Sumur Ilmu dari Amin Abdullah (2)

SAYA sendiri mendapatkan tugas pada bagian pertama, “Pengantar Umum Filsafat Ilmu: The Progress of Science” yang meneropong pemikiran Charles S. Peirce tentang “Belief, Inquiry, and Meaning“. Untuk menyelesaikan tugas ini, saya harus kerja ekstra keras, karena harus memenuhi 8 poin sebagaimana yang disarankan oleh Prof. Amin.

Setelah berusaha sekuat tenaga, maka saya bisa menyelesaikannya dengan banyak catatan tentunya. Dalam menelaah pemikiran Charles S. Peirce tersebut, saya menemukan Peirce mengembangkan lima tahapan berpikir yang terdiri dari adanya keyakinan (belief), kebiasaan dalam berpikir (habit of mind), keraguan (doubt), penyelidikan (inquiry), dan mendapatkan makna (meaning).

Baca juga: Sumur Ilmu dari Amin Abdullah (1)

Cara kerja dari kelima tahap tersebut adalah bahwa, sangatlah lumrah jika seseorang itu memiliki keyakinan (belief) dalam dirinya akan suatu hal. Keyakinan itu, sudah dia pegang dan jalani dalam waktu yang relatif lama (habit of mind) dan sudah menjadi tradisi. Dalam perjalanan memegang keyakinan itu, seseorang pasti akan bertanya-tanya apakah keyakinannya itu memang benar-benar sesuai dengan kebenaran yang sesungguhnya ataukah tidak.

Bagi orang yang berpikir, pertanyaan seperti ini akan muncul berulang-ulang dalam pikirannya, maka timbullah keraguan (doubt) atas apa yang ia yakini selama ini, karena ragu, maka untuk memantapkan kembali keyakinannya itu, memerlukan penyelidikan (inquiry) yang mendalam dalam rangka menemukan kebenaran sesungguhnya.

Setelah beberapa kali melakukan penyelidikan, maka dia akan menemukan kebenaran yang diragukan tadi, sehingga keyakinan awal yang sempat goyah, dengan sendirinya akan bertambah kokoh dengan diperolehnya alasan-alasan baru yang membuktikan bahwa keyakinan yang dipegang selama ini, benar adanya (meaning).

Atau sebaliknya, dia menemukan alasan-alasan lain bahwa keyakinan yang ia pegang sejak awal ternyata salah, maka ia beralih ke keyakinan baru yang ia peroleh. Nah, di sinilah dia mendapatkan makna meaning terhadap keyakinan yang ia pegang.

Baca Juga  KH Abdul Moqsith Ghazali dan Pembaruan Islam

Jadi penerimaan kebenaran yang pertama dengan penerimaan kebenaran yang terakhir setelah diadakan penyelidikan tentu saja bobot nilainya berbeda. Jika yang pertama, ia hanya meyakini kebenaran dengan sikap biasa-biasa saja, sehingga dalam menjalani kebenaaran itu hanya sekedarnya saja.

Baca juga: Tanda Jejak Buya Syafii

Lain halnya dengan kebenaran yang diyakininya berdasarkan hasil pencarian dan penyelidikannya secara mendalam, maka kebenaran itu akan dia pegang erat-erat dan dijalankannya dengan sepenuh hati, karena ia telah menemukan makna kebenaran hakiki terhadap keyakinan yang ia pegang.

Model berpikir Charles S. Peirce ini, tidak jauh beda dengan model berpikir yang dikemukakan oleh Thomas S. Kuhn yang terkenal dengan kebenaran berdasarkan paradigma. Tahapan berfikir Kuhn, dimulai dengan: paradigma I, lalu normal science kemudian timbul anomaly. Karena paradigma I tidak bisa menyelesaikan anomaly tersebut, maka terjadilah revolusi atau perubahan secara fundamental sehingga memunculkan paradigma II. Begitu seterusnya.

Sebagai contoh, dahulu orang Arab jahiliyah meyakini bahwa bumi ini datar. Keyakinan ini berjalan ratusan tahun, hingga pada abad ke 20, orang-orang Barat berusaha mendatangi bulan dan melihat ke bumi, ternyata bumi ini tidak datar seperti yang diyakini orang-orang Arab jahiliyah ketika itu. Inilah yang dinamakan anomaly, penemuan baru ini tidak bisa dielakkan lagi, sehingga keyakinan yang dulu itu, mau tidak mau harus direvolusi atau diubah dengan keyakinan baru bahwa bumi ini adalah bundar.

Contoh lain, jika dahulu kita sepakat bahwa untuk komunikasi jarak jauh hanya bisa dengan telegram dan surat menyurat. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka kesepakatan itu menjadi bergeser karena komunikasi jarak jauh itu tidak lagi menggunakan telegram dan surat menyurat, tapi sudah diganti dengan alat telekomunikasi yang lebih canggih lagi yaitu bisa melalui telepon, handphone, dan yang terbaru adalah internet.

Baca Juga  Percik-Percik Pemikiran Nurcholish Madjid

Artinya bahwa kebenaran itu bisa diperoleh dengan berbagai macam teori yang dikembangkan oleh para filsuf. Kebenaran itu menurut mereka bersifat spekulatif  dan tentative karena suatu saat akan dipatahkan oleh kebenaran yang muncul berikutnya. Inilah bentuk kebenaran yang dihasilkan oleh pemikiran manusia dengan logika ilmiahnya.

Selanjutnya, muncul pertanyaan: apa manfaatnya kajian filsafat Barat ini bagi pengembangan keilmuan Islam? Dalam hal ini, terkait dengan teori kebenaran yang ditampilkan oleh Charles S. Peirce. Dalam kajian keislaman, yang menjadi sumber rujukan adalah al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad saw.

Di dalamnya, tercakup ajaran Islam yang bersifat Qath’i dan terdapat ajaran Islam yang bersifat dhanny, maka penerapan filsafat pragmatisme dalam bingkai ajaran Islam yang bersifat Qathi’i sangatlah sulit dipraktikkan, karena akan membongkar dasar-dasar asasi syariah yang sudah ditetapkan oleh Allah Swt dan Nabi Muhammad saw, terutama yang terkait dengan masalah akidah dan ibadah.

Baca juga: Mengenang Dawam Rahardjo: Dari Buku hingga Polemik-Polemiknya

Lain halnya jika digunakan pada masalah-masalah yang dhanny (yang tidak dijelaskan secara shorih dalam al-Qur’an dan Hadist Nabi), khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah muamalah, maka Nabi Muhammad saw sendiri mengatakan “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”. Masalah muamalah ini diserahkan sepenuhnya kepada kaum muslimin.

Maka penerapan filsafat pragmatisme Charles S. Peirce dalam masalah muamalah ini dimungkinkan untuk diadaptasi. Hal yang sama bisa dipraktikkan dalam kajian pendidikan Islam, hukum Islam, sosiologi Islam, dan lain-lain yang terkait dengan materi pengembangan keislaman pada umumnya.[]

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *