Dari Tuhan dan Kembali ke Tuhan

Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rojiun. Kalimat istirja’ ini kita kenal di tengah masyarakat sebagai ungkapan duka atau ungkapan simpati dan empati atas musibah yang sedang melanda. Dan kalimat ini sering berseliuran dari corong-corong masjid dan mushalla yang menandakan bahwa saat itu ada di kalangan umat muslim meninggalkan dunia ini—kembali keharibaan Tuhan.

Sekilas kalimat ini terdengar biasa-biasa saja, oleh karena seringnya kita mengucapkan dan mendengarnya, bahkan hampir menjadi kalimat duka yang tidak bertuah. Dari sisi makna sesungguhnya kalimat itu memiliki nilai yang tinggi, yakni sesungguhnya kita semua berasal dari Tuhan dan akan kembali pula kepada Nya.
Bila kita renungkan secara mendalam dan kita telisik makna kalimat tersebut dengan sungguh-sungguh, maka kita akan mendapatkan bahwa kalimat itu tidak seringan seperti yang kita dengar dan ucapkan, yakni kita datang dari sisi Tuhan untuk suatu masa dan ada saatnya harus kembali kepadaNya.

Rangkaian kalimat istirja’ itu adalah i’tibar bahwa kita semua laksana seorang utusan yang dikirim ke suatu tempat dengan perbekalan yang memadai, untuk suatu tugas yang amat penting dan berharga, dan sang utusan itu harus kembali kepada sang pengutus. Maka sekembalinya dari penugasan, ia harus memberikan laporan yang baik sesuai harapan dan amanah yang ditugaskan kepadanya. Jika tidak, maka kekecewaanlah bagi sang pemberi amanah.

Kalimat istirja’ terdiri dari dua frase, yakni “inna lillahi” dan “wainna ilaihi roji’un”. Kalimat inna lillahi adalah semakna dengan kita berangkat dari sisi Tuhan untuk sebuah amanah yang besar dan berat, yakni sepanjang waktu yang kita gunakan untuk kehidupan ini adalah menyemai dan menorehkan bukti keyakinan dan kaimanan kita kepadaNya dalam setiap tindakan, prilaku dan perkataan. Membuktikan bahwa kita datang dari sisi Yang Maha Benar, Maha Mulia, dan Maha Segala-galanya.

Tuhan menegaskan kebenaran penugasan kita lewat firmanNya di surah Al Baqarah ayat 20, “innī jā’ilun fil-arḍi khalīfah”. Sesungguhnya Aku (Tuhan) hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Idelanya, selama kita berkiprah di atas bumi Tuhan, selama itu pula kita mempraktekkan amanah kekhalifahan, yakni menebar kebaikan dengan modal dasar ketaatan kepadaNya.
Hari-hari yang kita lalui menjadi goresan yang terekam dan tercatat sebagai lembaran-lembaran kehidupan yang berisi amalan harian, dan kelak akan terhimpun menjadi sebuah kitab catatan amalan sepanjang usia kita.

Bayangkanlah seandainya hari-hari yang kita lalui ini adalah lembaran tulisan tentang diri kita. Jika kita berusia misalkan 50 tahun, maka lembaran amalan harian itu akan berjumlah 18.000 (delapan belas ribu) halaman, yang sudah kita tulis dengan berbagai catatan eksplorasi selama kita di bumi. Tugas kita sekarang adalah masing-masing diri harus terus mengevaluasi amalan-amalan harian seperti apa saja yang sudah kita goreskan dan yang akan kita ukir dalam lembaran kehidupan kita?. Karena apa yang tertulis akan kita presentasikan di hadapan Tuhan tatkala kita kembali nanti.

Ingatlah, bahwa pada frase kalimat istirja’ yang kedua, “wainna ilaihi roji’un” bahwa setelah selesai petualangan di bumi Tuhan, sesuai jatah usia masing-masing, saatnya untuk kembali keharibaanNya, membawa cerita tentang petualangan kekhalifahan yang ditugaskan kepada kita.

Apa yang kita tunaikan di bumi selama ini, akan Tuhan buktikan seberapa tinggi nilai amanah kita dalam menyelesaikan ekspedisi petualangan yang kita jalani dalam hidup kita. Masing-masing kita akan bercerita dan mengungkapkan pengalaman eksplorasi dari perjalanan panjang kita di bumi, bercerita di hadapanNya—di hadapan Sang Maha Perkasa.

Sebelum kita kembali kepada Sang Pengutus, kita diingatkan sebagaimana firmanNya di surah ke 59 ayat 18, “waltanẓur nafsum mā qaddamat ligad”, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Yakni hari di mana kita akan bertemu Tuhan untuk mengulang cerita perjalanan eksplorasi kita selama di bumi.

Kembalinya kita keharibaanNya telah dinanti, untuk mendengar cerita tentang diri kita, tentang kehidupan kita, tentang aktivitas yang sudah kita jalankan. Dan ingatlah bahwa pada saat itu, kemampuan dusta yang selama ini kita miliki, dibekukan fungsinya oleh Tuhan. Di hadapanNya tidak ada yang mampu berdusta dan membual, kita akan bercerita apa adanya dengan terang dan jelas dari a sampai z, tidak ada yang kita lupakan.
Sekarang, tanyailah diri masing-masing, cerita apa saja yang sudah kita tulis dan yang kita akan presentasikan saat kita kembali kepadaNya?. Dari sekian lama perjalanan kita menelusuri lorong kehidupan sebagai khalifah utusanNya, sudah tertuliskah dalam catatan hidup kita, bahwa kebaikan dan kebenaran yang kita bawa dari sisiNya, sudah kita tebar selama kita di bumi?.

Kita sudah lama berjalan di muka bumi ini, sudah sekian banyak hal yang kita rasakan, dengarkan, pandang, dan ucapkan. Tuhan hanya ingin kita jujur dalam menebar kebaikan dan kebenaran dariNya, sebagai wujud dari keyakinan kita tentang “Inna lillahi wainna ilaihi roji’un”, Sesungguhnya kita adalah berasal dari Tuhan dan kepada-Nyalah kita akan kembali.

Ilustrasi: dunia santri

1 komentar untuk “Dari Tuhan dan Kembali ke Tuhan”

  1. Nanda Zahratu Raudah

    😭😭😭
    Terbayang jika orang2 terdekat meninggalkan kita…….Ya Allah…😭😭😭
    Terbayang jika diri sendiri tiada sebelum amal tercukupi……Ya Allah 😭😭😭😭

    Semoga semua dari kita diberikan nikmat sehat ….aamiin ya Allah 🤲😘😘😘
    Jazakallau khairan katsir aby…..🙏🙏🙏🌹

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *