hanya merepotkan mereka. Mereka menyiapkan tempat, tenaga, dan makanan. Semua dari mereka. Kita sama sekali tidak modal,” sesal Pak Sabar.

“Ini juga salahku, Kang, yang dulu tidak bisa menjelaskan secara detail apa yang kumaksud.” Pak Syukur melepas pecinya yang ujung bawahnya karatan.

“Mereka di sini minoritas. Nampaknya mereka sungkan atau tidak berani menolak permintaan kita, walaupun permintaan halus. Mereka secara tidak langsung meminta perlindungan dari kita.”

“Tapi semuanya sudah selesai kan? Tahun depan tidak perlu lagi buat-buat acara Islam di gereja. Gereja itu tempat ibadah umat Kristen. Kita perlakukan sesuai kegunaannya. Lagi pula, masjid kita juga masih bisa dipakai.”

Pak Sabar mengangguk dengan isyarat kedip mata. “Aku baru sadar saat pendeta itu minta masjid dijadikan tempat perayaan hari besar Kristen. Untuk hal itu, nuraniku sama sekali tidak bisa menerima, Kur. Bukan karena usulan pendeta itu salah, justru ia benar, mengusulkan keberimbangan antara kedua belah pihak. Tapi, pikiranku malah terbuka bahwa kalau begini terus caranya, orang Islam akan selalu diuntungkan.”

“Itu sama saja dengan menjajah minoritas kan, Kang?”

“Betul. Aku tidak mau seperti itu. Aku melindungi mereka karena kewajibanku sebagai muslim, sebagai manusia, dan sebagai mayoritas. Aku baru ingat bahwa di piagam Madinah tidak ada beribadah di tempat ibadah umat agama lain. Yang ada adalah saling memberi rasa aman pada umat agama lain.”

“Itu yang dulu mau aku katakan, Kang. Kita jangan merusuhi tempat orang lain. Kita beribadah, mereka beribadah. Kecuali kalau masjid kita hancur,” ucap Pak Syukur menggebu-gebu. “Kemarin aku juga baru baca kisah Sayyidina Umar saat datang di gereja Yerusalem. Ia ditawari oleh uskup untuk melaksanakan shalat dhuhur di gereja yang amat disakralkan oleh umat Kristiani, tapi beliau menolak. Sayyidina Umar memberi alasan, ‘Jika saya mendirikan shalat di dalam gereja ini, saya khawatir orang-orang Islam nantinya akan menduduki gereja ini dan menjadikannya sebagai masjid.’ Aku rasa alasan Sayyidina Umar ini bisa kita contoh.” Aku merasa tersindir dengan kalimat itu, karena tadi aku baru saja shalat di gereja.

Tak sampai habis aku mendengar obrolan mereka berdua, aku bergegas mengambil peci dan memakai baju kokoku kembali. Aku berlari membelah jalan desa yang debunya masih saja suka mengerubungi kakiku. Bulan hampir bulat penuh, seiring kepercayaanku membuka pintu masjid dan menyalakan mikrofon. Corong speaker yang hinggap di atap masjid berdengung menyapa warga. Kampungku belum tidur.

Aku gugup mempersiapkan diri berbicara. “Tes, tes, tes. Semua warga sekitar masjid an-Nur dimohon datang ke masjid untuk merayakan hari lahirnya Sang Rembulan.” Aku mengulangi kalimat itu tiga kali dan membatin, Rembulan di atas sana tidak penuh. Rembulan yang penuh telah menerangi manusia lama sekali. Maka, bagaimana mungkin kita menunda mauludan ini?

Waktu demi waktu bergulir, satu per satu warga datang. Dari yang anak-anak sampai kakek-kakek, dari perempuan sampai laki-laki, semua tersedot di tempat ini. “Oh… anaknya Pak Sabar,” salah satu dari mereka bergumam. Tanpa dikomando, mereka duduk melingkar bersandar di dinding masjid.

Mereka datang tanpa dijanjikan apa-apa. Aku tidak mengiming-imingi mereka dengan makanan prasmanan yang bisa diantre sambil ghibah. Aku juga tidak menjanjikan setumpuk amplop berisi lembaran uang. Aku tidak punya apa-apa untuk memberi mereka. Mereka yang cinta Rasul akan datang untuk Rasul.

Begitupun, aku yakin Rasul datang untuk mereka. “Yaa Nabi salam alaika, ya Rasul salam alaika…,” malam itu bergema, meski sudah masuk waktu tidur.[]


Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *