Ekofeminisme lahir sebagai jawaban atas keterkaitan antara penindasan perempuan dan perusakan alam. Sejak istilah ini dicetuskan oleh Françoise d’Eaubonne pada 1974, gagasan ini menyoroti bahwa eksploitasi terhadap alam berjalan paralel dengan subordinasi perempuan dalam tatanan sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pandangan dunia yang antroposentris dan maskulin dinilai melanggengkan pola pikir dualistik dan hierarkis: alam dianggap “feminim” untuk dikuasai, sementara budaya dan akal budi diasosiasikan dengan maskulinitas yang dominan.
Sebagai salah satu arus feminisme gelombang ketiga, ekofeminisme berfokus pada kerusakan ekologis dan penindasan perempuan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Dengan menghubungkan emansipasi perempuan dan pelestarian lingkungan, para pemikir ekofeminis berharap terwujudnya dunia yang lebih setara dan berkelanjutan.
Secara global, sejumlah peristiwa ikonik kerap dijadikan contoh semangat ekofeminisme. Gerakan Chipko di India pada 1970-an, misalnya, memperlihatkan bagaimana perempuan desa memeluk pohon-pohon di Himalaya untuk mencegah penebangan liar. Aksi non-kekerasan ini lahir dari kesadaran bahwa hutan yang gundul mengancam kelangsungan hidup keluarga dan komunitas mereka.
Demikian pula, di Kenya aktivis Wangari Maathai menggerakkan ribuan perempuan menanam pohon melalui Gerakan Sabuk Hijau, menghubungkan pemberdayaan perempuan dengan konservasi alam. Contoh-contoh ini menunjukkan potensi sinergi antara perjuangan lingkungan dan gender: perempuan di garis depan advokasi ekologis dengan caranya sendiri menantang budaya patriarki yang eksploitatif.
Perempuan Kendeng terlibat dalam aksi massa menolak eksploitasi Pegunungan Kendeng oleh pabrik semen. Di Indonesia, semangat serupa tampak dalam gerakan-gerakan akar rumput. Salah satu yang paling dikenal adalah perjuangan “Kartini Kendeng” di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Sejak pertengahan 2010-an, ibu-ibu petani di Kendeng konsisten menolak pendirian pabrik semen yang mengancam sumber air dan lahan mereka. Gerakan ini unik karena dipelopori kaum perempuan yang sadar betul ketergantungan hidup mereka pada alam.
Dalam aksi teaterikal pada April 2016, sembilan perempuan Kendeng menuangkan semen basah untuk membekukan kaki mereka di depan Istana Merdeka – sebuah simbol dramatis bahwa keputusan pemerintah “mencor” kaki mereka, mengikat masa depan mereka bersama alam yang terbelenggu industri semen. Para srikandi Kendeng ini mengusung slogan “Ibu Bumi wis Maringi, Ibu Bumi dilarani,” (Ibu Bumi telah memberi, Ibu Bumi disakiti) untuk mengingatkan bahwa bumi dipersonifikasikan layaknya sosok ibu yang wajib dihormati dan dilindungi, bukan dieksploitasi.
Gerakan Kendeng, sebagaimana dicatat para pengamat, adalah cerminan ekofeminisme di Nusantara: protes terhadap ekspansi kapital yang merusak lingkungan sekaligus sebuah gugatan terhadap budaya patriarki yang mengabaikan suara perempuan.
Namun, meski idealisme ekofeminisme menggugah, realitas penerapannya jauh dari mulus. Baik di ranah global maupun Indonesia, konsep ini memicu polemik dan kritik tajam. Banyak pihak mempertanyakan apakah ekofeminisme benar-benar membawa perubahan konkret menuju kesetaraan gender dan kelestarian alam, atau justru terperangkap dalam romantisisme naif. Sejumlah feminis gelombang ketiga dan pemikir postmodern, misalnya, mengkritik ekofeminisme awal sebagai berbau esensialisme – anggapan bahwa perempuan memiliki “kodrat” alami yang lebih dekat dengan alam.
Pada 1980-an muncul keretakan dalam gerakan feminis terkait relasi perempuan dan alam: ide-ide para ecofeminist kala itu dinilai sebagian kalangan justru mengukuhkan stereotip lama bahwa wanita identik dengan sifat alamiah, emosional, dan keibuan, sementara laki-laki konon rasional dan berbudaya. Kaum feminis poststrukturalis menolak dikotomi usang tersebut, menegaskan bahwa konsep “alam” maupun “perempuan” sangat dipengaruhi konstruksi sosial.
Bahkan, dalam manifestasi yang agak satire, ada pemikir yang sampai menyatakan bahwa “jungle ride di Disneyland mungkin lebih nyata bagi banyak orang ketimbang hutan sungguhan” – sindiran pedas bahwa pandangan kita tentang alam bisa begitu terdistorsi oleh budaya modern. Ujaran skeptis semacam ini menggambarkan betapa sebagian orang memandang sinis gagasan ekofeminisme, seolah-olah itu tak lebih dari sekadar “perempuan memeluk pohon” sambil berkhayal.
Kritik juga datang dari dalam tubuh gerakan ekofeminisme sendiri. Kaum feminis sosialis dan ekofeminis sosial menyoroti bahwa hubungan antara penindasan gender dan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari struktur ekonomi-politik yang lebih luas. Mereka cenderung menggunakan pendekatan materialis, menunjukkan bagaimana kapitalisme patriarkal menciptakan kondisi yang menindas perempuan dan alam sekaligus. Bagi kalangan ini, akar masalahnya bukan sekadar sikap manusia terhadap alam, tetapi logika pasar dan pencarian laba yang menempatkan perempuan dan alam sebagai komoditas untuk dieksploitasi.
Ariel Salleh, filsuf feminis asal Australia, memadukan perspektif ekologi, feminisme, dan sosialisme dalam kritiknya terhadap kapitalisme. Ia berpendapat bahwa kita perlu melihat kehidupan sebagai suatu metabolisme nilai – hubungan timbal balik yang saling menghidupi antara manusia, kerja, dan ekosistem. Pandangan Salleh sejalan dengan prinsip ekofeminisme: kehidupan itu siklik, saling merawat laksana metabolisme tubuh dengan alam, tidak bisa diperas dalam rantai pasok komoditas demi akumulasi kapital semata.
Kapitalisme yang buta terhadap prinsip saling merawat ini akhirnya mengeksploitasi manusia dan alam secara bersamaan. Kaum ekofeminis berhaluan sosialis berargumen, tanpa mengubah struktur ekonomi yang timpang, seruan harmoni perempuan dan alam akan tumpul. Mereka mengkritik sebagian ekofeminisme budaya – yang kerap menyanjung spiritualitas feminin atau mitos dewi bumi – sebagai melenceng dari tujuan emansipasi material. Alih-alih membebaskan, glorifikasi sifat “alami” perempuan dikhawatirkan justru kembali menempatkan perempuan dalam kotak stereotip tradisional yang pasif dan domestik.
Tokoh ekofeminis terkemuka Vandana Shiva juga kerap dikutip dalam perdebatan ini. Shiva, ilmuwan dan aktivis dari India, menyoroti bagaimana model pembangunan modern yang reduksionis – memandang alam sekadar objek eksploitasi – membawa dampak buruk bagi perempuan. Dalam kritik ekofeminisnya terhadap industri pariwisata massal di Bali, Shiva mengajukan gagasan prinsip feminin sebagai antitesis dari paradigma maskulin yang eksploitatif.
Ia mendorong pemulihan nilai-nilai “feminin” yang menghargai kehidupan, empati, dan keberlanjutan, misalnya melalui kearifan lokal komunitas, untuk menggantikan dominasi pendekatan pembangunan yang rakus. Perspektif ini sejalan dengan pandangan banyak ekofeminis di Global South: bahwa solusi krisis ekologis dan ketimpangan gender terletak pada penghargaan terhadap pengetahuan lokal, pengalaman perempuan, dan pengakuan batas-batas alam.
Meski demikian, pandangan Shiva pun tak luput dari kritik. Kalangan skeptis menilai konsep “prinsip feminin” berisiko terdengar esensialis – seakan-akan hanya kualitas feminin yang dapat menyelamatkan lingkungan – padahal idealnya seluruh manusia, apa pun gendernya, harus mengubah paradigma demi kelestarian alam.
Contoh lain yang mengundang refleksi adalah kasus perjuangan perempuan Bali menolak reklamasi Teluk Benoa. Saras Dewi, akademisi dan aktivis lingkungan di Bali, mencatat adanya ironi dalam gerakan berbasis adat dan spiritualitas lokal tersebut. Di satu sisi, peran perempuan diagungkan secara simbolis – misalnya lewat ritual tari Sang Hyang Dedari di mana gadis-gadis muda diposisikan sebagai jelmaan dewi bumi demi “menyeimbangkan” alam. Ini menunjukkan kuatnya unsur ibu bumi dalam kearifan lokal: alam dipersonifikasikan sebagai sosok perempuan sakral yang harus dijaga.
Namun di sisi lain, Saras Dewi mengungkapkan realitas pahit: dalam kehidupan sosial sehari-hari, perempuan Bali masih terpinggirkan, menghadapi akses pendidikan yang rendah, maraknya kekerasan seksual, hingga belenggu sistem kasta. Ada ambiguitas di sini – alam dipuja bagaikan ibu atau dewi, tetapi para perempuan nyata tetap tertindas. Jika feminisme tidak disisipkan secara sadar ke dalam gerakan lingkungan berbasis adat, ada risiko perempuan hanya dijadikan simbol tanpa otonomi.
Saras Dewi menawarkan solusi menarik: revitalisasi budaya lokal harus dibarengi dekonstruksi nilai-nilai patriarkal di dalamnya, sehingga adat dan spiritualitas tetap kompatibel dengan penghargaan hak asasi dan kesetaraan perempuan. Gagasan ini pada intinya adalah ajakan autokritik: gerakan lingkungan yang melibatkan perempuan perlu memastikan bahwa mereka benar-benar menjadi subjek perjuangan, bukan sekadar “perkakas” budaya.
Pemikiran Saras Dewi sejalan dengan refleksi para feminis kontemporer lainnya. Penulis dan aktivis Abby Gina, dalam Jurnal Perempuan, mengingatkan bahwa kita harus jeli terhadap “feminisasi alam” dan “naturalisasi perempuan” dalam wacana ekologi. Menggambarkan perempuan seolah-olah selaras alami dengan bumi, tanpa kritisisme, dapat menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, strategi itu bisa memperkuat argumen moral untuk melindungi lingkungan. Namun di sisi lain, ia menyimpan potensi menjerat perempuan ke peran lama yang domestik dan melanggengkan seksisme. Bila perempuan diidentikkan secara mutlak dengan alam (misalnya dipuji karena “naluri mengasuh” lingkungan), hal itu bisa memperkukuh dikotomi femininitas-maskulinitas serta alam-budaya yang bias patriarkal.
Alih-alih membebaskan, argumen yang tidak kritis ini dikhawatirkan justru meneguhkan kembali otoritas laki-laki atas perempuan dan alam. Maka, menurut Abby, analogi perempuan dan alam harus dikaji secara ketat – jangan sampai niat merayakan “keistimewaan” perempuan berbalik menjadi alat yang mengekang mereka sendiri.
Skeptisisme terhadap ekofeminisme juga muncul dalam wacana akademik Barat. Janet Biehl, seorang ekolog sosial dan mantan penggiat ekofeminisme, terang-terangan menyatakan kekecewaannya. Dalam bukunya Rethinking Ecofeminist Politics (1991), Biehl menilai banyak ide ekofeminis telah ternodai oleh unsur “irasional” dan pseudo-spiritual yang justru menjauh dari prinsip feminisme egaliter. Ia bahkan menyebut “kata ekofeminisme kini begitu sarat irasionalitas, sampai ia tak lagi melihat proyek ini menjanjikan”.
Biehl menuduh beberapa ekofeminis terlalu merayakan metafora “perempuan = alam” padahal itu sendiri merupakan konstruksi reaksioner yang membatasi perempuan dalam peran tradisional. Menurutnya, membangun gerakan di atas metafora yang diyakini palsu (bahwa perempuan secara kodrati lebih ’alami’ atau ’dekat alam’) menimbulkan pertanyaan moral serius. Apakah adil “menipu” perempuan agar menerima peran sebagai penyelamat alam semata-mata karena jenis kelaminnya? Biehl menganggap pendekatan semacam itu sebagai bentuk manipulasi yang justru mengkhianati cita-cita feminisme.
Ia sendiri akhirnya memilih menjauh dari label ekofeminisme dan lebih mengidentifikasikan diri pada gerakan ekologi sosial ala Murray Bookchin yang anti-hirarki secara luas. Baginya, pembebasan perempuan dan penyelamatan lingkungan harus diperjuangkan dalam kerangka melawan segala bentuk hierarki – tidak hanya patriarki, tapi juga kapitalisme, rasisme, hingga negara otoriter. Biehl skeptis terhadap pendekatan yang mengistimewakan perempuan sebagai “penjaga alam” khusus, karena hal itu dipandangnya parokial dan berpotensi memecah solidaritas universal manusia dalam menghadapi krisis ekologis.
Lantas, di manakah posisi ekofeminisme kini, terutama di Indonesia? Kenyataannya, meski gagasan ini menginspirasi banyak gerakan, tantangan untuk mencapai realita kesetaraan gender dan keadilan ekologis masih besar. Perempuan di Indonesia tetap menghadapi beban berlapis dalam isu lingkungan. Misalnya, ketika terjadi bencana ekologis atau kelangkaan sumber daya, perempuanlah yang kerap paling terpukul – entah karena peran tradisional mereka sebagai penyedia air dan pangan keluarga, atau karena akses mereka ke sumber daya dan pengambilan keputusan lebih terbatas dibanding pria. Namun ironisnya, suara perempuan sering tersisih dalam forum formal penentuan kebijakan lingkungan.
Data global menunjukkan partisipasi perempuan pada level pengambil keputusan lingkungan masih timpang. Hingga tahun 2020, hanya sekitar 15% posisi menteri di sektor lingkungan di dunia yang dijabat oleh perempuan. Di 193 negara, proporsi keterlibatan perempuan sebagai kepala kementerian sumber daya alam (seperti kehutanan atau air) bahkan lebih kecil lagi.
Kondisi serupa tercermin di Indonesia: jarang ada perempuan memimpin kementerian strategis bidang lingkungan atau energi, dan keterwakilan perempuan dalam proses konsultasi publik proyek-proyek pembangunan ekologis pun minim. Ini menunjukkan jurang antara visi ekofeminisme dan kenyataan struktur kekuasaan. Kesetaraan, dalam arti berbagi hak dan pengaruh, masih jauh dari realisasi.
Meski demikian, bukan berarti ekofeminisme kehilangan relevansi. Justru di tengah krisis iklim dan kerusakan lingkungan yang kian mendesak, banyak pihak kembali melirik kearifan dari gagasan ini. Nilai-nilai dasar ekofeminisme – seperti interdependensi, empati lintas spesies, dan kritik terhadap budaya dominasi – makin diakui penting untuk merombak paradigma pembangunan masa kini. Bahkan pemimpin spiritual dunia seperti Paus Fransiskus secara eksplisit mengaitkan kerusakan lingkungan dengan kerakusan kapitalisme, selaras dengan kritik ekofeminisme terhadap logika eksploitasi.
Di Indonesia, generasi muda pegiat iklim, baik perempuan maupun laki-laki, banyak mengusung semangat keadilan gender dalam advokasi lingkungan mereka. Istilah keadilan iklim kini jamak disandingkan dengan keadilan gender, mengingat perempuan sering menjadi kelompok paling rentan sekaligus agen perubahan utama dalam menghadapi krisis ekologis. Gerakan seperti #WomenClimateJustice, misalnya, menyerukan bahwa solusi iklim harus peka gender dan memberdayakan perempuan. Ini mengindikasikan suatu evolusi: esensi ekofeminisme diadaptasi menjadi kerangka yang lebih inklusif dan interseksional, tidak lagi melulu melihat “perempuan” sebagai kategori tunggal, melainkan memperhatikan perbedaan kelas, etnis, usia, hingga komunitas adat.
Pada akhirnya, autokritik terhadap konsep ekofeminisme justru meneguhkan kedewasaan wacana ini. Gagasan yang baik harus berani dikritik, dibongkar, lalu dibangun ulang secara lebih tangguh. Ekofeminisme mengajarkan kita bahwa memperjuangkan kesetaraan gender tidak bisa dipisahkan dari perjuangan menjaga bumi, sebab akar penindasan keduanya kembar.
Namun ekofeminisme juga mengingatkan kita untuk tidak terpaku pada slogan semata. Ia menuntut kita bercermin: sudahkah upaya kita membela lingkungan turut memberdayakan perempuan sebagai subjek yang setara? Ataukah tanpa sadar justru membebani perempuan dengan “tugas moral” tambahan sebagai penyelamat alam? Pertanyaan-pertanyaan ini penting dijawab di ranah kebijakan maupun gerakan sosial.
Realitas kesetaraan yang diperjuangkan ekofeminisme bukan sekadar tentang memberikan peran lebih besar pada perempuan dalam isu lingkungan, tetapi memastikan transformasi mendasar pada cara pandang manusia terhadap alam dan terhadap sesamanya.
Ekofeminisme, dengan segala polemiknya, ibarat sebuah cermin kritis. Di dalamnya kita melihat harapan akan dunia yang adil gender dan ramah lingkungan, tapi juga bayangan bias dan kontradiksi yang perlu diatasi. Polemik dan penolakan terhadap konsep ini – mulai dari tudingan esensialis hingga anggapan bahwa ia utopis – justru menjadi bahan bakar untuk terus menyempurnakan gagasan.
Selama krisis ekologis dan ketidakadilan gender masih nyata, semangat ekofeminisme akan tetap relevan, meski barangkali dalam nama atau bentuk yang berbeda. Yang jelas, perjuangan merajut kesetaraan dan kelestarian harus berjalan beriringan. Seperti dikatakan para perempuan Kendeng: Ibu Bumi telah memberi kita hidup, maka jangan biarkan ia terus terluka. Hanya dengan merawat alam sambil memperjuangkan keadilan bagi sesama manusia – perempuan maupun laki-laki – kita bisa mendekati dunia yang dicita-citakan ekofeminisme.[]

Penulis/Akademisi





