Masjid memang menjadi simbol bagi agama Islam. Ia menjadi salah satu pilar “penentu” keislaman. Seolah-olah syarat keislaman seseorang-masyarakat, selain lima rukun Islam itu, juga harus dibuktikan dalam wujud bentuk-bentuk masjid. Ini bukan sembarang argumen, mengingat banyak sekali masalah yang timbul akibat bangunan masjid yang tidak sesuai “syariat” Islam ini.
Setelah Masjid Al Safar yang diarsiteki Ridwan Kamil yang katanya mirip seperti iluminati itu dipersoalkan publik. Baru-baru ini, di Kabupaten Bima muncul persoalan yang hampir sama; yakni penolakan terhadap bentuk masjid di lahan relokasi banjir di Desa Tambe, Kecamatan Bolo. Mereka menuntut agar atap masjid tersebut dibongkar karena menyerupai kontruksi rumah ibadah agama lain (BimaKini.com, 3/1/2022). Mereka menuntut agar atapnya menyerupai masjid pada umumnya. Tentu memiliki kubah dan segala pernak-pernik yang meliputinya.
Okey, kita pakai alasan ini. Alasan yang sebenarnya penuh kehati-hatian ini, karena takut menyebut nama salah rumah ibadah tersebut. Walau saya yakin dalam imajinasinya sudah terlihat jelas ingin menyebut nama itu. Agar rasa penasaran pembaca sedikit terobati, saya sebut saja, agar tidak menyerupai; gereja.
Karena itu; Aliansi Masyarakat, yang sama-sama atas nama kepedulian pada agama tersebut menuntut agara segera dibongkar. Sampai-sampai dalam laman berita yang lain, disebutkan mereka akan bertindak tegas. Tidak main-main. Wadaooo, ngeri sekali tindakan manusia-manusia yang peduli pada agama ini.
Agar tidak berpanjang kalam dan ngoceh, mari kita uji alasannya. Apakah masjid itu selalu identik dengan kubah? Agar tidak menyerupai rumah ibadah agama lain. Tegas bisa kita jawab tidak. Sebab, banyak juga bangunan gereja yang memiliki kubah seperti masjid, ditambah menara yang tinggi-tinggi. Ini membuktikan sebenarnya, kubah bukanlah hak paten yang selalu dipasangkan dengan masjid, atau dengan kata lain, kubah bukanlah murni yang lahir dari perintah agama Islam.
Bentuk atap masjid yang seperti atap rumah di Kabupaten Bima tersebut, bisa jadi lahir dari refleksi sang arsitek, bahwa atap seperti itulah yang familiar dengan bangunan-bangunan yang dibuat oleh masyarakat Bima. Walau, atap gereja banyak menggunakan seperti itu. Laaahh, kalau begitu, rumah-rumah kita? gereja dong? Karena atapnya, banyak yang mirip dengan atap gereja? Tentu saja tidak. Persoalannya, apakah tempatnya dipakai sembahyang atau tidak.
Sebenarnya sama saja, kalau masjid yang atapnya itu seperti gereja, kemudian kita ubah dengan membuat kubah dengan ukuran besar. Dan orang-orang yang menuntut untuk dibongkar itu tidak sembahyang di masjid, apalagi sengaja tidak sembahyang. Pantaskah itu kita sebut sebagai masjid? Rasanya lebih pantas disebut gereja daripada masjid yang kosong tanpa penghuni itu, yang sampai kita ributkan pembangunannya. Malu sama Ruma Rahtala, dou dohoee.
Namun, munculnya persoalan ini sebenarnya memperlihatkan beberapa persoalan yang dialami oleh masyarakat kita. Utamanya soal kehidupan beragama dan keberterimaan masyarakat akan hal-hal yang berkaitan dengan agama lain yang masih “tabu” dibicarakan di ranah publik luas. Mungkin dengan begini, kerja-kerja hubungan antaragama lebih diarahkan ke ranah-ranah masyarakat luas dan tidak terhenti pada masyarakat akademik semata.
Ranah Kebudayaan
Kita tahu bahwa hal-hal yang berkaitan dengan bentuk masjid dan tetek bengeknya adalah ranah profan. Yang tidak ada sangkut pautnya dengan keintiman hubungan kita dengan tuhan. Arsitektur masjid tidak ada hak paten juga tidak ada garansi dalam pembentukannya. Namanya juga ranah budaya, jadi sekreatif apa Anda membuatnya dan seberapa besar fungsinya untuk Anda gunakan hasil cipta bangunan tersebut.
Ranah kebermanfaatan sebenarnya bisa lebih ditonjolkan di sini daripada ranah arsitektur yang banyak menimbulkan kontroversi di tengah publik. Agar lebih mudah, ranah kebermanfaatan itu misalnya, rumah ibadah ini digunakan untuk apa saja, adakah aktivitas lain yang mampu menyelesaikan persoalan umat dalam masjid tersebut, adakah praksis pemberdayaan umat yang dilakukan dalam aktivitas rumah ibadah tersebut. Sebenarnya hal-hal itulah yang menjadi kewajiban yang langsung diperintah Tuhan bagi manusia dan bagi manusia dan Aliansi Masyarakat atas nama kepedulian pada agama tadi.
Bukan hanya mengutamakan arsitektur dan konstruksi masjid, kemudian menimbulkan polemik di tengah masyarakat yang tak berkesudahan yang menguras emosi masyarakat juga menguras keuangan. Tentu jika kita berpikir normatif dan hitung-hitungan, tentu saja pembongkaran atap masjid tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Budget yang tidak sedikit tentunya, di tengah gerutuan ASN, birokrat dan pemerintah sendiri yang mengalami refocusing anggaran akibat pandemi. Jadi kita harus lebih arif lagi dalam menilai hal-hal yang bersifat profan dan ranah-ranah kebudayaan agar kita “bersih” dalam beragama dan dalam upaya percerdasan dan pendewasaan masyarakat yang beragama.
Open Minded
Saya adalah salah satu yang resah. Sebab, kita selalu berkoar-koar dan menunjukkan data bahwa masyarakat Bima wabil khusus pemuda Bima adalah orang yang berpendidikan. Tidak tanggung-tanggung, Bima sekarang sudah surplus sarjana. Katanya, selalu orang Bima itu semangat dalam menuntut ilmu, kapan saja dan di mana saja.
Banyak cerita-cerita puja puji semacam itu. Tapi pernahkan kita berpikir, bahwa pendidikan tinggi yang didapat tersebut tidak berdampak pada keterbukaan berpikir masyarakat Bima umumnya. Keterbukaan berpikir itu sebenarnya, bisa berdampak pada pembentukan karakter. Juga bisa berdampak pada rasa tabayun, reflektif, kritis, dan penundaan-penundaan kita pada sikap menjustifikasi sesuatu yang masih samar-samar.
Sikap keterbukaan berpikir semacam ini harus diutamakan oleh para yang mendaku diri “orang” kampus yang sarjana agar ada kelompok cerdik yang anti-maenstream terhadap hal-hal yang masih dianggap tabu dalam masyarakat. Yang pada nyatanya hal-hal tersebut adalah lumrah dan biasa saja dalam dinamika masyarakat, seperti persoalan atab masjid tersebut.
Seperti yang disinggung tadi, mudarat atau kerugian yang ditimbulkannya lebih besar daripada maslahat atau manfaat yang dihasilkannya. Karena biasanya yang bermasalah itu orang yang ke masjid dan orang yang belum sempat ke masjid, bukan masjidnya. Seperti itulah kira-kira.
Ilustrasi: Facebook Isla Pasrah

Alumni Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Founder Komunitas Mbojo Itoe Boekoe





