Idulfitri: Momentum Kemenangan Individual dan Sosial

Setelah kita berpuasa sebulan lamanya di bulan Ramadan, tibalah umat Muslim merayakan hari raya Idulfitri yang juga kita kenal dengan sebutan hari kemenangan.

 Bulan Ramahan menjadi bulan yang berkah bagi umat Muslim di dunia, momentum untuk merevolusi diri dari seorang Muslim-Mu’min menjadi seorang Muttaqin-Mukhlishin, sehingga keshalihan ritual yang didapatkan seorang individu pastilah berdampak pada kesalihan sosial seseorang.

Baca juga: Daya Ramadan

Muncul pertanyaan bagi kita tentang apa definisi atau makna hakiki dari kemenangan di bulan Ramadhan? serta apakah kita termasuk golongan yang menang atau kalah dalam perlombaan mendapatkan ridho dan ampunan (fastabiqul khairat) di bulan suci ini?. Meski sederhana, pertanyaan ini tidak pernah mendapat jawaban yang kokoh bila dikaitkan dengan persoalan material-objektif yang dihadapi umat Muslim.

Idulfitri

Sebelum mengealaborasikan golongan yang menang atau kalah di bulan Ramadan, hendaknya kita menggali terlebih dahulu makna dari Idulfitri dalam literasi keislaman, sering kita dapatkan bahwasanya makna substantif idul fitri tak pernah seragam.

Ada yang mengartikannya sebagai hari kembali pada fitrah (id-alfitrah) dan ada yang mengartikannya sebagai hari yang dibolehkan kembali berbuka, makan pagi atau tidak lagi berpuasa (id-aliftar). Dengan demikian asumsi bahwa Idulfitri adalah hari dibolehkannya makan pagi dan hari kembali pada kesucian adalah benar tidak dapat disalahkan.

Dilansir dari  caknun.com,  hari raya Idulfirti memiliki arti kembali ke fitrah, kembali kepada kemurnian atas kesejatian, memiliki berbagai dimensi. Pada sisi spiritual, fitri berarti ‘membayi’. Ramadan merupakan bulan suci, bulan tersedianya ampunan dan barakah, sehingga manusia yang mengem­barainya sesuai dengan guidance Tuhan Insyaallah akan memperoleh penyucian pada jiwanya.

Kemenangan Individual dan Sosial

Kemenangan bagi seorang Muslim yaitu bisa mengantarkan seseorang kepada nilai ketaqwaan setelah keluar dari sekolah (madrasah) bulan Ramadan. Sungguh tidak mudah satu bulan lamanya bisa mencegah dan menahan diri dari makanan, minuman terutama hawa nafsu  (al imsaku ’ani al-syai) dibarengi dengan kegiatan sehari-hari.

Baca Juga  Merariq sebagai Perekat Sosial

Hawa nafsu adalah musuh yang paling besar sebagaimana pendapat ulama hadist Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitab Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, tentang orang yang berjihad melawan nafsu (man jahada nafsahu), beliau menjelaskan keutamaan orang yang berjihad. Arti berjihad adalah menahan nafsu dari keinginan melakukan kesibukan selain ibadah, “Jihadnya seseorang melawan nafsunya adalah jihad paling sempurna”. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:

وَأَمَّا مَنۡ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفۡسَ عَنِ ٱلۡهَوَىٰ فَإِنَّ ٱلۡجَنَّةَ هِىَ ٱلۡمَأۡوَىٰ

Artinya: Sedangkan orang yang takut kepada maqam Tuhannya, dan menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsu, sungguh surga akan menjadi tempat tinggalnya (Qs An-Nazi’at:40-41).

Ibadah puasa di bulan Ramadan juga mengajarkan kita tentang pentingnya solidaritas sosial dan empati terhadap penderitaan orang lain. Dengan menahan lapar dan dahaga, seseorang dapat merasakan bagaimana derita orang yang tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar, khususnya kebutuhan ekonomi.

Disyariatkan menunaikan zakat bagi umat Muslim juga merupakan kemenangan bagi kaum yang lemah (mustadhafin) untuk mengurangi penderitaan, dan dapat menghadirkan kegembiraan. Sehingga terkandung harapan ditunaikannya zakat  bisa mendapatkan keberkahan membersihkan jiwa, dan dapat memupuk berbagai kebaikan setelah Ramadan.

Menjadi Pemenang Hakiki

Sejarah kemenangan yang diraih kaum muslimin dalam Perang Badar bertepatan dengan hari raya Idulfitri sehingga membuat kaum muslimin merayakan dua kemenangan sekaligus, kemenangan atas pencapaian ritual setelah berjuang melawan lapar, dahaga, dan hawa nafsu serta keberhasilan atas pasukan Quraisy yang dipimpin Abu Jahal dan Abu Sofyan.

Baca juga: Ramadhan: Gerakan Revolusi Mental

Dari kemenangan inilah muncul ungkapan “Minal ‘Aidin Wal Faizin” yang versi lengkapnya “Allahumaj ‘alna Minal ‘Aidin Wal Faizin. Adapun artinya “Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang kembali (dari Perang Badar) dan mendapatkan kemenangan”.

Baca Juga  Dewasa dan Inner Child: Sosok Kecil yang Tidak Termaafkan

Dengan demikian, predikat sebagai pemenang hakiki menuntut kemampuan untuk bisa mempertahankan tradisi-tradisi positif yang telah dikerjakan selama bulan suci Ramadan. Caranya dengan memelihara ibadah dan amal sholeh, mendirikan sholat malam (qiyamu lail), bersedakah serta menunaikan zakat.

Walau Ramadhan telah usai, kita harus senantiasa menjaga kualitas ibadah kepada Allah SWT. Puasa merupakan ibadah simbolik bagi disiplin diri juga merupakan momen transformatif mendewasakan diri menuju kemenangan hakiki dengan sirnanya sifat-sifat tercela seperti sifat amarah, sombong, dendam kesumat, bakhil, tamak, iri, riya, benci dan lain sebagainya.

Ilustrasi: Pikiranrakyattasikmalaya.com

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *