Nahdhatul Ulama dan Gerakan Inklusif di Indonesia

TULISAN ini adalah refleksi penulis terhadap presentasi KH. Ulil Abshar Abdallah, atau yang biasa dikenal dengan Gus Ulil, pada acara International Conference and AMAN Assembly (14-17 Oktober 2023) di Banda Aceh, Indonesia.  Ada catatan penting sekaligus kritik terhadap presentasi itu. Konferensi itu sendiri mengusung tema “Religious inclusion and peacebuilding in the world: the perspective of Muslims”

Gus Ulil menunjukkan peristiwa atau momentum sejarah serta aktor-aktor kunci yang menjadi bukti inklusivitas pada gerakan dan tubuh NU. Namun, Gus Ulil lebih menekankan pada konteks gerakan struktural dan tokoh kiai, tanpa memberikan penjelasan bagaimana gerakan kultural dan keterlibatan tokoh-tokoh perempuan dan isu gender di dalam topik inklusivitas tersebut.  

Gus Ulil  (sebagai representasi NU) bersama dengan Prof. Syafiq Mughni (dari Muhammadiyah) dan Prof. Nina Nurmila (perwakilan Universitas Islam di Indonesia dan aktivis perempuan) mengisi plenary session 1.

Sesi ini bertujuan menemukan dasar bersama (common ground) dalam upaya pembentukan hubungan antara ektern dan intern umat beragama yang semakin positif dan produktif. Ketiga pembicara menceritakan pelajaran baik dan bukti kesuksesan dari masing-masing organisasinya untuk topik di atas.

Gus Ulil yang mengisi secara online memulai presentasinya dengan menjelaskan bahwa NU bersama-sama dengan Muhammadiyah adalah organisasi sosial-keagamaan  di Indonesia yang telah lama bekerja sama dan saling mengisi pada isu inklusivitas beragama (religious inclusion) dan kehidupan sosial (social inclusion). Aspek penting yang diusung oleh kolaborasi itu  adalah menemukan kesepakatan bersama  dan kesatuan visi pada isu inklusivitas. Dalam bahasa agama, common ground tersebut diistilahkan sebagai kalimatun sawa’

Ada dua momen krusial yang menunjukkan keterlibatan penuh, nyata, dan sistematis dari organisasi NU pada isu inklusivitas beragama. 

Pertama,  terlihat pada keputusan Muktamar NU yang ke-27 pada tahun 1984 di Situbondo ketika NU dengan lantang dan tegas menerima Pancasila (dasar negara) sebagai asas tunggal. NU adalah organisasi pertama yang mendeklarasikan Pancasila sebagai satu-satunya dasar berorganisasi. Maka sejak saat itu, asas organisasi berubah dari Islam menjadi Pancasila. NU melihat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam sebagai agama dan butir-butir pengamalan Pancasila sebagai dasar negara.   

Batas-batas negara ini juga seharusnya lebur ketika sesorang menemukan common-ground yang lebih mendasar lagi yaitu hubungan karena menganggap orang lain juga manusia yang memerlukan perlakuan yang sama sebagaimana yang seseorang inginkan.

Sebelum diputuskan secara formal pada saat muktamar tersebut sebenarnya pada tanggal 21 Desember 1983 penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal telah dideklarasikan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama di Pesantren Salafiyyah Syafiiyyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur.

Baca Juga  Menguji Gagasan Anies Baswedan

Kedua, menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta pada tahun 1989 (5 tahun kemudian) KH. Ahmad Shiddiq, salah seorang tokoh terkemuka NU, memperkenalkan trilogi Ukhuwah (persaudaraan) yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaran berdasarkan Islam), ukhuwah wathaniyyah (persaudaraan berdasarkan kebangsaan), ukhuwah basyariyah (persaudaraan berdasarkan kemanusiaan).

Menariknya, Gus Ulil mengartikan kata ukhuwah dengan istilah brotherhood and sisterhood. Pada poin ini, Gus Ulil ingin menandaskan bahwa persaudaraan adalah istilah yang melampaui perbedaan gender sebagaimana keterbatasan yang dimiliki oleh Bahasa Inggris yang memang pada banyak hal memiliki gender-segregated terms.

Trilogi ukhuwah ini sangat penting untuk meletakkan framework yang lebih operasional untuk menerjemahkan makna penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal yang dilakukan pada periode sebelumnya. 

Tiga level ukhuwah ini ibarat tiga lingkaran berlapis yang di satu sisi mengakui identitas masing-masing orang tetapi di sisi lain terus terbuka dan memperluas ruang untuk bersosialisasi dan saling membangun.

Ikatan emosional berdasarkan agama dan keyakinan memang harus ada, tetapi relasi perasaan dan kesamaan tindakan tidak hanya terbatas di situ.  Karena di luar identitas yang spesifik-ideologis ada juga identitas lain yang lebih luas dan empiris misalnya hubungan berdasarkan citizenship.

Batas-batas negara ini juga seharusnya lebur ketika sesorang menemukan common-ground yang lebih mendasar lagi yaitu hubungan karena menganggap orang lain juga manusia yang memerlukan perlakuan yang sama sebagaimana yang seseorang inginkan.

Di samping dua momen historis tersebut, Gus Ulil menyampaikan peran-peran tokoh kunci di NU yang pernah menjadi Ketua Umum Tanfidziyyah.  Tanpa menafikan peran tokoh kunci yang lain, tiga nama disebutkan yaitu KH. Abdurrahman Wahid, KH. Hasyim Muzadi, dan KH Said Agil Sirodj. Mereka bertiga adalah ketua Tanfidziyyah PBNU berturut-turut.

Gus Dur, panggilan populer bagi KH. Adurrahman Wahid, telah memperkenalkan referensi baru bagi generasi NU dengan meng-install buku-buku karya pemikir muslim dari dunia Islam, misalnya Hasan Hanafi dari Mesir, Abid al Jabiri dari Marokko, Muhammad Tahir bin ‘Asyur dari Tunisia.

Di momen ini, saya menunggu Gus Ulil menyebut juga karya-karya tokoh feminis muslim yang juga diperkenalkan oleh Gus Dur dan memberikan pengaruh yang luar biasa bagi pemikiran pembaruan keagamaan di Indonesia misalnya Fatimah Mernissi dari Marokko, Rifat Hassan dari Pakistan, dan Asghar Ali Engineer dari India.

Baca Juga  Ketika Pemimpin Kehilangan Akal

Saya kira penting untuk menyebut secara khusus gerakan feminisme muslim sebagai bagian penting dari isu dan gerakan inklusivisme di Indonesia maupun dalam tubuh Nahdhatul Ulama. Apalagi pada forum yang diinisisasi oleh AMAN di mana aspek keterlibatan perempuan menjadi trademark-nya.

Forum tersebut juga terdiri dari banyak sekali aktivis perempuan dari perwakilan 21 negara. Oleh karenanya, pembicara juga perlu mengenali konteks sebuah forum untuk melihat isu apa yang perlu perlu digarisbawahi dalam presentasinya.

Dengan tetap memberikan apresiasi yang tinggi terhadap kelihaian Gus Ulil menguraikan sejarah keterlibatan NU di dalam gerakan inklusivisme, kritik saya tersebut di atas juga adalah aspek substantif yang perlu diperhatikan.

Dalam forum apa pun, keterlibatan perempuan perlu di-mainstream-kan karena menyuarakan pengalaman perempuan  adalah aspek inklusivisme yang paling penting di tengah arus konservatisme yang terus menguat dan patriarki yang masih enggan berujung.

Selanjutnya, disampaikan juga peran strategis dan substantif yang dimainkan oleh KH. Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj di dalam membumikan konsep Islam Rahmatan lil ‘Alamin dengan program-program moderasi beragama pada kepengurusannya masing-masing. 

Karena keterbatasan waktu, presentasi Gus Ulil berhenti di situ. Seandainya saja gerakan inklusivisme yang diinisiasi secara bottom up oleh warga NU misalnya pada sejarah panjang gerakan dan diskusi inklusivitas gender yang berpuncak pada KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) bisa sedikit disinggung, maka presentasi itu menjadi lebih lengkap.

Selain gerakan dalam level struktural, penting juga untuk memperkenalkan bahwa secara kultural banyak aktivitas dan program dalam tubuh NU yang bisa diklaim sebagai bagian dari gerakan inklusif. Hal ini untuk menghalau keraguan banyak pihak termasuk peneliti luar Indonesia yang mempertanyakan bagaimana pemahaman wacana kontemporer pada level elite NU bisa tercermin pada level grass root.

Saya kira, KUPI  adalah salah satu succees stories yang bisa menjadi bukti nyata dari gerakan kultural yang inklusif dan mengusung wacana inklusivitas.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *