Kritik Nourouzzaman Shiddiqi Pada Metodologi Sejarah

Babak baru dalam proyek penulisan sejarah “resmi” Indonesia yang digawangi Kementerian Kebudayaan kini kian menjadi perhatian publik. Masyarakat sipil dan aktivis melaporkan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait penyangkalan Fadli Zon pada kasus pemerkosaan massal Mei 1998 (Kompas, 12/9/2025).

Sejak awal kemunculan proyek penulisan ulang sejarah ini sudah banyak menimbulkan kontroversi di publik. Mayoritas masyarakat menaruh kecurigaan pada agenda di balik penulisan ini. Di mana, kasus-kasus pelanggaran HAM dan sejarah “hitam” bangsa ini yang berkaitan dengan peran militer ingin diputihkan.

Metode Sejarah Nourouzzaman Shiddiqi

Dalam keadaan seperti ini, jika kita melihat kembali karya-karya sarjana Indonesia terkait masalah metodologi sejarah kita sampai pada karya Nourouzzaman Shiddiqi. Dalam bukunya yang berjudul Menguak Sejarah Muslim Suatu Kritik Metodologis (1984), Nourouzzaman Shiddiqi telah mengingatkan kepada kita bahwa sejarah sebagai ilmu ialah harus ditulis dengan pendekatan filsafat sejarah.

Dalam melihat sejarah dengan pendekatan ini, Nourouzzaman Shiddiqi berharap agar sejarah yang ditulis bukanlah bersifat deskriptif dan menjelaskan peristiwa-peristiwa. Namun, lebih dari itu, kritisisme penulis sejarah harus bekerja dengan membandingkan satu peristiwa serupa dengan peristiwa lain, menemukan sebab-akibat, dan menjelaskan persamaan dan perbedaan serta menarik kesimpulan dari celah akademik penulisan sejarah tersebut.

Dari pernyataan ini kita bisa melihat bagaimana cara kerja seorang sejarawan yang melihat peristiwa tersebut lebih dalam dan menemukan makna dari peristiwa. Dalam bahasa Nourouzzaman Shiddiqi, ialah melihat pola sejarah bukan hanya melihat fakta-fakta dan mengorganisasikan fakta tersebut menjadi peristiwa utuh.

Mengapa pola sejarah ini penting? Sebab, dalam pandangan Nourouzzaman Shiddiqi bahwa sejarah ialah cermin masa lalu guna menjadi pedoman bagi masa kini dan masa mendatang. Analogi cermin yang dipakai Nourouzzaman Shiddiqi ini membuktikan bahwa tugas sejarah – tulisan sejarah – untuk melihat masa lalu bangsa ini dengan benar dan jujur. Bukanlah melihat masa lalu bangsa ini sebagai “aib” yang harus dihapus agar masa kini dan masa mendatang bersih. Sikap hipokrit semacam inilah yang harus dibuang jauh-jauh dalam mentalitas bangsa ini.

Baca Juga  Bangkitnya Sutan Sjahrir gara-gara Gibran dan Golkar

Di atas semua itu, Nourouzzaman Shiddiqi melihat sejarah untuk membangkitkan kesadaran humanitas. Gambaran sejarah yang ditulis, dibentuk, dan dikontruksikan oleh kita ialah dasar bagi tindakan dan perwujudan dari potensial kita sebagai manusia. Pernyataan ini sangat relevan dengan tugas kita sebagai manusia merdeka dan hubungan kemanusiaan kita dan bangsa kita sendiri.

Oleh karena itu, penting untuk ditegaskan, dari sisi lain, Nourouzzaman Shiddiqi melihat bahwa memang metode sejarah sebagai pembentuk humanitas dan identitas sebagai bangsa memang penting untuk dilakukan. Dari sisi lain, menurut saya, sebagai bangsa kita juga harus jujur dalam melihat fakta masa lalu yang membentuk identitas kita sebagai bangsa dengan jujur dan penuh tanggung jawab.

Sejarah sebagai Kritik Kekuasaan

Kembali, Nourouzzaman Shiddiqi, dalam bukunya ini menjelaskan ini bahwa sejarawan yang melakukan kesalahan dalam penulisan sejarah sangat bergantung pada faktor internal dan eksternal seorang sejarawan. Namun, yang membuat saya tertarik, Nourouzzaman Shiddiqi melihat faktor yang paling mempengaruhi seorang sejarawan ialah kekuasaan.

Nourouzzaman Shiddiqi menegaskan berkali-kali dalam tulisannya ini bahwa intervensi kekuasaan, fanatisme berlebihan pada penguasa, mencari muka terhadap penguasa, gandrung untuk membesar-besar (mungkin salah satu tokoh), atau tekanan-tekanan dari pihak luar yang salah satunya ialah penguasa.

Dari sisi ini, kita dapat melihat bagaimana operasi kekuasaan dalam penulisan sejarah sangat kental. Oleh sebab itu, Nourouzzaman Shiddiqi mengingatkan sejarawan untuk berhati-hati dalam melihat potensi ini. Jelas beralasan, mengapa Nourouzzaman Shiddiqi mengulang-ulang faktor kekuasaan ini. Dugaan saya, bahwa memang hanya kekuasaanlah yang paling berpotensi untuk menjaga sejarah “sesuai trek” yang diinginkan penguasa. Sebab otoritas, penguasa, kekuasaan, selalu ingin tampil sebagai agen terdepan dalam tulisan-tulisan sejarah.

Baca Juga  Kekacauan dalam Agama, Mengapa Terjadi?

Sebaliknya, otoritas, penguasa, dan kekuasaan akan kalah, dikalahkan, terkalahkan dalam tulisan-tulisan sejarah jika saat berkuasa tidak mengambil peran dalam mengintervensi atau memaksakan dirinya masuk dalam penulisan sejarah.

Dua kutub ekstrim inilah yang harus dikatalisasi oleh sejarawan dalam bayangan Nourouzzaman Shiddiqi. Dua kutub yang harus dilewati dengan selamat-sentosa dengan pendekatan filsafat sejarah yang kritis. Namun, sejarawan yang baik dan penguasa yang baik, akan tetap hati-hati dan “tahu diri” dalam mengkatalisasi dua kutub tersebut.

Penulisan Sejarah “Resmi” Indonesia

Mengapa proyek ini dikritik? Tiada lain, tiada bukan, karena aroma intervensi kekuasaan sangat menyengat dalam jagat publik Indonesia dewasa ini. Sebab, ada beberapa peristiwa dan fakta-fakta sejarah yang dihilangkan, direvisi, dan ditonjolkan sebagai timeline utama dalam proyek besar itu.

Jelas, dalam disiplin ilmu sejarah, limeline atau yang dijadikan FYP dalam penulisan sejarah selalu bersifat politis dan bergantung mazhab yang dianut seorang sejarawan. Di sinilah, tarik-menarik kekuasaan, masalah pendekatan, negosiasi, dan konsensus itu berlangsung. Namun, kecenderungan penulisan sejarah selama ini yang atas nama “proyek pemerintah” selalu berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan karena yang dihasilkan cenderung medioker.

Jelas, melalui proyek ini kita menaruh harapan, bahwa penulisan sejarah bangsa ini akan lebih baik dari waktu ke waktu, berimbang, dan (mungkin) mulai menyuarakan suara-suara mereka yang bersuara. Bukan sebaliknya, membungkam suara mereka yang kecil, udik, dan parau  itu dengan kembali menghapus dan hilang dalam tulisan sejarah. Suara orang kecil, betapa pun karena itu sejarah harus mulai ditulis.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *