KUPANDANG lahan tandus di hadapanku. Kering kerontang sebagaimana perasaanku yang meradang saat dihina dan dikatakan gila atas keinginanku menghijaukan lahan non-produktif yang baru suamiku beli dengan harga murah. “Tanah ini seperti tanah terkutuk, tidak mungkin tumbuh dengan baik apa yang ditanam, seolah langit menyerap kembali air hujan yang terlanjur jatuh di tanah ini, hanya orang gila yang berani bermimpi menghijaukan tanah ini, jika pun ada hasilnya tidak dapat menghidupi kebutuhan perut seorang bayi,” begitu bunyi kalimat hinaan yang dilontarkan Saipul, penduduk setempat yang aku mintai pendapatnya atas rencanaku berkebun.
Syukur aku memiliki suami yang memahami impianku. Dia membesarkan hatiku, menyanggupi membantu mewujudkan keinginanku berkebun dan mendirikan villa bambu di masing-masing pojok kebun. “Aku sependapat dengan Saipul, tapi binar matamu memercikkan cahaya optimis, bulu matamu menjelma duri-duri harum aroma jeruk,” kata suamiku, serupa larik puisi.
Tuhan mendengar munajat kaum teraniaya. I believe in miracle of Allah. Hamparan tanah yang semula meranggas, kini menghijau. Penduduk latah mengikuti, terbukti mereka menyerbu lima ratus pohon yang aku bagikan cuma-cuma untuk mereka tanami di kebun masing-masing. “Aku menanggung hidup seorang istri dengan lima orang anak, kumohon izinkan aku sebagai penjaga dan pengelola kebun jeruk ini. Maafkan kelancanganku yang telah menganggapmu gila,” ngemis Saipul begitu kuresmikan ekowisata petik jeruk di kebunku saat musim berganti.[]
Kaki Bukit Panderman, 03 02 2021
Ilustrasi: Caretet.com
Pendiri Komunitas Mbojo Matunti, penulis novel Cinta Tak Terlerai dan Mbojo Mambure. Beberapa Pentigraf dan Putibanya termuat dalam Kitab Pentigraf 4: Dongeng tentang Hutan dan Negeri Hijau, Kitab Pentigraf Edisi Khusus: Sepersejuta Milimeter dari Corona, dan Kitab Puisi Tiga Bait tentang Corona: Hari Hari Huru Hara.