Kebijaksanaan Sistemik: Menolak Jalan Pintas, Merawat Keberlanjutan

Dalam sebuah kisah hikmah diceritakan ada sebuah bahtera hendak berlayar mengarungi lautan lepas. Penumpangnya telah berbaris bersiap naik ke kapal yang megah. Kapal itu sangat besar hingga memiliki dua tingkat, yang ternyata dua tingkat itu membawa masalah, orang-orang berebut ingin menjadi penumpang di bagian atas, karena lebih nyaman, pemandangan laut terbentang luas, gemuruh air terdengar jelas, dan yang paling spesial bahwa di lantai atas orang-orang bisa menyentuh hangatnya air laut dan mengambilnya sesuka hati.

Sementara di bagian bawah pastilah tidak senyaman di bagian atas, karena tidak dapat menyaksikan pemandangan laut yang indah dan tidak bisa menyentuh dan mengambil air seperti penumpang di bagian atas. Saat bahtera berangkat, di awal perjalanan tak ada masalah, semua penumpang menikmati perjalanan mengarungi samudera, namun beberapa saat kemudian penumpang di bawah membutuhkan air, mereka pun mulai naik ke lantai atas untuk mengambil air, satu dua penumpang naik, lama kelamaan makin banyak penumpang di lantai bawah yang membutuhkan air, dan mereka berbondong-bondong ke bagian atas, mereka naik turun hanya untuk mengambil air.

Penumpang di atas pun mulai merasa terganggu kenyamanannya dengan hilir mudik penumpang dari bawah untuk mengambil air, sementara penumpang di bawah pun merasa tak enak hati karena dianggap mengganggu. Selain itu, mereka juga merasa kelelahan karena harus naik ke lantai atas acap kali membutuhkan air.

Akhirnya semua penumpang di bagian bawah kapal pun berkumpul, membicarakan masalah yang dihadapi tentang kebutuhan air, namun tak ada solusi kecuali harus naik ke atas untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Mengingat perjalanan masih panjang dan mereka berada di tengah lautan, hingga sebuah usulan pun muncul. “Bagaimana jika kita buat sebuah lubang di kapal ini? Kita bisa mengambil air melalui lubang itu dan tak perlu lagi mondar-mandir naik ke atas.” Para penumpang riuh riang mendengar usulan tersebut. Mereka senang mendapatkan solusi tanpa memikirkan akibatnya. Yang mereka pikirkan hanyalah terpenuhinya kebutuhan sehingga lalai tak melihat akibatnya. Mereka semua pun sepakat mengeksekusi usulan membuat sebuah lubang di bagian bawah kapal sebagai tempat untuk mengambil air.

Keriuhan penumpang bawah terdengar oleh penumpang atas, mereka mendengar usulan gila tersebut dan melihat penumpang bawah benar-benar akan melubangi kapal. Mereka tahu betul bahwa melubangi kapal adalah sebuah kesalahan, namun mereka tutup mata dan telinga tak mau tahu urusan penumpang bawah. Mereka terbuai dengan kenyamanan di atas kapal dan tak peduli apa pun yang diperbuat penumpang bawah. “Asalkan penumpang bawah tak mengganggu, biarkan saja mereka membuat kesalahan,” “Toh kesalahan itu dilakukan mereka dan bukan kita,” “Biarkan saja orang-orang bodoh itu,” “Mereka hanya ingin memenuhi kebutuhan hidup, jadi tak perlu lah disalahkan,” “Mereka yang salah, ngapain kita yang repot,” komentar demi komentar keluar dari penumpang atas. Tak ada satu pun dari mereka yang bersedia mengingatkan penumpang di bawah.

Lalu saat penumpang bawah benar-benar membuat lubang, air laut spontan saja masuk ke dalam kapal melalui lubang tersebut. Begitu derasnya air masuk melalui lubang di bagian bawah, dengan cepat kapal pun karam. Korban bukan hanya penumpang bawah, namun juga penumpang di bagian atas pun tenggelam dan binasa.

Dari kisah tersebut di atas dapat kita mengambil pelajaran yang berharga, bahwa sebuah lembaga atau organisasi ibarat kapal yang sedang berlayar. Kapal itu hanya bisa selamat jika nakhodanya mampu mengarahkan dengan benar, serta penumpangnya mau bekerja sama, apabila nakhoda lalai, kapal kehilangan arah, demikian juga jika penumpang bertindak ceroboh, maka kapal pun bisa karam.

Keberhasilan sebuah lembaga bukan hanya karena pemimpinnya baik, tetapi juga karena sinergi semua anggotanya. Kepemimpinan dan kebersamaan adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan—pemimpin yang hebat tanpa dukungan anggota akan kesepian dalam menakhodai kapal. Sebaliknya, anggota yang aktif tanpa arahan pemimpin akan kehilangan orientasi.

John C. Maxwell berkata, “Teamwork makes the dream work.” Hanya dengan kolaborasi yang harmonis, kapal bernama “lembaga” itu dapat mengarungi ombak perubahan, badai tantangan, dan akhirnya sampai pada tujuan besar yang diidamkan bersama.  Hal ini mengajarkan bahwa dalam lembaga, kelalaian atau penyimpangan satu bagian akan berdampak pada keseluruhan sistem. Jika satu unit atau individu melakukan pelanggaran tanpa ada yang mencegah, maka semua akan menanggung risikonya.

Penting untuk senantiasa menciptakan kesadaran kolektif dan akuntabilitas personal, di mana setiap individu harus memahami bahwa perannya bukanlah sesuatu yang sepele, melainkan bagian dari keseluruhan bangunan besar. Menjaga integritas, disiplin, dan tanggung jawab pribadi pada akhirnya bukan hanya demi diri sendiri, tetapi demi keberlangsungan dan keselamatan seluruh sistem.

Penumpang atas yang melihat dan mendengar rencana penumpang bawah dalam kisah di atas tetapi tetap membiarkannya adalah simbol dari ”apatisme sosial”. Mereka merasa aman karena berada “di atas,” padahal jika kapal karam, mereka juga akan tenggelam. Demikian pula dalam sebuah lembaga, ketika ada pembiaran pelanggaran, penyalahgunaan, atau kerusakan sistem, maka semua akan terkena imbasnya. Diamnya kita ketika melihat kesalahan sama saja dengan ikut andil dalam kehancuran.

Ingatlah bahwa apatisme itu bukan sikap netral, tetapi bentuk ikut serta dalam kerusakan. Membiarkan kesalahan sama dengan merestui kehancuran. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seseorang yang membiarkan kezaliman terjadi, sebenarnya sama dengan turut menjadi pelakunya.” Kalimat ini menguatkan pesan bahwa diamnya orang baik adalah jalan lempang bagi lahirnya bencana bersama.

Maka dalam sebuah lembaga maupun kehidupan bermasyarakat, setiap individu dituntut memiliki kepedulian sosial—berupa keberanian untuk menegur, dan kemauan menjaga kebaikan bersama, sebab tanpa itu, kapal besar yang bernama lembaga atau masyarakat akan karam bukan hanya oleh kesalahan pelaku, tetapi juga oleh diamnya orang-orang baik.

Al-Ghazali mengingatkan, “Kerusakan terbesar dalam masyarakat terjadi ketika manusia hanya mengejar kebutuhan dirinya tanpa memikirkan maslahat orang banyak.” Pesan ini menegaskan bahwa solusi jalan pintas yang egois pasti akan membawa kebinasaan kolektif. ”Wattaqû fitnatal lâ tushîbannalladzîna dhalamû mingkum khâshshah”. Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. (QS. Al-Anfal:25).

Sebagai catatan pinggir, bahwa sebuah lembaga ibarat kapal yang sedang berlayar, di mana keselamatannya hanya terjamin bila pemimpin mampu menakhodai dengan benar dan setiap anggotanya menjaga perannya dengan penuh tanggung jawab. Kelalaian sekecil apa pun, apatisme terhadap kesalahan, atau jalan pintas yang merusak akan mengakibatkan karamnya kapal bersama. Maka kepemimpinan yang bijak, sinergi anggota, serta kepedulian kolektif menjadi kunci agar kapal besar bernama lembaga tetap tegak mengarungi badai dan sampai pada tujuan bersama.[]

Baca Juga  Dari Rafats hingga Jidal: Spirit Ekologis Haji

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *