SAYA adalah seorang Puja Kesuma alias Putri Jawa kelahiran Sumatera yang tidak memahami dan tidak mengenal siapa orang Jawa yang sebenarnya kecuali dari bacaan-bacaan buku sejarah. Saya baru menyaksikan secara langsung dan mempelajari budaya Jawa ketika kembali ke kampung halaman nenek moyang di Pulau Jawa untuk melanjutkan studi S2 di Yogyakarta pada tahun 1999.
Sudah lama sebenarnya pertanyaan demi pertanyan memuncak di benak saya. Sejak kecil saya menyaksikan arus kedatangan orang Jawa sebagai transmigran ke Sumatera. Apa yang terjadi sebenarnya? Mengapa orang-orang Jawa yang datang merantau ke pulau Sumatera sebagian besar menjadi buruh karet, buruh kelapa sawit, penjual bakso dorong, penjual mie ayam dorong, penjual siomai dorong, penjual es tung-tung dan tukang becak bagi laki-laki? Menjadi penjual jamu gendong, pembantu rumah tangga, dan tukang pijit atau pun urut bagi perempuan?
Sebagai seorang yang merasa berasal dari keturunan darah Jawa, betul-betul saya tidak rela melihat keadaan itu. Apalagi ketika mereka disebut dengan panggilan tidak hormat dengan nada melecehkan. Saya mendengar dan menyaksikan bahwa jika ada seorang laki-laki yang konon dianggap berasal dari Jawa dipanggil dengan sebutan Pa’e sambil ditertawakan, dan orang yang dipanggil itu tidak paham dan tetap jalan sambil terbungkuk-bungkuk dengan sopannya. Sedangkan jika ada seorang perempuan yang dianggap berasal dari Jawa dipangggil dengan sebutan Bu’de atau Bu’de jamu dengan nada sinis dan merendahkan.
Sejak memulai pendidikan sarjana pada tahun1988, saya sempat berontak dan menamakan diri sebagai Putri Pendobrak. Saya tidak mau kalah prestasi dengan teman-teman yang lain, baik perempuan maupun laki-laki. Saya selalu bercita-cita menjadi orang nomor satu dalam hal meraih prestasi belajar sejak dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Akhirnya saya berhasil mendapatkan pekerjaan yang lumayan bergengsi yaitu sebagai dosen tetap Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung.
Pada suatu hari, tahun 2013, saya mendapatkan kiriman pesan elektronik (SMS) dari seorang perempuan. Dengan percaya diri maksimal ia menulis: “Kamu harus tahu diri bahwa dirimu itu sangat tidak layak menjadi seorang istri dari suamimu yang dosen dan doktor. Dia seorang yang sangat terhormat dan berilmu tinggi. Saya kasihan melihat nasib suamimu itu.” Saya pun sempat heran, apa makna kata-kata tersebut?
Saya sempat berpikir, bisa jadi karena saya seorang Puja Kesuma, dan dalam tradisi di daerah asal suami saya bahwa perempuan Jawa dinilai lebih rendah dari perempuan asli Sumatera. Sampai hari ini saya masih tetap penasaran, karena orang yang mengirim SMS kepada saya itu hanya bermodalkan ijazah SMA dan menjadi seorang karyawan di sebuah kantor Kementrian Agama di wilayah tempat tinggalnya. Ini bukan dalam rangka saya sedang ingin membandingkan atau pun merasa lebih tinggi. Di mana saya adalah seorang PNS Dosen di sebuah Universitas Islam Negeri yang pada saat itu sedang menempuh pendidikan Program Doktor di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dalam kisah yang lain, ada seorang laki-laki asli Lampung-Sumatera menikah dengan seorang perempuan Jawa saat tinggal di pulau Jawa. Ketika kembali ke kampung halaman ia mesti menikah sekali lagi dengan gadis asli Lampung dari kampung halamannya di Lampung-Sumatera. Alasannya agar ia tidak terbuang dan dikeluarkan dari adat istiadat dalam keluarga besarnya. Maka ia pun menerima keputusan keluarga besarnya, praktik poligami pun ia lakukan demi menghormati adat dan tradisi daerah itu.
Begitulah kisah-kisah sebagian besar kehidupan orang Jawa yang menjadi perantau di pulau Sumatera yang menjadi pengamatan saya selama ini. Beda sekali ketika saya bertempat tinggal di Pulau Jawa sebagai mahasiswa pendatang di Yogyakarta dan menjadi anak kos. Orang-orang asli Jawa justru sangat menghormati para pendatang dengan panggilan Jeng kepada saya.
Penduduk asli pulau Jawa sangat meyakini bahwa orang-orang Sumatera yang datang untuk melanjutkan studi di Jawa, seperti di Yogyakarta adalah orang-orang kaya dan terhormat.
Menemukan banyak orang Jawa yang hebat, kepercayaan diri saya tumbuh. Sejauh pengamatan langsung yang telah saya lakukan adalah bahwa orang-orang Jawa itu adalah pejuang, apapun profesinya. Mereka juga banyak yang keturunan ningrat, banyak pula yang menjadi tokoh intelektual, dan sangat terhormat.
Di Yogyakarta, misalnya, ada Sultan yang sangat dikagumi, dipatuhi, dan dijadikan contoh tauladan; banyak profesor atau ilmuwan hebat bertebaran baik di lingkungan UIN Sunan Kalijaga, Universitas Gajah Mada, dan universitas-universitas lain yang ada di Yogyakarta.
Sejak sekitar tahun 1999 sampai sekarang saya menjadi Puja Kesuma yang sangat percaya diri, berani tampil di ruang publik, berani bicara dengan siapa pun, dan sanggup mematahkan setiap perkataan orang-orang di Sumatera yang masih berani melecehkan orang-orang yang berasal dari keturunan darah Jawa.
Ada dua pelajaran yang perlu direnungkan. Pertama, terkadang posisi sebagai orang Jawa yang merasa memiliki privilege tinggi, belum tentu terjadi di semua keadaan. Sebagai suku mayoritas, masyarakat Jawa juga menghadapi tantangan-tantangan ketika menjadi minoritas di sebuah tempat tertentu di Indonesia. Kedua, bahwa prestasi bisa diraih dari dorongan sikap orang lain terhadap kelompok kita. Bagi para pemenang, apapun perkataan orang akan dijadikan cambuk untuk tetap berprestasi. Sedangkan bagi pecundang, selalu mencari alasan untuk kalah dengan keadaan.[]
Ilustrasi: goodnewsfromindonesia.id
Dosen UIN Raden Intan Lampung
Mantab bu Dr. Saya kebetulan orang jawa lahir di Sumatra tapi dibesarkan di Jawa, pada saat itulah pola fikir saya berubah