“Pemimpin terbaik adalah yang kehadirannya tidak dirasakan. Tetapi ketika ia selesai dengan tugasnya, orang berkata, ’kita telah bisa sendiri” (Lau Tze)
SUDAH merupakan etiket masyarakat di negeri ini kalau makan-makan di suatu restoran atau di mana pun, pasti salah seorang menjadi bos. Tidak nafsi-nafsi seperti masyarakat kapitalis.
Dan sang orang besar-lah yang pasti membayar. Jika pemimpin makan bersama rakyat, masa rakyatnya yang bayar? Itu melebihi Nazi namanya. Meskipun ada mekanisme sosial di mana rakyatlah yang sebenarnya membayar dan membiayai seluruh aktivitas bahkan hidup sang pemimpin beserta seluruh aparat dan keluarganya, tetap saja yang ‘tampak’ menanggung semua itu adalah sang pemimpin itu sendiri. Karena yang namanya pemimpin harus kelihatan sayang, baik, mengayomi, dan yang paling penting: kaya—di mata rakyat.
Sistem sosial manusia modern selalu saja canggih menciptakan tata aturan yang menempatkan sang pemimpin di atas yang lain. Tidak boleh pemimpin itu kere sehingga menanggungkan hidupnya kepada rakyat.
Tapi norma sosial warisan leluhur ini, kali ini didekonstruksi oleh Tokoh Kita. Rakyatlah yang harus mentraktir pemimpin. Rakyatlah yang bos. Kali ini, rakyat harus pede dan betul-betul memposisikan dirinya sebagaimana asal muasal dan hakekatnya, yakni mencukongi pemimpin. Tidak boleh berpura-pura lagi, semisal berperilaku miskin padahal kaya, bertingkah jongos padahal tuan setuan-tuannya.
Demikianlah. Kami makan sepuasnya. Saat merasa kurang, kami memesan kembali. Toh, ada Tokoh Kita yang akan membayarkan. Ia adalah orang besar di antara kami. Ia juga orang kaya yang tidak akan jatuh miskin gara-gara mentraktir tiga empat orang yang ususnya pendek-pendek di sebuah café kecil yang murah meriah.
Kami juga tidak peduli tatkala Tokoh Kita kelihatan resah gelisah, seperti sedang menanti-nanti seseorang yang datang. Karena dalam pikiran kami, yang namanya pemimpin memang harus resah gelisah. Jangan ada pemimpin yang asyik santai macam kaum pensiunan. Sebab urusan rakyat itu bejibun yang dengan serius saja tidak selesai-selesai apalagi dengan santai. Meski tidak bisa mengatasi persoalan, menampakkan empati lewat kegelisahan dan gundah-gulana sudah cukuplah. Rakyat cukup peka menangkap dan memahami jalan pikiran pemimpin.
Setelah keadaan itu lama berlangsung, tiba-tiba Tokoh Kita angkat bicara. Ia seperti berpidato: “Saudara-saudara, menurut hukum demokrasi, rakyatlah yang paling berdaulat. Pasti saudara-saudara setuju itu, bukan? Rakyat adalah ketua dari segenap lapisan sosial mana pun. Coba, rakyat punya wakil segala di DPR, rakyat punya abdi yang bernama pemerintah dan ASN. Jadi, apa kurangnya? Berbahagialah jadi rakyat, saudara-saudara! Bersyukurlah!”
Semua mengangguk setuju. Kami semua, bahkan seisi restoran yang mendengar orasi itu, berbinar mata ada pemimpin yang mau mengembalikan hak-hak rakyat yang telah lama diabaikan bahkan dirampok.
“Jadi, bapak-bapak setuju demokrasi diterapkan di negeri kita ini?”
Semua mengangguk, jelas sangat setuju.
“Benar? Serius?”
“Ya, serius dong, gimana sih?!” jawab teman sebelah.
“Kalau begitu, tolong saudara-saudara bayar semua makanan ini.”
Semua melongo sambil melihat Tokoh Kita ngeloyor pergi.
Usut punya usut, beberapa hari kemudian ketahuan, ternyata saat itu Tokoh Kita lagi bokek, nggak punya uang. Tas uang dan SPPD-nya dibawa kabur seorang ‘pengawal’. Ia lagi apes, kena tipu muslihat.
Tapi dasar pemimpin, lihai dia peralat demokrasi untuk “muslihati” rakyatnya sendiri yang kere.[]
Ilustrasi: indobrita,co
Pegiat literasi dan peminat sufisme lokal
Inspiratif…. Tulisan yang menggugah pak Doktor.