Nyongkolan dalam Tradisi Sasak: Antara Warisan Budaya dan Nilai Syariah

Lombok, sebuah pulau dengan panorama indah dan masyarakat yang religius, dikenal dengan kekayaan adat istiadatnya. Salah satu tradisi yang masih lestari di kalangan masyarakat Sasak adalah nyongkolan arak-arakan pengantin pasca akad nikah yang penuh warna dan kebanggaan.

Diiringi alunan gamelan, sorak-sorai kerabat, dan iringan gendang beleq yang menggema di sepanjang jalan, pasangan pengantin berjalan bersama keluarga besar. Bagi masyarakat Sasak, nyongkolan bukan sekadar pawai, tapi simbol kehormatan: bahwa anak mereka telah menikah secara sah dan terhormat.

Namun, di balik kemeriahan itu, suara-suara kritis dari para ulama mulai menguat. Sebagian di antaranya bahkan secara tegas mengharamkan praktik nyongkolan.

Kenapa Banyak Ulama Mengharamkan?

Menurut TGH. Zainuddin, salah satu ulama kharismatik di Lombok Tengah, “Nyongkolan ini niatnya baik, tapi praktiknya banyak yang keluar dari batas. Campur baur laki-perempuan, kadang sampai ada yang joget-joget, ini tidak sesuai dengan Islam.” Pandangan ini mewakili keresahan sebagian ulama terhadap fenomena ikhtilat (percampuran bebas antara laki-laki dan perempuan), serta pelanggaran etika dalam tradisi tersebut. Tak hanya itu, biaya besar yang dikeluarkan untuk nyongkolan juga dinilai sebagai bentuk mubazir, apalagi jika sampai memaksakan diri dan berutang demi gengsi. “Ini budaya yang perlu ditertibkan. Kalau tidak, bisa jadi beban sosial dan mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya,” tambahnya.

Tapi, Bukankah Ini Bentuk Iklan Nikah?

Di sisi lain, ada pula pandangan yang lebih lunak. Sebagian tokoh agama dan budayawan menilai bahwa nyongkolan bisa dilihat sebagai ‘i’lanun nikah iklan pernikahan yang dalam Islam justru disyariatkan. Tujuannya jelas: agar masyarakat mengetahui bahwa pasangan tersebut telah sah sebagai suami istri, sehingga terhindar dari fitnah dan syubhat. “Jika dilakukan dengan tertib, tanpa maksiat, dan penuh etika, nyongkolan justru bisa menjadi sarana silaturahmi dan syiar budaya,” ungkap Ustaz Lalu Ahmad, seorang dai muda yang aktif mengisi pengajian di wilayah Lombok Barat. Ia menambahkan, “Kita bisa kemas nyongkolan ini secara Islami. Musik bisa diganti dengan rebana, arak-arakan dipisah antara laki-laki dan perempuan, dan jangan sampai menutup jalan umum terlalu lama.”

Baca Juga  Spiritualitas Puasa

Solusi di Tengah Perdebatan: Realitanya, nyongkolan bukan sekadar seremoni. Ia adalah bagian dari identitas masyarakat Sasak. Maka, pendekatan yang bijak adalah bukan menolak mentah-mentah, tapi mereformasi. Beberapa desa sudah mulai menerapkan aturan nyongkolan islami: arak-arakan dibatasi hanya untuk keluarga inti, durasi dibatasi, dan pengiring musik diatur agar tidak mengundang keramaian berlebihan. Bahkan, ada yang mengganti prosesi arak-arakan dengan pengajian atau tasyakuran di masjid.

Dengan langkah seperti ini, tradisi bisa tetap lestari, dan nilai-nilai agama tetap terjaga. Inilah titik temu antara adat dan syariat—dua pilar yang membentuk jati diri masyarakat Lombok.

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *