Tepuk Sakinah: Refleksi Kesetaraan Gender dan Esensi Keluarga Sakinah

Belakangan ini media sosial diramaikan oleh viralnya Tepuk Sakinah, sebuah kreativitas instruktur Bimbingan Perkawinan dan Bina keluarga sakinah Kementerian Agama RI. Gerakan ini awalnya merupakan sekadar ice breaking dalam sesi pelatihan pranikah calon pengantin, kini menjadi sorotan publik. Namun, lebih dari sekadar irama dan tepukan, Tepuk Sakinah mengandung pesan penting tentang lima pilar keluarga sakinah, yaitu: berpasangan (Jawaz), janji kokoh (mitsaqon ghalidho), kesalingan (mubadalah), musyawarah, dan kerelaan/ridha (tarodhin).

Menurut Prof. Alimatul Qibtiyah, Guru Besar Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Tepuk Sakinah diciptakan sebagai salah satu strategi untuk menghidupkan nilai kesalingan, kesetaraan, dan kebersamaan dalam berkeluarga dengan cara yang menyenangkan dan membahagiakan (Republika.co.id).

Sayangnya, dalam riuhnya jagat maya, Tepuk Sakinah lebih banyak dipandang sebagai hiburan, sehingga mereduksi substansi maknanya sebagai fondasi membangun keluarga yang setara dan berkeadilan dalam relasi rumah tangga.

Keluarga Sakinah dan Relasi Gender

Selama ini, konsep keluarga sakinah kerap dipahami secara normatif—rumah tangga yang tenang, rukun, dan penuh cinta. Namun jika dibaca lebih dalam dengan kacamata gender, keluarga sakinah seharusnya menuntut hadirnya kesalingan dan kesetaraan antara suami dan istri. Lima pilar yang melandasi Tepuk Sakinah justru menegaskan nilai-nilai penting yang relevan untuk membangun keluarga berkeadilan gender.

Pilar pertama keluarga sakinah adalah berpasangan (Jawaz), yaitu pilar yang menegaskan bahwa pernikahan adalah ruang kemitraan (partnership), bukan relasi dominasi. Suami dan istri dipandang setara sebagai individu yang saling melengkapi, bukan pihak yang satu memerintah sementara yang lain sekadar patuh secara buta (blind obedience). Dengan demikian, pernikahan tidak boleh menghapus identitas, potensi, atau suara salah satu pasangan, melainkan menjadi ruang untuk tumbuh bersama.

Baca Juga  IAIN (di) Bima: Pendefinisian tentang Masyarakat dan Komitmen Keilmuan

Selain itu, pilar kedua keluarga sakinah adalah janji kokoh (mitsaqon ghalidho), yaitu pilar yang mengingatkan bahwa ikatan pernikahan bukan hanya kontrak legal-formal, tetapi juga perjanjian spiritual dan sosial yang setara. Janji ini menuntut tanggung jawab bersama, bukan sekadar legalisasi relasi kuasa laki-laki atas perempuan. Dalam perspektif gender, kedua pihak sama-sama berkewajiban menjaga kehormatan, komitmen, dan kesejahteraan keluarga secara adil.

Pilar berikutnya yang tidak kalah penting sebagai dasar keluarga sakinah adalah kesalingan (mubadalah), yaitu pilar menekankan pentingnya memberi dan menerima kebaikan secara timbal balik. Relasi rumah tangga bukan transaksi sepihak, melainkan kerja sama. Suami dan istri sama-sama bertugas menghadirkan kebaikan, baik berupa nafkah, perhatian emosional, maupun kerja-kerja domestik. Prinsip ini mendorong distribusi peran yang lebih adil, sehingga beban pengasuhan dan pekerjaan rumah tidak otomatis dibebankan pada perempuan—seperti yang masih banyak terjadi di masyarakat kita. Di sini, suami dan istri memiliki keharusan dan tanggungjawab untuk saling hormat, saling jaga, dan saling cinta untuk kemaslahatan bersama.

Selain itu, musyawarah sebagai pilar keluarga sakinah, juga menegaskan perlunya demokrasi dalam keluarga. Keputusan penting seharusnya diambil melalui dialog, bukan secara sepihak. Dengan begitu, suara perempuan dapat didengar dan dipertimbangkan setara, sekaligus melatih anak-anak tumbuh dalam budaya partisipatif dan non-otoritarian. Pilar ini memastikan bahwa rumah tangga menjadi ruang yang sehat bagi semua anggota keluarga.

Terakhir, pilar keluarga sakinah adalah saling ridha (tarodhin), yaitu pilar yang menegaskan bahwa kerelaan adalah fondasi utama dalam relasi rumah tangga. Pilar ini mendorong bagaimana suami dan istri untuk saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan, sekaligus saling kompromi dalam memahami karakter pasangan. Relasi seperti ini cenderung melahirkan keluarga yang harmonis, menjadikan rumah sebagai ruang aman, serta terhindar dari kepatuhan buta dan relasi kuasa yang diskriminatif, melainkan kesepakatan bersama yang berangkat dari kesadaran. Dengan perspektif gender, prinsip ini sangat penting untuk menolak segala bentuk pemaksaan, baik dalam hal hak-hak reproduksi, pengelolaan ekonomi, maupun pembagian peran domestik.

Baca Juga  Kita (memang) Masih Melihat Laut sebagai Pemisah

Jika direfleksikan bersama, kelima pilar ini saling berkelindan dan tidak terpisahkan satu sama lain, pilar-pilar ini saling melengkapi untuk mewujudkan cita-cita keluarga sakinah dimana esensinya adalah menghadirkan keluarga yang memiliki relasi gender yang setara dan berkeadilan.

Dengan demikian, makna Tepuk Sakinah perlu dikembalikan pada esensinya sebagai sarana pengingat bahwa keluarga sakinah tidak hadir secara instan, melainkan dibangun melalui kerja sama, musyawarah, dan saling menghargai. Dari sudut pandang gender, jelas bahwa keluarga sakinah mustahil tercapai tanpa kesetaraan. Karena itu, Tepuk Sakinah patut dimaknai sebagai simbol perjuangan menuju keluarga yang adil, setara, dan penuh kasih.[]

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *