Faqihuddin Abdul Qodir, atau yang akrab disapa Kang Faqih. Beliau adalah salah satu tokoh feminis muslim Indonesia, seorang ulama nahdliyin yang mempunyai pemikiran luar biasa mengenai isu-isu perempuan, dan terlebih isu-isu keadilan gender. Kang Faqih dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat, tepat pada 31 Desember 1971. Beliau didampingi istri, bernama Mimin Aminah. Beliau dikarunia 3 orang buah hati, yaitu Dhiya Silmi Hasif, Isyqie bin-Nabiy Hanif dan Muhammad Mujtaba Ghiats.
Kang Faqih mengenyam pendidikan sarjana double degree di Abu Nur University Syiria, dengan studi Ilmu Dakwah (1989-1995) dan di Damascus University Syiria, dengan studi Hukum Islam (1990-1996). Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan magisternya di Islamic University Malaysia, dengan studi magister Ilmu Hukum Islam (1997-1999). Terakhir, beliau menyelesaiakan program doktoralnya di Universitas Gadjah Mada Indonesia, dengan studi Keagamaan, ICRS, Graduate School (2009-2015).
Baca juga: Konsep Ekofeminisme dalam Mantra “Inaku Dana, Amaku Langi” (1)
Awal mula, Kang Faqih memiliki gagasan yang condong terhadap feminisme yaitu ketika beliau masih di pondok pesantren. Pada saat mengeyam pendidikan di pondok pesantren, beliau mempunyai ketertarikan dalam ilmu keagamaan. Kerap kali beliau tertarik dengan gagasan kesetaraan gender. Bahkan sering kali beliau mendapatkan pertanyaan dari teman maupun guru beliau yang membuat beliau resah, karena pertanyaan tersebut sering kali menjebak pemikiran beliau.
Dari perjalanan akademis yang telah Kang Faqih tempuh, terutama perjalanan akademis mengenai wacana keadilan dan kesetaraan gender, beliau akhirnya menemukan titik terang, beliau temukan gagasan baru yang berbeda dari feminis lainnya.
Menurut Kang Faqih, “feminisme juga membiarkan berbeda antara laki-laki dan perempuan, tetapi harus tidak membakukan dan tidak membeda-bedakan perbedaan tersebut”. Feminisme yang beliau pahami adalah feminisme yang mengapresiasi perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan. Sementara yang digugat adalah pembakuan yang mengekang, memaksa, dan membuat orang (terutama perempuan) tidak memperoleh manfaat kehidupan yang lain akibat pembakuan ini.
Baca juga: Manusia dalam Tiga Jeratan
Kang Faqih telah memulai memperkenalkan gagasanya sejak tahun 2011, yang beliau beri nama Qiraah Tabaduliyah (kelak beristilah Mubadalah). Beliau melakukan gebrakan dengan menghadirkan metode baru dalam memahami teks-teks keagamaan. Gagasan tersebut beliau namakan Qiraah Tabaduliyah. Secara sederhana, Qiraah Tabaduliyah ialah prinsip-prinsip yang terdapat pada ushul fiqh dan maqashid syariah atau sebuah dasar agama yang memiliki tujuan dan prinsip. Dengan menggunakan metode Qiraah Tabaduliyah, diharapkan dapat mereinterpretasi teks-teks parsial, sehingga berkeadilan gender.
Pada tahun 2019, Kang Faqih berhasil menerbitkan buku berjudul Qiraah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam. Buku ini membahas mengenai teori mubadalah, yaitu metode interpretasi baru yang menawarkan untuk membaca teks-teks sumber ajaran Islam mengenai relasi gender. Dengan begitu, perempuan dan laki-laki sama-sama menjadi subjek dalam pembacaan ini. Sehingga di hadapan teks, sumber laki-laki dan perempuan adalah setara.
Perspektif dan pendekatan yang digunakan dalam qiraah mubadalah adalah prinsip kesalingan dalam memaknai isu-isu gender. Maksudnya, tidak selalu menempatkan perempuan di posisi benar, sedangkan laki-laki selalu salah. Namun lebih menekankan bahwa dunia terlalu sempit jika hanya didekati dengan sudut pandang laki-laki. Sehingga harus dilihat dari sudut pandang keduanya, menjadi perspektif kesalingan.
Relasi kesalingan antara laki-laki dan perempuan dapat kita lihat di Qs. Al-Taubah [9] ayat 71.
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain”.
Contoh pengimplementasian qiraah mubadalah misalnya mengenai asal penciptaan dan posisi perempuan dalam keluarga. Dalam ayat penciptaan, Kang Faqih lebih menyepakati pemaknaan nafs wahidah dengan esensi yang sama, yakni air, tanah ataupun melalui proses reproduksi.
Begitu juga dalam kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, dengan mereproduksi makna azwaj tidak lagi dalam pengertian istri, akan tetapi pasangan. Hal ini memungkinkan untuk menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai subjek dalam kondisi-kondisi tertentu.
Demikianlah pemikiran Kang Faqih mengenai feminisme. Sebagai salah satu figur feminisme Indonesia, Kang Faqih sangat mendukung penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Cirebon, Jawa Barat. keterlibatan Laki-laki dalam gerakan keadilan dan kesetaran gender di Indonesia menjadi begitu strategis, sebab mampu untuk membantu meluruskan pemahaman keagamaan yang adil dan setara gender.
Ilustrasi: Youtube.com
Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram