Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk persoalan keluarga. Pembaharuan hukum keluarga di Negara Islam tidak lepas dari dinamika reformasi yang bertujuan melakukan unifikasi hukum baik dalam arti menyatukan dua madzhab besar yakni sunni dan syi’i maupun menyatukan berbagai agama. Selain itu, bertujuan pula untuk meningkatkan derajat wanita.[1]
Ada tiga kategori hukum keluarga yang berlaku, yaitu negara yang menerapkan hukum keluarga secara tradisional, sekuler dan negara yang menerapkan hukum keluarga yang direformasi atau pembaruan hukum keluarga di dunia Islam, bukan hanya ditandai dengan digantinya fiqih keluarga dengan hukum-hukum barat, akan tetapi termasuk juga dengan melakukan reinterpretasi atau penafsiran kembali terhadap fiqih keluarga sesuai dengan perkembangan penalaran dan pengamalannya.[2]
Indonesia dan Brunei Darussalam merupakan negara di Asia Tenggara yang melakukan pembaharuan hukum keluarga di negaranya. Dalam MIB (Melayu Islam Beraja) sebagai ideologi negara Brunei, termaktub di dalamnya penetapan madzhab Syafi’i (dari sisi fikihnya) dan ahl sunnah wal jama’ah (dari sisi akidahnya).[3] Begitupun dengan negara Indonesia.
Salah satu contoh produk pembaharuan di Indonesia ialah UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 1974. Di negara Brunei juga memiliki produk pembaharuan yaitu Perintah Darurat (Undang-undang Hukum keluarga Islam) tahun 1999 yang mengatur masalah institusi keluarga khususnya terkait perkawinan dan perceraian. Ke-dua Undang-undang ini memiliki prinsip memperhatikan kedudukan wanita dan memberi keadilan serta menjamin hak wanita dalam perkawinan.[4]
Perbedaan peraturan ini disebabkan karena adaya pebedaan dari segi konteksnya, maupun metode dalam melakukan pembaharuannya. Untuk mengetahui perbandingan mengenai materi pembaharuan hukumnya, berikut penulis sajikan dalam bentuk tabel komparasi:
Komparasi Materi Pembaharuan Hukum keluarga di Indonesia dan Brunei Darussalam.
Materi | Indonesia | Brunei Darussalam |
Batasan Usia Perkawinan | ·Dalam fiqh klasik hanya dipersyaratkan (dianjurkan) bagi mereka yang telah balig. Dalam KHI pasal 15 jo. Pasal 7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan perkawinan dapat dilakukan apabila pihak pria telah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 19 tahun. · Tidak ada akibat hukum
| · Laws of Brunei bab 217 tidak secara jelas memuat tentang batas minimal usia nikah, akan tetapi terdapat dibeberapa pasal bahwa menghalang perkawinan laki-laki yang belum mencapai usia 18 tahun dan perempuan yang belum mencapai usia 16 tahun. · Merupakan pelanggaran terhadap UU dengan ancaman denda maksimal dua ribu dolar, penjara maksimal enam bulan atau keduanya.
|
Metode yang digunakan Brunei Darussalam masuk dalam kategori intradoktrinal reform, karena sebagian besar pembaharuan yang dilakukan oleh Brunei didasarkan kepada alternasi mazhab, yakni mazhab Syafi’i secara khusus dan mazhab fikih lainnya secara umum melalui tahyir, talfiq, dan siyasah syar’iyah.
Laws of Brunei bab 217 tidak sesuai dengan pendapat imam Syafi’i, akan tetapi sesuai dengan penadapat imam Hanafi yaitu balig untuk anak laki-laki adalah 18 dan perempuan 17 tahun.
Sedangkan Indonesia tidak mengikuti pendapat 4 imam mazahab baik untuk batas usia balig anak laki-laki dan anak perempuan. Bahkan setelah dilakukan pembaharuan hukum yaitu UU No. 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU No.1 Tahun 1974, ini tidak mengikuti pendapat 4 ulama mazhab.
Indonesia melakukan pertimbangan atas undang-undang sebelumnya yang dirasa usia kawin untuk perempuan terlalu dini, atas dasar itulah dilakukan pertimbangan maslahah agar mencegah hal yang mudharat. Maka dilakukanlah reformasi untuk melindungi kaum perempuan segingga mampu berkembang serta memperhatikan pendapat imam mazhab.
Metode pembaruan yang digunakan Indonesia dalam melakukan kodifikasi hukum Islam kontemporer menggunakan metode intradoktrinal reform secara khusus melalui Siyasah syar’iyah yaitu kebijakan penguasa menerapkan peraturan yang bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi nash terhadap nash.
Secara umum, Brunei dalam melakukan pembaharuan hukum keluarga sebagai respon atas perkembangan zaman dengan tetap mempertimbangkan pemikiran madzhab fikih khususnya Syafi’i sebagai madzhab yang dianut oleh mayoritas penduduknya.
Walaupun demikian, ada beberapa hal ketentuan yang tidak sejalan dari pemikiran fikih, yang disebabkan adanya tuntutan tujuan dan peran hukum adat dalam melakukan pembaharuan melalui reinterpretasi teks. Maka berdasarkan hal tersebut, pembaharuan hukum keluarga di Brunei dapat dimasukkan dalam intradoktrinal reform.
Pembaharuan hukum keluarga di Indonesia, dapat dilihat dari pebedaan tentang penerapan peraturan Batasan usia ini. Meskipun brunei dan indonesia sama-sama bermazhab syafi’i serta letak geografisnya berdekatan antara keduanya, akan tetapi perbedaan ini disebabkan perbedaan faktor sosial, budaya, kebutuhan maupun tuntutan.
Referensi:
Abd. Ghofur, “Islam dan Politik di Brunei Darussalam: Suatu Tijauan Sosio-Historis,” dalam Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Volume 7 Nomor 1 (2015)
Ade Irma Imamah, “Hak Penolakan Rujuk di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam Perspektif Hukum Islam, Gender, dan HAM,” dalam Tesis Fakultas Syariah dan Hukum (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018)
Nur Hasan Latief, “Pembaharuan Hukum Keluarga serta Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan Status wanita,” dalam Jurnal Hukum Novelty, Volume 7 Nomor 2 (2016)
Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif (Yogyakarta: Kaukaba, 2011)
[1] M. Nur Hasan Latief, “Pembaharuan Hukum Keluarga serta Dampaknya Terhadap Pembatasan Usia Minimal Kawin dan Peningkatan Status wanita,” dalam Jurnal Hukum Novelty, Volume 7 Nomor 2 (2016), 199-200.
[2] Yusdani, Menuju Fiqh Keluarga Progresif (Yogyakarta: Kaukaba, 2011), 17
[3] Abd. Ghofur, “Islam dan Politik di Brunei Darussalam: Suatu Tijauan Sosio-Historis,” dalam Jurnal Toleransi: Media Komunikasi Umat Beragama, Volume 7 Nomor 1 (2015), 63.
[4]Ade Irma Imamah, “Hak Penolakan Rujuk di Indonesia dan Negara Brunei Darussalam Perspektif Hukum Islam, Gender, dan HAM,” dalam Tesis Fakultas Syariah dan Hukum (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2018), 86.
Ilustrasi: Media Inndonesia
Program Studi Hukum Keluarga Islam Pascasarjana UIN Mataram