Cemburu; Jembatan Menuju Kesempurnaan

Ada satu sifat yang Tuhan takdirkan sebagai salah satu fitrah bawaan pada manusia, yakni cemburu. Dia merupakan asa yang nyata dan nampak dalam prilaku, yang membuat manusia menjadi tidak rela tersaingi dalam meraih capaian pada semua babak kehidupannya.

Secara kasat mata, gejala dari sifat cemburu oleh banyak orang, menghukuminya sebagai satu sifat yang kurang baik atau buruk, oleh karena dinilai sangat menyiksa bagi yang empunya sifat, membuat hatinya tidak tenang, membuat pikirannya tidak nyaman, bahkan membuat prilakunya tidak wajar.

Lalu mengapa Tuhan mentakdirkan sifat cemburu itu sebagai salah satu sifat bawaan (baca: Fitrah) pada manusia? Bukankah akal sudah cukup memadai untuk merespon secara rasional segala sesuatu yang terjadi dalam setiap babak dan episode kehidupan manusia, baik kejadian yang dilihat, didengar, dirasakan, maupun yang dipikirkan?.

Kalau kita cermati dengan mendalam, kita kaji gejala yang nampak dari sifat cemburu itu, ternyata Tuhan memiliki persepsi berbeda tentang cemburu yang dijadikan sifat bawaan manusia. Cemburu itu menjadi konduktor yang mengantarkan asa manusia untuk mencapai titik kesempurnaan dari capaian-capaian hidupnya, baik yang berhubungan dengan karya, prestasi, perasaan, cinta, maupun yang berkitan dengan capaian ibadah.

Apabila kita telusuri ranah-ranah kehidupan manusia yang dirambah oleh aliran energi cemburu, maka akan kita dapatkan betapa sifat cemburu itu memang mengantarkan manusia menuju titik kesempurnaan dalam capaian hidupnya.

Cemburu pada keberhasilan orang lain misalnya—akan melahirkan daya saing, semangat juang, motivasi tinggi, dan optimisme yang kuat untuk bisa meraih, mendapatkan, dan menggapai keberhasilan yang sama. Daya-daya yang dipercikkan oleh rasa cemburu itu pada ujungnya tidak lain untuk mencapai kesempurnaan kinerja dan ikhtiar.

Orang yang tidak memiliki rasa cemburu pada prestasi dan keberhasilan orang lain, mustahil untuk bangkit dan berupaya untuk menyempurnakan ikhtiar dan usahanya dalam mencapai keberhasilan dan prestasi.

Baca Juga  Pesan Khutbah Idul Fitri: Jangan Masuk Surga Sendirian*)

Begitu pula dengan rasa cemburu pada kekasih atau tambatan hati, wujudnya bisa jadi dalam bentuk kekhawatiran, takut kehilangan, curiga yang tak beralasan, hingga memproteksi  gerak gerik, kebiasaan, dan kebebasan kekasihnya. Semua gejala itu menjadi wajar oleh karena ada sifat cemburu yang melahirkan dorongan untuk mencapai kesempurnaan cinta dan kasih sayang.

Cemburu pada kekasih menuju kepada kesempurnaan cinta telah dibuktikan oleh tokoh legendaris cinta yakni Qais dan Laila dalam kisah Laila Majnun. Sebagaimana pernah terjadi dalam kehidupan Qais, tatkala menunaikan ibadah haji bersama orang tuanya, di bukit Mina tiba-tiba ada seorang laki-laki menyebut nama Laila, api cemburu Qais langsung menyala sambil menguntai bait-bait puisi;

Seseorang memanggil-manggil namamu saat kami berada di lereng bukit Mina. Mendengar namamu terguncanglah hatiku karena sedih. Duhai lelaki itu tidak mengetahui betapa suci namamu. Mengapakah ia memanggil nama Layla dengan seenaknya?. Apakah ia tidak tahu dengan menyebut namamu. Berarti ia menerbangkan seekor burung yang telah bersarang di hatiku. Ia memanggil nama Layla. Semoga Allah membukakan kedua matanya. Untuk melihat betapa pesonamu tak mampu dia bayangkan.”

Selanjutnya cemburu pada ketaatan ibadah orang lain, yang berwujud iri pada volume ibadah orang lain, iri dengan keistikamahan orang menuju masjid dan mushalla, iri dengan volume aktivitas membaca al-qur’an yang dilakukan oleh orang lain, iri dengan aktivitas sedekah orang lain, hingga cemburu dengan sifat dan prilaku terpuji orang lain. Semua itu tak lain menjadi dorongan untuk mencapai kesempurnaan dalam beragama.

Kecemburuan dalam ibadah pernah terjadi di kalangan sahabat Nabi saw. Alkisah, suatu ketika Rasulullah saw menyuruh sahabatnya untuk berinfak di jalan Allah. Ketika itu Sahabat Umar begitu cemburu dengan ingin mengalahkan Abu Bakar dalam berinfaq.

Baca Juga  Ramadhan: Relasi Harmonis dengan Tuhan

Kebetulan saat itu Umar memiliki sedikit harta, maka Umar berkata di dalam hatinya, “Saat ini aku memiliki harta. Jika suatu saat aku dapat melebihi Abu Bakar dalam berinfaq di jalan Allah, maka inilah saatnya.” Umar pun pulang ke rumah dengan gembira. Lalu membagi dua seluruh harta yang ada di rumahnya. Setengahnya untuk keluarga dan setengahnya lagi diserahkan kepada Rasulullah saw.”

Rasulullah saw berkata, “Wahai Umar, adakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” Saya menjawab, “Ada ya Rasulullah.”  Nabi bertanya lagi, “Apa yang kamu tinggalkan?” Saya menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka setengah dari harta saya.”

Kemudian, datanglah Abu Bakar, dengan membawa seluruh hartanya. Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?”. Abu Bakar menjawab, “Saya tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya.”

Melihat kondisi tersebut, Umar berkata dalam hatinya, “Saya tidak akan pernah dapat mengalahkan Abu Bakar.”

Kisah di atas bukanlah iri dan dengki, akan tetapi cahaya cemburu yang akan mengantarkan seserang menuju titik kesempurnaan dalam mengabdikan diri bersama hartanya di jalan Tuhan.

Jadi, cemburu itu bukanlah sesuatu yang buruk, tetapi menjadi pemberian Tuhan yang amat berharga sebagai jembatan menuju titik kesempurnaan kehambaan manusia. Sebagaimana Quraish Shihab dalam kajian tafsir al Misbah, menjelaskan bahwa keberadaan sifat cemburu itu untuk mendorong seseorang mencapai kesempurnaan dalam hidupnya.  

1 komentar untuk “Cemburu; Jembatan Menuju Kesempurnaan”

  1. Nanda Zahratu Raudah

    Huuuh…..masyaAllah tema hari ini tentang cemburu,,hmmmm yayaa :-)bisa menjdi penyakit hati jika tdk di bentengi dengan semangat untuk berbenah menuju hal yg lbh baik atau kesempurnaan….
    Kalau tk ada rasa cemburu pasti hidup gk berwarn he hee…
    Salam ta’zim selalu ayahanda, smoga sehat pnjang umur penuh berkah…..aamiiin Allahumma aamiin

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *