“Dijual: Iman, Siapa Mau Beli?”: Sinetron Para Pencari Tuhan

“Dijual: Kelas sosial, siapa mau beli?” itu ialah salah satu kredo Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya Affair: Obrolan Urban. Kredo itu muncul dalam esainya Wacana Kasihan yang menyoroti tumbuhnya kelas menengah dan ekonomi baru di Jakarta. Kelas sosial ini dibombardir sedemikian rupa oleh iklan sehingga membentuk gaya hidup baru masyarakat urban.

Seno berargumen, pertumbuhan ekonomi lewat daya beli maupun hutang luar negeri menjadi semacam “pembentuk” gaya hidup mentereng sebagai representasi kisah sukses. Jelas, bagi masyarakat urban representasi itu begitu berharga, gaya hidup akhirnya menjadi ideologi – meminjam istilah Seno – sedangkan sukses, akhirnya menjadi tanda bukan tujuan akhir, yang saya kira sebuah “kepalsuan” seperti ideologi yang dimaksud Seno.

Lain dari itu, masih dalam ranah masyarakat urban. Wacana demikian juga dialami oleh Asrul (Asrul Dahlan) dalam sinetron Para Pencari Tuhan. Kali ini, bukan soal gaya hidup mentereng khas anak-anak urban. Tapi ini soal kegetiran hidup. Hidup di bawah garis kemiskinan yang merong-rong setiap saat dengan secuil kuasa untuk menghindar.

Kredo yang dimaksud Asrul ialah “Dijual: Iman, siapa mau beli?” Kredo yang menggelikan sekaligus membuat kita merefleksikan makna iman bagi manusia yang mendaku diri beriman. Terus, bagaimana transaksi iman itu berlangsung? Itulah yang membuat sinetron ini menarik untuk dikaji (lagi).

Dalam wacana-wacana keislaman, iman itu ialah proyek yang belum selesai dan harus terus-menerus dicari bentuk terbaiknya. Tugas si pemilik imanlah yang membentuknya. Seperti kata Ahmad Wahib, aku bukan Wahib, aku adalah me-Wahib. Aku mencari dan terus-menerus mencari, menuju dan menjadi Wahib. Ya aku bukan aku. Aku adalah meng-aku. Yang terus-menerus berproses menjadi aku. Begitulah sederhananya gambaran iman itu.

Melihat kelas sosial Si Asrul yang “sakaratul maut” secara ekonomi, menjadi mungkin bahwa iman juga bisa menjadi barang jualan apabila tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk dijual demi sesuap nasi.

Dalam sinetron tersebut, Asrul yang berniat menjual imannya karena ia merasa tak ada lagi barang berharga yang bisa dijual untuk menyambung hidupnya. Ia merasa bahwa satu-satunya yang berharga dalam hidupnya ialah iman yang ia miliki (peluk). Sontak, pernyataan itu membuat pemeran yang lain merasa bertanggung jawab untuk “menyelamatkan” iman Si Asrul.

Baca Juga  Sufisme Bima: Tradisi Spiritual Islam Fitua (Sebuah Pengantar)

Pemeran yang lain (Ustaz Ferry dan istrinya) akhirnya memberikan uang kepada Si Asrul, sebagai ganti agar Si Asrul tidak menjual imannya dengan alasan iman bukanlah barang dagangan. Namun, jika kita kaitkan antara kredo Seno di atas dengan kredo Si Asrul, menurut saya, memiliki keterkaitan yang erat. Bahwa iman yang dibentuk oleh orang beriman  salah satunya dipengaruhi oleh kelas sosial dan kondisi yang dialami oleh orang yang beriman.

Melihat kelas sosial Si Asrul yang “sakaratul maut” secara ekonomi, menjadi mungkin bahwa iman juga bisa menjadi barang jualan apabila tidak ada lagi yang bisa diharapkan untuk dijual demi sesuap nasi. Menjadi korelatif, bahwa kelemahan secara ekonomi berdampak juga bagi lemahnya iman yang sedang dibentuk manusia. Saya kira, pernyataan tersebut berlaku juga kebalikannya.

Kondisi yang dialami Asrul ini menjadi wacana sambung terhadap sebuah hadis yang menyatakan kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Bahwa kemiskinan membuat orang menjual imannya. Masalahnya sekarang, apa iya iman bisa dibeli? Atau bisa dimonetisasi untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah agar nasib si pemilik iman tidak seperti Asrul?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut memang agak rumit. Asrul yang ingin menjual imannya pun tidak bisa menjawabnya saat ditanya Bang Jack (Deddy Mizwar). Namun, menurut saya, untuk memonetisasi iman an sich mungkin sulit diwujudkan, tetapi untuk memonetisasi ekspresi iman menurut saya sudah banyak dilakukan.

Jualan ekspresi iman (kesalehan dan moralitas) di ruang publik tak hanya menjangkiti kelas sosial rendah seperti Asrul yang hanya mengharap sesuap nasi. Namun, perdagangan ekspresi iman ini sudah lintas kelas sosial, lintas iman, dan lintas negara. Semuanya merasa berkepentingan dan merasa mendapat benefit dengan jualan ekspresi iman ini.

Baca Juga  Fikih Komunikasi

Media sosial menjadi arena subur bagi terbentuknya pasar ekspresi iman ini. Ceruk-ceruk pasar penjualnya yakni mereka yang ingin mendapatkan kesalehan secara mudah, gampang, dan “bergaransi” untuk mendapat simpati publik. Terus pembelinya, ya, mereka yang setiap hari dibombardir media sosial dan iklan-iklan kesalehan tiada batas. Kondisi ini diperparah, dengan rendahnya sikap kritis dari si pembeli terhadap barang dagangan itu.

Sebagai seorang penjual, tentu mereka mencitrakan diri seideal dan semaksimal mungkin. Citra diri yang ideal konon sudah menjadi gaya hidup mereka sehari-harinya untuk tampil di ruang publik. Padahal itu hanyalah tampilan luarnya saja. Kita tidak tahu dalamnya seperti apa.

Seperti yang dikhawatirkan Seno dalam tulisannya di atas, saya juga merasa khawatir bahwa semua (semoga saja tidak) jualan-jualan ekspresi iman di media sosial ialah representasi jualan kosong. Yang bukan membawa iman bagi kemaslahatan malah bisa membawa ekspresi iman pada kemudaratan dengan disusupi “iklan” klaim kebenaran tunggal yang memapankan satu kelompok dengan menganggap salah kelompok lain.

Oleh karena itu, sebagai pembeli, sikap kita harus tetap kritis. Minimal bisa menyaring, menahan, dan menawar lagi jualan-jualan ekspresi iman yang bertebaran di belantara media sosial yang ada. Agar ekspresi iman dan iman itu sendiri tetap menjadi proyek jangka panjang yang terus dibentuk pada bentuk terbaiknya.

Oiya, hati-hati, jualan seperti di atas banyak dilakukan waktu menjelang Pemilu seperti sekarang ini.[]  


Ilustrasi: PPT

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *