Kepemimpinan Kolaboratif dalam Rumah tangga: Prinsip Ketahanan Keluarga di Era Pandemi

PANDEMI Covid-19 di Indonesia telah melahirkan beberapa kebijakan, mulai dari menarik diri dari keramaian (social distancing) sampai menjaga jarak (physical distancing). Di banyak daerah namanya PSBB (pembatasan sosial berskala besar), di NTB disebut PSBL (pembatasan sosial berskala lingkungan). Turunan kebijakan itu adalah stay at home dalam bentuk working from home (WFH) dan school from home (SFH).

Kebijakan terkait Covid-19 tersebut memiliki dampak ekonomis maupun sosial. Termasuk sangat mempengaruhi kondisi keluarga dan secara dinamis juga memberi dampak terhadap ketahanan keluarga. 

Ketahanan keluarga adalah soal bagaimana rumah atau keluarga menjadi tempat ternyaman bagi semua anggota keluarga termasuk perempuan (istri maupun anak). Ketahanan keluarga tidak hanya berkaitan dengan kemampuan dan kesejahteraan finansial. Tetapi juga meliputi kesehatan dan kenyamanan mental spiritual, aspek lahir maupun bathin.

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 7 Perda No 4/2018 tentang Pelaksanaan Ketahanan Keluarga Di NTB, misalnya, menjelaskan bahwa:“Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung kemampuan fisik materil dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin.”

Lantas bagaimana perihal ketahanan keluarga pada aspek non material terutama pada keluarga sama-sama bekerja (dual earner family)? Aspek tersebut misalnya bagaimana suami dan istri mengatur kegiatan sehari hari dengan nyaman, menyeimbangkan antara tugas pekerjaan dengan tugas-tugas rumah tangga, menyelesaikan deadline sendiri yang sudah tersusun sembari menemani putra-putri menyelesaikan tugas-tugas online mereka.

Tidak ada pilihan bagi keluarga kecuali melakukan semua itu secara mandiri sebagai konsekuensi dari social dan physical distancing tersebut. Lantas siapakah yang paling terbebani oleh pekerjaan dan kondisi pandemi ini di dalam keluarga? Mengapa ini terjadi? Lalu apa lesson learned dari kasus ini dalam konteks ketahanan keluarga?

Dalam beberapa forum resmi maupun obrolan ringan dengan sesama perempuan yang bekerja terungkap bahwa stay at home ini menimbulkan multi-burden—bukan lagi double burden— bagi perempuan. Berbagai kegiatan tambahan seperti tersebut di atas, sebagaimana bisa diprediksi, sebagian besarnya dibebankan kepada perempuan.

Pada masyarakat kita, kegiatan domestik lazim dipahami semata-mata keahlian bahkan takdir perempuan. Bahkan kegiatan yang sebenarnya di dunia publik bisa dan lazim dilakukan oleh laki-laki ketika dipindahkan tempatnya ke rumah, dinamakanlah itu kewajiban perempuan, contoh memasak (menjadi chef).

Lebih mengkhawatirkan lagi, Komnas Perempuan mengungkap data bahwa selama Covid-19 yang dimulai Maret, laporan KDRT meningkat.

Sisi buruk dari WFH terhadap perempuan ternyata semakin menjauhkan idealitas rumah bagi sebagian mereka sebagai rumahku surgaku. Hal ini juga menggambarkan bagaimana perempuan selalu menjadi korban dalam situasi buruk, baik karena wabah maupun bencana alam lainnya. Sesuatu yang sesungguhnya tidak diinginkan tetapi seringkali tidak terhindarkan.

Konsep tentang kepemimpinan rumah tangga yang selama ini sering diperdebatkan perlu direfleksikan kembali. Sebagaimana umum diketahui bahwa secara normatif kepemimpinan keluarga selalu disematkan kepada laki-laki atau suami dengan justifikasi dan dalil. Salah satunya adalah Surat an-Nisa: 34. Interpretasi terhadap ayat ini sebenarnya beragam dan telah banyak dibahas tentang kemungkinan merekonstruksi makna qawwam dalam berbagai artikel dan buku. 

Tapi bagaimana pada tataran implementasinya? Saya berargumen bahwa kepemimpinan keluarga itu ideal dan senyatanya adalah kepemimpinan kolaboratif yang memerlukan rumusan-rumusan tentang apa yang dilakukan dan bagaimana melaksanakannya (what and how to do) bukan semata-mata tentang siapa melakukan apa (who does what).

Kepemimpinan kolaboratif dimaksud tidak lagi melihat istri atau suami sebagai individu yang terpisah tetapi masing-masing sebagai anggota tim yang posisinya setara serta melakukan segala kegiatan rumah tangga atas prinsip kesalingan.

Meletakkan laki-laki saja sebagai pemimpin rumah tangga telah terbukti mengakibatkan penempatan perempuan sebagai makhluk kelas dua bahkan di ruang yang sangat dekat dengan kehidupannya. Sebagai pihak yang dipimpin, ia menjadi obyek dan lemah. 

Turunan dari posisinya sebagai obyek ini lalu menimbulkan berbagai konsekuensi termasuk beban berlebih dan kekerasan yang perempuan alami sebagaimana tersebut di atas. Kelemahan perempuan sayangnya seringkali bukan dijadikan alasan untuk melindungi secara substantive malah menjadi pendorong terjadinya KDRT dalam berbagai bentuknya. 

Ketahanan keluarga itu sendiri bertujuan membentuk keluarga sejahtera. Pada pasal 1 ayat 10 Perda di atas mendefinisikan Keluarga Sejahtera sebagai keluarga yang dibentuk berdasarkan atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup spiritual dan  material yang layak, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan lingkungan.

“Hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang” ini perlu dioperasionalisasi sehingga tidak hanya menjadi adagium kosong.  Menurut saya, serasi, selaras dan seimbang ini diawali dengan bagaimana meletakkan suami dan istri pada posisi yang paralel.

Sejatinya mereka masing-masing adalah teamwork yang memiliki kapasitas menjalankan fungsi kepemimpinan berdasarkan prinsip-prinsip kepemimpinan yang disepakati bersama. Mereka sama-sama memimpin dan berkolaborasi di dalam mewujudkan visi dan misi keluarga. 

Jadi, mendebatkan subyek kepemimpinan (who) tidak lagi relevan. Karena senyatanya, baik laki-laki maupun perempuan secara normatif juga telah dimandatkan sebagai pemimpin dan akan dimintai pertangungjawaban kelak (Hadits Riwayat ibnu Umar).

Secara aplikatif, senyatanya dapat dilihat juga dalam semua kehidupan keluarga, walaupun ideologi patriarkhis sangat sulit mengakuinya. Fakta adanya PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga) di seantero dunia tidak terbantahkan. Kepemimpinan perempuan dalam rumah tangganya sendiri dapat terjadi ketika menjadi single parent maupun masih berpasangan. 

Menurut Jacobs dan Jacques (1990:281) kepemimpinan adalah suatu proses memberi arti terhadap usaha kolektif, sehingga ada kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai tujuan (leadership as ‘a process of giving purpose (meaningful direction) to collective effort, and causing willing effort to be expanded to achieve purpose’)

Definisi di atas menarik dan relevan untuk meneracai upaya merumuskan kepemimpinan rumah tangga yang kolaboratif dengan mengelaborasi beberapa kata kunci sebagai berikut:

Pertama, proses. Kepemimpinan dilihat sebagai sebuah proses yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi. Proses tersebut tentu bisa dilakukan bersama-sama atau berdasarkan job description serta teraplikasi dalam berbagai aktivitas rumah tangga, misalnya aktivitas dapur, mengawasi anak, serta hal-hal terkait masa depan kehidupan pasca Covid-19 dan pendidikan anak.

Kedua, usaha kolektif. Definisi ini mengandung arti bahwa kepemimpinan melibatkan team work dan bertujuan mewujudkan kepentingan bersama. Pada aspek ini tersirat keterlibatan, kesalingan, kemampuan berkomunikasi dan menghargai suara bersama. Ada proses demokrasi yang mengiringi.

Bayangkan saja dengan menumpuknya list yang harus dikerjakan oleh keluarga yang suami-istri bekerja, tanpa adanya kolektifitas dan kolaborasi, maka Covid-19 memberikan akibat yang jauh berbeda antara laki-laki dan perempuan. 

Sebagai proses dan usaha kolektif, maka kemampuan manajerial dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah dan mufakat menjadi prasyarat yang utama dalam kepemimpinan kolaboratif tersebut.

Menarik dikemukakan lima sifat kepemimpinan muslim berdasarkan rukun Islam (https://arryrahmawan.net/5-prinsip-kepemimpinan-dalam-islam/) yang menurut saya sangat relevan diaplikasikan di dalam kepemimpinan keluarga yaitu: Syahadat yang bermakna visioner atau memiliki tujuan hidup yang jelas; Sholat yang menekankan sifat disiplin karena memilik waktu tertentu dan tata cara tertentu; Puasa yang menggambarkan integritas moral; Zakat yang merefleksikan kepedulian terhadap mereka yang tertindas; dan Haji sebagai ilustrasi dari sifat rendah hati bahwa semua manusia sama di mata Allah.

Lima sifat kepemimpinan tersebut idealnya dimiliki oleh masing-masing individu. Tetapi dalam realitasnya bisa jadi lima prinsip itu sebagiannya lebih kuat menjadi karakter suami sedangkan yang lain lebih menjadi sifat bawaan istri. Dalam konteks kepemimpinan keluarga yang kolaboratif, saling mengisi untuk mewujudkan prinsip visioner, disiplin, integritas, peduli, dan rendah hati tersebut menjadi keharusan.

Bukankah suami dan istri sejatinya adalah dua individu yang memiliki kelemahan dan kelebihan tetapi bersedia untuk selalu saling mengisi demi menggapai tujuan dan kesejatian? Dan era pandemi beserta WFH ini bagi saya memberikan pelajaran bahwa kolaborasi menjadi salah satu kunci terwujudnya ketahanan keluarga.[]

 

 

Baca Juga  Fatima Seedat: Muslimah Reformis dari Afrika Selatan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *