Nafkah merupakan sendi yang menopang keluarga sakinah, karena jika nafkah tidak terpenuhi dalam berkeluarga bisa menjadi salah satu alasan keluarga berantakan, artinya untuk menggapai keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah, maka nafkah harus terpenuhi dengan baik.
Pengertian Nafkah dalam Hukum Keluarga Islam
Ditinjau dari segi bahasa kata “nafkah” memiliki banyak pengertian. Secara etimologis, nafkah berasal dari bahasa Arab yang berasal dari suku kata anfaqa- yunfiqu-infaqan (انفق – ينفق – انفاقا ), yang diartikan dengan pembelanjaan. [1] Al-Hafizh Ibnul Hajar Al-Asqalani, menguraikan bahwa, memberi nafkah kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami.
Syariat menyebutnya sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang bersedekah.
Oleh karena itu, syariat memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga termasuk sedekah.[2] Dengan demikian tidak boleh memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum tercukupi nafkah bagi keluarga yang wajib dinafkahi, sebagai pendorong untuk lebih mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan dari sedekah yang sunnah.
Quraish Shihab berpendapat dalam tafsir al Mishbah mengatakan bahwa, suami memberikan nafkah sesuai dengan kadar kemampuanya, istri tidak diperkenankan menuntut nafkah melebihi kemampuan suami atau melebihi apa yang dimiliki oleh suami. Karena dapat berakibat suami akan memaksakan diri untuk nafkah itu dengan mencari rizki yang tidak diridhai oleh Allah SWT.
Tidak ada jumlah tertentu mengenai kadar nafkah, semuanya dikembalikan pada kondisi dan adat istiadat yang berlaku pada satu masyarakat (urf) yang tentu saja berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain serta waktu yang berbeda.[3]
Nafkah Menurut Kompilasi Hukum Islam Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang mengatur nafkah suami atas isterinya, adalah Undang-Undang Perkawinan (UU Perkawinan) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 30 sampai dengan pasal 34 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengaturnya melalui pasal 77 sampai dengan pasal 84.
Menurut Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa “Suami dan isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”. Selanjutnya Pasal 34 Undang-Undang Perkawinan merumuskan sebagai berikut[4] :
- Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
- Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya;
- Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
Undang-Undang Perkawinan menyebutkan dengan tegas wujud kewajiban suami yang berupa nafkah kepada istri dan anak. Pasal 34 ayat (1) dapat dimaknai suami wajib memberikan dan memenuhi semua kebutuhan hidup berumah tangga bagi istri dan anak-anaknya. Sebagai timbal baliknya maka isteri juga wajib untuk mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan bahwa[5] :
- Suami istri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat.
- Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satui kepada yang lain;
- Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;
- suami istri wajib memelihara kehormatannya;
- jika suami atau istri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Nafkah Menurut Kompilasi Hukum Islam Yaman (Qonun al Usroh)
Sebagaimana hukum keluarga di negara-negara yang lain, Yaman juga ditetapkan adanya kedudukan nafkah yaitu terdapat dalam Undang-undang Qanun al- Usrah Tahun 1974. Yang mengatur bahwa di dalam kehidupan berkeluarga baik suami atau pun istri harus berlaku andil dalam menghidupi kehidupan keluarga.
Pasal yang mengatur tentang hukum keluarga di Yaman sebagai berikut[6] :
Pasal 17
“Keduanya dalam menyelenggarakan pernikahan masing-masing harus ikut menanggung pembiayaan pernikahan dan syarat yang berhubungan dengan perkawinan disesuaikan dengan masing-masing lingkungannya”.
Menurut peraturan Perundang-undangan Qanun al-Usrah Tahun 1974 tentang kedudukan nafkah suami dan istri diatur pada Pasal 20 Undang-undang Qanun al- Usrah Tahun 1974 disebutkan bahwa “Nafkah bukan hanya kewajiban suami, tetapi merupakan kewajiban bersama, sehingga kedua pasangan harus memberikan andil dalam mengupayakan pembiayaan kehidupan rumah tangga mereka”.
Ketentuan ini benar-benar baru dalam hukum Islam, yang secara ekstrim menerapkan persamaan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan dalam pola hubungan rumah tangga. Dalam masalah ketidakmampuan suami memberikan nafkah (minimal untuk kebuutuhan pokok), para fuqaha kebanyakan berpendapat bahwa istri berhak mengajukan perceraian ke pengadilan, termasuk menurut fuqaha syafiiyah.
Referensi:
[1] Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir, (Yogyakarta: Pondok Pesantren al Munawir, 1984), h. 1548
[2] http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/intelektualita Vol. 02 2017
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an, Volume 14, ( Jakarta : Lentera Hati, 2005), h. 303
[4] Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[5] Abdurahman, H. Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Presindo, 2007
[6] Undang-undang Qanun al-Usrah Tahun 1974
Ilustrasi: Muttaq.in
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram





